Pakar Sosiolog: Ini Cara Wujudkan Sepak Bola Damai di Indonesia

Jumat, 21 Oktober 2022 | 18:01
PIXABAY/GELLINGER

Ilustrasi sepak bola

HAI-Online.com - Pakar sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Imam B Prasodjo, M.A., dan Pakar Pendidikan Karakter Prof. Muchlas Samani bahas cara memperbaiki sepak bola tanah air.

Digelar saat Sarasehan Ilmu Keolahragaan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Selasa (18/10/2022), Imam menyampaikan, olahraga harus dipahami sebagai gaya hidup sehat serta jadi prestasi yang mengacu pada kompetisi.

Soal prestasi nggak cuman tentang menang dan kalah, menurutnya, perlu ditekankan juga menumbuhkan sportivitas.

Baca Juga: Baim Paula Makin Sulit, Dua Polisi Ngaku Nggak Tahu Bakal Di-Prank Laporan KDRT

Sportivitas jadi Kunci

“Tujuan olahraga yang pertama itu sehat secara fisik, tapi jangan lupa kalau intinya adalah tumbuhnya kesehatan jiwa atau sportivitas.

"Jadi, secara nasional yang dituju adalah seberapa jauh kita mampu membangun peradaban,” ujar Imam dilansir dari laman Unesa, Jumat (21/10/2022).

Menurutnya, sportivitas harus dijiwai seluruh stakeholder, baik pemerintah serta wasit di lapangan, hingga para suporter dan penyelenggara pertandingan.

Kalau penyelenggara nggak menggelar pertandingan secara profesional, dampaknya bisa keseluruh aspek pertandingannya.

“Konsep membangun jiwa dan raga itu, jiwanya yang pertama. Ini yang harus diperjelas dan dipahami bersama,” terangnya.

Baca Juga: Vino G. Bastian Lempar Kritik ke PSSI dan FIFA: Dibanding Main Bola Bareng, Mending Main ke Rumah Korban Kanjuruhan

Sistem Manajemen yang Terintegrasi

Kalau tujuan itu jelas, baru bicara manajemen soal pelaku pertandingan mulai dari pemain, wasit, pelatih sampai suporternya.

Selain itu, aspek manajemen harus terintegrasi secara keseluruhan. Belajar dari kasus Kanjuruhan, manajemen penonton harus jelas dan detail seperti pengaturan tempat duduk.

Anak-anak, ibu-ibu atau kelompok usia rentan nggak campur dengan kelompok anak-anak muda yang jiwa dan mobilitasnya tinggi.

Kemudian, perlu manajemen penggerak penonton serta manajemen infrastruktur.

Secara holistik, sepak bola damai saling berkaitan, bagaimana petugas keamanan profesional menghadapi suporter. Ini nggak bisa disamakan dengan penanganan massa aksi saat ada demonstrasi.

“Manajemen memang sudah ada, tetapi nggak integrated dan nggak ada jiwa sportivitas yang ditumbuhkan. Jika ini nggak diperhatikan, pertandingan bakal jadi bencana dan sepak bola jadi event yang menakutkan,” ujar Imam.

Terkait suporter yang nggak tertib dan diberikan sanksi misalnya, menurutnya itu bisa saja dilakukan, tetapi perlu diingat, kesadaran nggak tumbuh hanya karena sanksi. Pun tertib dan disiplin nggak bisa terwujud dalam sekejap.

Ada tiga sikap yang menurutnya harus diperhatikan, seperti “Deindividualisasi yaitu ketika berada di suatu kelompok kita akan hilang kedirian dan masuk ke identitas kelompok. Norma individu jadi hilang. Kita jadi berani melanggar, karena kelompok kita melanggar. Kedua, gampang ikut-ikutan atau meniru dan mudah diperintah,” bebernya.

“Karena itu harus pakai pendekatan yang terintegrasi, termasuk manajemen infrastruktur semuanya. Saya membayangkan ini suatu upaya membangun integrated management system untuk membangun kultur sepak bola tanah air yang berkualitas ke depan,” ucap Sosiolog Universitas Indonesia itu.

Karakter Bangsa dan Olahraga

Sementara itu, Prof. Muchlas Samani, Tokoh Pendidikan Karakter Unesa dalam kultur sepak bola Indonesia, ada aspek-aspek yang tidak seimbang.

Contohnya, semangat untuk menang terlalu tinggi tapi nggak dibarengi semangat menghargai lawan.

Siap memang, tetapi nggak siap kalah. Aspek ini merembes ke sikap dan tindakan suporter atau penonton.

Baca Juga: Insiden Stadion Kanjuruhan Malang Renggut Penggemar Bola Usia Remaja, Bobotoh: Semoga Ini Yang Terakhir Kalinya

Selain itu, terlalu semangat untuk menang dan nggak siap menerima kekalahan. Belajar dari Kanjuruhan, lanjutnya, perlu pembinaan karakter nggak cuman kepada pemain tetapi juga penonton.

Olahraga bisa jadi jalan membangun karakter bangsa. Karakter itu mesti lewat dua cara, pembiasaan (habituasi) dan kultur.

“Di dalam kultur harus ada contoh atau tauladan dan ini penting sekali. Perlu ada tauladan, termasuk dari masing-masing koordinator suporter itu sendiri,” tutupnya. (*)

Tag

Editor : Al Sobry