Studi di Jepang, Dosen UMM Ini Teliti Limbah Tahu Jadi Listrik

Minggu, 06 November 2022 | 17:05
Dok. laman UMM

Sosok Mochammad Wachid peneliti limbah tahu menjadi sumber energi listrik.

HAI-Online.com - Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Mochammad Wachid, STP. MSc. teliti limbah tahu menjadi listrik.

Akrab disapa Wachid, ia kini sedang menempuh studi doktoral di University of Miyazaki di negeri Sakura, Jepang.

Ia cerita, semua ini berawal dari perkenalannya dengan salah satu dosen di universitas tersebut.

Apalagi sistem Jepang ini mendorong dosen untuk mengenal dan mengetahui calon mahasiswanya.

Menariknya, dosen atau yang disapa sensei ini menyeleksi langsung calon mahasiswanya sendiri.

“Di sini, mereka yang ingin melanjutkan pendidikan doktoral maupun magister harus kenal dan tahu dosennya. Nggak harus kenal langsung, bisa juga lewat konferensi. Saya beruntung karena sensei saya ini sangat tertarik dengan penelitian yang saya lakukan,” kata Wachid dilansir dari laman UMM, Sabtu (5/11/2022).

Baca Juga: Psikologi UMM Buka Posko dan Turunkan 74 Relawan Atasi Trauma Korban Tragedi Kanjuruhan, Dibuka Sampai Akhir Oktober

Adapun penelitiannya membahas pemanfaatan limbah tahu untuk diubah jadi listrik dengan microbial fuel cell. Metode fermentasi dari pengolahan limbah tahu ini bakal menghasilkan listrik.

Ia menjelaskan, ada perbedaan pembuatan tahu di Indonesia dengan di Jepang.

Di Indonesia biasanya memakai asam untuk penggumpalan, sedangkan di Jepang menggunakan garam yang nggak asin.

Untuk saat ini, ia tengah meneliti dua sampel limbah dari Indonesia dan Jepan dengan metode pengolahan limbah yang menghasilkan energi.

Ayah dari tiga anak ini bercerita, ia sempat mengalami culture shock saat pertama kali ke Jepang bersama kelaurganya. Salah satunya suhu dan cuaca yang berbeda.

Ia datang pada Desember 2020 lalu yakni saat musim dingin.

Juga dengan kegiatan masak memasak yang sering mereka lakukan untuk menghemat biaya dan menghindari makanan beralkohol serta babi.

Setelah melewati beberapa bulan, Wachid akhirnya bisa beradaptasi, meskipun ia masih mengaku punya kendala soal bahasa.

“Meski sudah berusaha belajar bahasa Jepang, tapi saya masih cukup kesulitan. Apalagi nggak semua orang Jepang bisa bahasa Inggris. Jadi saya harus membawa gawai untuk menerjemahkan,” ucapnya.

Wachid menjelaskan, ada beberapa aspek yang membedakan pendidikan Indonesia dan Jepang.

Di Jepang, pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak dini. Sehingga moral dan kejujuran slelau diutamakan.

Ia juga sangat jarang menemukan diskirimasi terhadap orang luar, begitupun dengan peundungan di sekolah.

“Pendidikan karakter yang diberikan sejak dini itulah yang membedakan Jepang dan Indonesia. Sehingga kasus perundungan cukup jarang terjadi, bahkan anak saya juga baik-baik saja bersekolah di sini,” ujarnya.

Pria asli Lumajang ini juga berharap para sarjana atau magister di Indonesia tetap bersemangat melanjutkan pendidikan tinggi.

Karena menurutnya, ketika menimba ilmu di negara orang, nggak hanya ilmu yang didapat, tapi juga pengalaman mendapatkan budaya baru, bahasa baru, bertemu orang baru dan lainnya.

“Jangan lupa juga untuk kembali ke Indonesia dan membangun bangsa dengan berbagai cara,” pungkasnya. (*)

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya