HAI-Online.com - Akademisi UGM, Dokter Hendro Widagdo, Sp.FM(K)., dari Departemen Forensik dan Medikolegal FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut kalau jumlah dokter forensik di Indonesia kurang dari 300 dokter.
Hal tersebut ia paparkan dalam bincang-bincang RAISA Radio dengan topik “Mengenal Dunia Forensik” pada Selasa (16/8/2022).
Menurutnya, jumlah dokter forensik itu ada di bawah Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).
Dokter Hendro menjelaskan, Kedokteran Forensik merupakan basis ilmu kedokteran yang digunakan dalam membantu memberikan kejelasan penyebab luka atau dimintai keterangan dalam perkara hukum.
Hal tersebut baik untuk seseorang yang hidup ataupun yang sudah dinyatakan meninggal.
Independen dan nggak boleh ditekan
Dokter forensik bertindak secara independen di bawah koordinasi PDFI, dengan sistem kontinental.
Baca Juga: Yuk, Kenali Profesi Dokter Forensik, Dokter Pembela Kebenaran
Selain itu, dokter forensik juga nggak boleh ditekan, atau nggak diperbolehkan melakukan praktik forensik yang nggak terstandar.
"Hal ini sudah merupakan komitmen bersama dari PDFI," ungkap dokter Hendro seperti dikutip dari laman FK-KMK UGM melalui Kompas.com.
Adapun pelayanan dokter forensik berupa:
- Pemeriksaan kedokteran forensik patologi adalah pemeriksaan terhadap:
- orang yang meninggal dalam kondisi mendadak
- mass disaster
- meninggal secara nggak wajar guna menentukan penyebab dan cara kematiannya
- Pemeriksaan kedokteran klinik adalah pemerikasaan terhadap individu yang masih hidup, seperti pemeriksaan untuk dibuatkan visum.
Selain itu, ia juga membahas mengenai bedah jenazah forensik atau autopsi.
Menurutnya, autopsi paling baik dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam karena akan banyak data yang didapatkan, mudah dan cepat.
Namun jika lebih dari 24 jam sampai 20 hari masih bisa dilacak dan dibaca datanya termasuk jaringan atau sel secara mikrokospik.
"Semakin cepat autopsi dilakukan, data yang diperoleh banyak dan mudah," terangnya.
Nggak hanya itu saja, pada saat proses autopsi, dokter berkomunikasi dengan korban melalui luka-luka atau sakit yang diderita.
Luka-luka atau sakit tersebut dapat memperlihatkan dengan jelas penyebab dan cara kematian, serta waktu terjadinya luka. (*)