HAI-ONLINE.COM - “Genre ini (metal) mempunyai stigma yang jelek di mata orang,” tegas Eben dalam sebuah edisi di HAI, 2012 lalu.
“Mau stigma di lingkungan masyarakat menyebutkan musik metal itu bla bla bla, oke, tapi gue punya prestasi banyak di belakang gue. Gue bisa main di luar negeri tanpa diundang dari KBRI. Gue bisa main di dua festival besar di Aussie tanpa harus diundang KBRI. Gue bisa rilis secara internasional tanpa bantuan pemerintah Indonesia. Dan gue bawa bendera Indonesian label, itu udah cukup membanggakan buat gue,” tegasnya.
Soal stigma buruk tentang metal, bagi Eben sih, bodo amat! menurutnya secara pribadi, dia nggak pernah berusaha untuk mengurusi apa yang menjadi pembicaraan orang tentang musik yang dia mainkan dan dia suka.
Yang penting, selama mereka nggak ‘nyenggol’, Eben pun juga nggak akan ‘nyenggol’ lagi.
Karena kesuksesan Eben di dunia musik cadas, bukan kebetulan. Ia meraihnya dari 0. Ia sejak awal punya rencana yang jelas, dan tau harus bagaimana bersikap, berperilaku, dan lainnya.
“Jakarta, Bandung, dan Jawa lainnya jelas beda. Misal, kita ngomongin tentang persaingan. Jakarta, di sini culture-nya lebih kritis. Siapa yang paling dekat dengan media, dia yang nantinya akan lebih cepat terkenal. Orang-orang daerah mengeluh, kenapa band-band di Bandung lebih cepat naik. Ya karena kita dekat dengan Jakarta. Positioning itu penting, kecuali lo Slipknot, lo tinggal di Iowa, di perkampungan dan lo bisa kayak di Roadrunner. Dan itu cuma seribu satu band yang bisa,” kata Eben.
Keputusan Eben menjadi musisi metal pun nggak sembarangan diambilnya.
“Kenapa gue mau main di Burgerkill? Satu, karena gue tinggal di Bandung, dan memutuskan untuk menjadi musisi di Bandung masih mungkin. Kalau di Jakarta pasti gue nggak akan pure jadi musician. Ada challenge tersendiri. Dan perjalanan ini, gue menggambarkan sosok Burgerkill itu kayak bunglon,” katanya.
Namun, yang paling penting untuk hidup di scene metal menurutnya adalah, “Humble itu juga menjadi kunci utama. Band yang hebat itu band yang tidak pernah lupa dari mana mereka berasal. Mereka nggak pernah lupa kalau mereka dulu pernah kecil. Mereka nggak pernah lupa kalau dulu mereka pernah sucks, pernah dicemooh, itu yang penting. Band yang hebat adalah band yang nggak lupa sejarah dan menghargai sejarahnya."
Bagi seorang Eben juga, metal adalah pilihan hidup. Musik merupakan napas kehidupan baginya.
“Nggak bisa gue hidup tanpa musik. Gue sangat butuh ‘nutrisi’ itu, dan gue suka mengamalkan itu. Mencari ilmu dari band lain, manggung, itu menjadi ‘vitamin’ buat gue di Burgerkill,” jelasnya.
Naik turunnya musik metal di Indonesia juga sukses membentuk Burgerkill untuk pelan-pelan menemukan jati diri mereka. Diakui Eben, Burgerkill yang kini telah berusia 25 tahun pun, pernah mencicipi rasa pahit menjadi band metal.
"Gue tetap merasa band gue hardcore. musik itu kan kayak bayi, ketika berumur 2-3 bulan, lo cuma dapet asi. Ketika kian besar, lo makan bubur. Banyak ilmu baru dan menimba pengalaman," paparnya.
Dan perubahan Burgerkill dari hardcore menjadi lebih metal itulah yang dinikmati Eben. Apa yang diterapkan adalah berusaha untuk selalu menghasilkan sesuatu yang beda di setiap karyanya.
“Band ini beradaptasi di mana dia berada, sesuai kondisinya, ketika di Venomous, orang bisa lihat dari musik dan liriknya. Kita mau bicara tentang sesuatu yang lebih wise,” katanya.
“Gue juga menerapkan ke anak-anak, jangan pernah menulis sesuatu apa yang nggak kita rasa, nggak kita dengar, dan apa yang kita nggak lihat. Kita nulis apa yang kita tahu dan kita paham,” repet Eben.
Segala hal yang dipaparkan almarhum, nggak ada salahnya buat kita terapkan dalam bermusik. Bahkan bisa juga digunakan ke kehidupan kita lainnya: Bahwa konsistensi, perencanaan, dan cara bersikap adalah hal penting untuk meraih kesuksesan.