Nah, setelah sepuluh tahun berjalan orang-orang memakai vape dan jumlahnya telah meningkat berkali lipat di 2022, ternyatarokok elektrik dan rokok konvensional punya ancaman kesehatan yang sama.
Penggunaan rokok elektrik sebagai alternatif atau alat bantu berhenti merokok dinilai sebagai pemahaman yang salah.
"Rokok elektrik masih menyalahi konsep berhenti merokok, seharusnya alat bantu itu tidak menimbulkan penyakit baru," ujar Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto seperti dikutip dari Kompas, Kamis (5/1/2023).
Menurutnya, ada sejumlah persyaratan yang tidak bisa dipenuhi rokok elektrik yang menganggap fungsinya sebagai metode berhenti merokok.
Ia menegaskan klaim vape sebagai pengganti merokok tidak diimbangi hasil riset ilmiah, justeru menurut berbagai penelitian medis, rokok elektrik itu sama berbahayanya dengan rokok konvensional.
Atas kekeliruan ini, banyak orang tak mendapat manfaatnya saat beralih ke vape demi motivasi berhenti merokok tersebut.
Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, jumlah perokok elektrik di Indonesia kini telah meningkat 10 kali lipat dalam kurun waktu satu dekade, dari 0,3 persen (2011) menjadi 3 persen (2021).
Amat disayangkan, sebab dari sumber data yang sama menyebut salah satu alasan maraknya penggunaan rokok elektrik adalah pengguna ingin mengganti ataupun menjadikan vape sebagai alat bantu untuk berhenti merokok.
Padahal rokok elektrik, lanjut Agus, berisiko mengakibatkan asma, kanker paru, dan penyakit infeksi lain yang lebih tinggi, juga penyakit dan kelainan baru.
"Rokok elektrik juga mengandung karsinogen dan bahan toksik lainnya yang dapat merusak DNA dan kemampuan perbaikan sel manusia serta hewan," jelasnya lagi.
Selain itu, pengguna rokok elektrik memiliki kecenderungan untuk tetap menggunakannya meski sudah berhenti merokok. Padahal, untuk dikategorikan sebagai alat bantu, penggunaan rokok elektrik harus dihentikan setelah perilaku merokok berhenti.
Dalam konsep berhenti merokok juga diperlukan supervisi dari tenaga medis untuk mengawasi dosis penggunaannya.
Ada sejumlah fasilitas kesehatan telah menyediakan layanan untuk program berhenti merokok.
RSUP Persahabatan, misalnya, memiliki tiga langkah pokok, seperti konseling, intervensi farmakologi, dan terapi tambahan. Intervensi farmakologi merupakan metode berhenti merokok yang dibantu obat-obat tertentu.
"Pendekatan berhenti merokok dari berbagai aspek. Pertama, dari adiksi akibat nikotin, perilaku, danwithdrawal(gejala putus nikotin),” ujar Agus yang juga selaku konsultan tim berhenti merokok di RSUP Persahabatan.
Program dilaksanakan selama 3 bulan yang terdiri atas lima kali kunjungan. Kunjungan pertama berbentuk asesmen (pengamatan) awal untuk menentukan seberapa besar ketergantungan pasien terhadap rokok. Dari hasil tersebut kemudian ditentukan apakah pasien perlu terapi obat (farmakoterapi) ataupun tidak.
Dua minggu pascaterapi obat bakal dilanjutkan dengan evaluasi apakah pasien membutuhkan terapi tambahan, seperti psikoterapi, hipnoterapi,exerciseprogram untuk mengontrol pernapasan, akupunktur, atau konsultasi gizi.
Namun, untuk terapi obat secara spesifik, di Indonesia masih minim jenis obatnya. Baru ada tiga golongan obat efektif yang sayangnya belum tersedia di antaranya varenicline, bupropion, dannicotine replacement therapy(NRT) seperti tambalan nikotin, tablet isap, dan nikotin semprot. (*)