HAI-Online.com– Siapa hari ini yang nggak memakai WA, Instagram, Twitter, Facebook, TikTok atau juga Youtube? Siapa juga di sini yang suka membuka kolom komentar untuk melihat-lihat reaksi masyarakat di lini masa? Rasanya hampir semua orang yang mengakses internet pernah menggunakan atau menyaksikannya. Iya kan?
Nah, dari aktivitas online itu juga nggak sedikit lho ditemukan aksi-aksi perundungan massa yang kadang menimpa siapa saja, orang dewasa bahkan anak di bawah umur.
Hal ini membuat sebagian kita menjadi terbiasa melihatnya, di mana kebiasaan beracun ini sebetulnya malah berdampak buruk bagi kenyamanan kita, terlebih bagi anak dan remaja dalam bermedia sosial.
Padahal, dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi lewat media sosial, sebagai pengguna, kita ingin bebas dari ancaman yang ada di dunia daring itu.
Nah, memahami hal tersebut, Childfund International di Indonesia (CFI) kali ini hadir dengan membawa langkah strategis menggandeng para jurnalis, orangtua dan tenaga pendidik dalam memperkenalkan program Swipe Safe.
Yap, program ini bertujuan guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu banyak pihak terkait menavigasi dunia maya dengan lebih baik lagi terlebih kepada anak-anak dan orang muda (remaja) di Indonesia.
"Swipe Safe adalah inisiatif yang dilakukan oleh CFI dengan dukungan dari ChildFund Australia dan Australia Government.
"Program Inisiatif ini bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan dan sekolah mengenai potensi risiko dunia maya," jelas Reny Haning, Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi ChildFund International di Indonesia pada Media Briefing Swipe Safe Initiative di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Diterangkan Reny Haning lagi, lewat program Swipe Safe ini juga, kita akan diedukasi untuk memiliki keterampilan praktis bagaimana melindungi diri dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan dan peretasan di dunia online.
Untuk itu, inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak.
"Kita ingin banyak sekolah di Indonesia mengadopsi program Swipe Safe ini yang tujuannya nanti mereka memiliki prosedur jika terjadi misalnya ditemukan kasus perundungan online atau yang merugikan anak," katanya lagi.
Program Swipe Safe yang diperkenalkannya ini menargetkan ke pihak manajemen dan komite sekolah untuk bersama mengadopsi kebijakan online.
"Untuk gurunya diberi pelatihan Swipe Safe, dengan enam komponennya untuk memandu anak sekolah mengakses pencarian yang aman di internet.
"Salah satu yang diterapkan juga, guru mengecek akun media sosial siswa untuk tidak open public tapi diatur private demi keamanan mereka.
"Para siswa ini juga diajak untuk tahu apa itu framing dan membuat boundaris atau batasan diri baik secara offline dan online," luasnya lagi.
Dalam memperluas pengenalan Swipe Safe, CFI telah menggandeng sekolah-sekolah di 4 provinsi di Indonesia. Sekolah yang mau bekerjasama falam program ini tidak hanya akan mendapat bekal edukasi namun juga untuk menaikkan akreditasi sekolah mereka dengan mendapatkan label "ramah anak".
"Yang menjadi target kerja kami diantaranya sekolah di NTT, Semarang, Jakarta dan Lampung. Yang sudah dilakukan itu di Kupang, NTT, program ini diharapkan bergun untuk teman-teman muda kita," ulasnya lagi.
Berdasarkan kajian tentang eksploitasi, kekerasan seksual dan perundungan online di Indonesia yang diluncurkan CFI pada Desember 2022, terungkap bahwa eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) secara daring telah berkembang menjadi berbagai bentuk; tidak hanya dalam bentuk produksi, kepemilikan, dan distribusi materi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara daring, tetapi juga telah diperluas menjadi live streaming, online grooming serta pemerasan dan pemaksaan seksual.
ChildFund menemukan ESKA dapat menjadi masalah yang kompleks, dan anak-anak mungkin mengalami banyak eksploitasi dalam satu rangkaian kejahatan.
Sejumlah kajian menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperluas kekerasan di kehidupan nyata.
Lebih jauh lagi, hasil survei CFI juga menyebutkan sebanyak 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online, sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korbannya.
Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang memiliki kerentanan tertinggi menjadi korban perundungan (64,5 persen).
Dalam laporan yang sama, anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau korban perundungan online.
Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, sementara anak perempuan menjadi korban.
Sementara itu, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
Menyikapi hasil kajian dari CFI, Putu Andini selaku Psikolog Anak dan Co-Founder TigaGenerasi menjelaskan bahwa perilaku perundungan online sangat berkaitan dengan pengawasan serta peran dari orangtua, tenaga pendidik hingga media.
“Bahkan, orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi apa yang dilakukan anak mereka secara daring, bisa menjadi pemicu keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online. Jika dibiarkan, dampaknya bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban,” jelas Putu.
Ia juga menambahkan bahwa, perundungan online mampu memengaruhi bagaimana anak mempersepsikan dirinya dan dunia di sekitarnya. Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian cyber bullying yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak.
“Korban cenderung membatasi aktivitas mereka di media sosial. Trauma yang dialami menyebabkan korban menarik diri dari interaksi sosial seperti kehidupan publik dan teman, termasuk kehidupan sekolah yang pada akhirnya membatasi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang baik,” sambung Reny. (*)