Kaburnya Realitas Dunia Maya dan Nyata Bagi Netizen Indonesia

Selasa, 28 Juni 2022 | 09:31

Tongkrongan ini bukti nyata netizen itu aktif di dunia maya tapi pasif di dunia nyata.

HAI-Online.com-Lebih dari dua pertiga penduduk Indonesia sudah memiliki akses terhadap internet pada 2019 atau setahun sebelum pandemi Covid-19.
Selama pandemi, 2020 dan 2021 kebutuhan internet rerata orang Indonesia juga meningkat dari 8,5 GB perbulan kini jadi 14,4 GB perorang/bulan.
Pengguna terbesarnya adalah remaja dan penduduk dewasa muda, dari pelajar SMA, mahasiswa, hingga pekerja muda.
Internet lebih banyak digunakan untuk komunikasi pesan, akses media sosial, dan mencari informasi terkait pekerjaan.
Namun sayangnya, penggunaan intermet yang tinggi menjadikan netizen Indonesia kabut akan realitas dunia maya dan dunia nyata.
Baca Juga: Urban Innovation Challenge 2021 Ajak Anak Muda Temukan Solusi dan Inovasi Pembangunan Ramah Lingkungan
"Netizen Indonesia masih menganggap dunia maya sebagai dunia yang berbeda dengan dunia nyata. Padahal, dunia maya adalah dunia baru yang sejatinya juga nyata," katakoordinator Kelompok Kerja Psikologi Moralitas, Ikatan Psikologi Sosial Indonesia, Subhan El Hafiz seperti dalam catatan Kompas, pada 29 Maret 2021.
Akibatnya, banyak warganet atau netizen bersikap mendua. Di dunia maya dengan anonimitasnya, fake account atau second account misalnya mereka lancar melemparkan hinaan, merendahkan, dan menebar fitnah aliasflamingke pengguna medsos lainnya.
Namun, saat bertemu langsung, umumnya hanya diam atau lebih kalem. Keributan yang kerap terjadi di media sosial sering kali tidak terjadi di dunia nyata. Namun, perilaku ini jadi mirip bara dalam sekam yang bisa sewaktu-waktu memantik keributan.
Untuk itu, upaya membangun sikap kritis terhadap informasi apa pun di internet itu makin menemukan esensinya karena dunia digital bekerja dengan algoritma atau cara tertentu yang sering kali tidak disadari penggunanya.
"(Padahal) secanggih apa pun teknologi digital tetaplah buatan manusia hingga perlu diwaspadai pola kerjanya,” kata Lugini.
Melimpahnya informasi di internet memunculkan budaya pengenyahan ataucancel culture. Seseorang yang nggak suka terhadap satu informasi bisa dengan mudah skip atau mengabaikannya. Perilaku ini akan dibaca algoritma digital hingga mesin akan membanjiri pengguna tersebut dengan informasi sesuai preferensi atau yang disukainya saja.
Baca Juga: Viral Ibu Cari Ganja Medis untuk Anaknya, Benarkah Bisa Mengobati Penyakit di Otak?
Budaya pengenyahan ini pada akhirnya akan membentukfilter bubblehingga informasi yang diterima seseorang bersifat seragam. Mereka akan kesulitan mendapat perspektif berbeda, memandang segala sesuatu secara hitam-putih, mudah terjebak hoaks, menjadi sasaran empuk pengiklan, tidak peduli sekitar, dan yang pasti menjadi sulit berpikir kritis.
Media sosial juga memunculkan perilakufear of missing outatau FOMO, rasa takut dan cemas akan ketinggalan sesuatu. Sikap ini sering menurunkan rasa percaya diri seseorang karena tidak menjadi bagian apa yang sedang ramai,hitataumenjadi tren.
FOMO makin kesini makin menemukan momentumnya, apalagi saat di tengah kuatnya budaya pamer aliasflexingdi internet.
Banyak yang tidak menyadari jikaflexinghanya dijadikan alat seseorang agar bisa diterima lingkungannya dengan berpura-pura kaya atau sukses serta dijadikan alat promosi atau pemasaran produk tertentu.
Akibatnya, banyak orang terjebak membeli produk tertentu yang sejatinya tidak dibutuhkan atau belanja impulsif, berinvestasi dengan hal yang tidak dipahami, hingga berutang meski tidak membutuhkan.
Perilaku ini juga menguat dengan berkembang prinsipyou only live once(YOLO) di kalangan anak muda hingga mereka sulit berpikir panjang.
Dampak negatif dunia digital itu hanya bisa ditekan jika masyarakat memiliki literasi digital yang baik. ”Internet bisa diberdayakan untuk membawa perubahan positif menjadi masyarakat yang kreatif, kritis, reflektif, dan bertanggung jawab,” tambah Lugini.
Lalu apa solusinya agar tetap bijak di dunia siber yang kinjmenjadi tempat yang rentan terhadap tindak kejahatan, mulai dari perundungan, pelecehan, berita bohong (hoaks), kecurangan (fraud), penipuan (scam), ujaran kebencian, hingga diskriminasi.
Menurutdosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta yang juga Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia, Weny Savitry S Pandia, penggunaan gawai berlebih dan perilaku tidak bertanggung jawab di internet itu diantaranya karena dipicu oleh rendahnya kemampuan meregulasi diri.
Baca Juga: Nggak Mau Lagunya Dipakai Sembarangan, Ahmad Dhani Bikin Dewa 19 Cyber Army!
Kemampuan ini akan menentukan kapan seseorang berhenti menggunakan gawai, mengerjakan tugas, atau menikmati hiburan, serta memilah apa yang pantas untuk diunggah atau sopan berkomentar.
"Literasi digital menjadi solusi untuk hidup berdampingan dalam pemanfaatan teknologi,” kata Weny.
"Regulasi diri membuat seseorang mampu menilai, memutuskan, atau mengevaluasi tindakan yang dilakukan,” katanya.
Kini, kita tidak mungkin mundur lagi dan menghindar dari internet dan gawai. Bagaimanapun, teknologi digital telah memberikan ruang ekspresi dan kreasi baru sebagai perpanjangan dunia nyata. Karena itu, cuma mereka yang bisa mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital dan menekan konsekuensi negatifnya yang akan jadi pemenang.
Kalo sudah punya regulasi diri, kamu bakal sejahtera lahir dan batin di dua dunia digital dan nyata. (*)

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya