#HAIFiles Mei 1998: Selasa Berdarah di Trisakti, Reformasi dan Remaja

Sabtu, 28 Mei 2022 | 13:05
Arsip HAI

#HAIFiles Mei 1998: Selasa Berdarah di Trisakti, Reformasi dan Remaja

(Arsip HAI edisi 20 terbit 26 Mei 1998)

Duka Ibu Pertiwi

Kulihat Ibu Pertiwi…

Sedang Bersusah Hati…

Adakah yang lebih tulus dari cinta ibu kepada anaknya? Ia selimuti sang bayi dengan kasih. Ia sujudkan doa agar nafas kehidupan terus menghembus dalam sanubari anaknya. Ia dendangkan kidung cita-cita agar anaknya kelak ikut mengukir masa depan di tanah dan dada bangsa. Ia antarkan sang anak kepada dunia.

Tapi dunia tak selamanya bersahabat. Ia tak selalu bisa melindungi anaknya. Sang Anak harus dilepas sendirian memerangi kerasnya dunia. Demi kekuasaan, anak-anak direnggut, dibungkam, dianiaya, dilukai, dan diabaikan keberadaannya sebagai manusia.

Ibu Pertiwi terisak. Atas nama keamanan dan ketertiban, buah hatinya direnggut aroganisme penguasa. Hery Hartanto, Elang Mulya Lesmana, Hendriawan, Hafidhin Royan menemui ajal diterjang pelor aparat dengan alas an “salah prosedur”.

Ironisnya, peristiwa berdarah di Universitas Trisakti, 12 Mei 1998 itu dalam konteks memperjuangkan reformasi. Sikap peduli tulang punggung bangsa yang sudah jenuh melihat kebobrokan di sekitarnya. Saat mereka berteriak lantang penuh semangat menyuarakan perubahan, timah panas itu datang menghujam.

“Itu merupakan kehancuran untuk kemanusiaan. Mereka itu mencerminkan apa yang disuarakan masyarakat karena mereka juga bagian dari masyarakat. Mahasiswa yang berjuang untuk bangsa, di dalam kampus sendiri kok malah ditembaki…” rintih Dr. Karlina Leksono, aktivis kelompok Suara Ibu Peduli.

Pendapat senada keluar dari Dr. Paulus Wirutomo, sosisolog dari Universitas Indonesia, “Itu cerminan pemerintah kurang menghormati hak berpendapat dan hak hidup rakyat. Mahasiswa tak pernah bermaksud bikin kerusuhan kalau itu yang dikuatirkan. Sebagai intelektual muda, mereka hanya ingin pendapat, saran, dan suaranya didengar, ditanggapi, dan direalisasi.”

Esoknya, rakyat marah. Sikap emosional yang menimbulkan situasi mencekam di ibukota. Toko-toko rusak dijarah massa, mobil-mobil mewah dan motor yang diparkir digulingkan dan dibakar, golongan tertentu yang dianggap anti reformasi menjadi sasaran amukan: digelandang dari dalam rumah atau mobil, dipukuli, serta dibiarkan terkapar di pinggir jalan.

Ratusan jiwa melayang sia-sia, ratusan lainnya luka-luka, dan tak terhitung yang dilanda trauma psikologis berkepanjangan akibat amuk massa itu. Jangan tanya berapa kerugian materialnya. Nyaris semua pilar-pilar kejayaan Orde Baru yang dibangun dengan susah payah, hancur dalam semalam!

“Saya sedih melihatnya. Apa yang sudah dibangun bertahun-tahun tiba-tiba hancur begitu saja. Semua warga jadi resah,” ucap prihatin Ibu Karlina.

Beginikah wajah bangsa Indonesia yang katanya Pancasilais dan ramah tamah itu? Produk kemurkaan masyarakat yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan pengadilan sejarah. Terutama di hadapan generasi penerus bangsa yang bakal paling menderita menjalani krisis yang seperti tanpa ujung ini.

Baca Juga: Rilis Lagu 'I Don’t Mind' Dengan Dua Versi, Rahmania Astrini Ingin Tunjukkan Dua Sisi Diri

BUDAYA SURAM

Sudah banyak diulas tentang dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian bangsa. Harga-harga naik, daya beli masyarakat turun, dan rupiah yang makin mengkuatirkan nilai tukarnya terhadap mata uang asing. Dunia perbankan sekarat, pengusaha menjertit, sektor usaha benar-benar mati.

Tapi apakah ada yang pernah berpikir dampak badai ini terhadap remaja? Kelompok usia yang notabene bakal mewarisi kehancuran Indonesia akibat salah urus para pendahulunya. Mereka harus menanggung dosa sejarah yang harus dipikul di masa depan.

Kondisi ekonomi jelas menjadi sector yang paling krusial. Generasi muda sekarang – sering disebut sebagai prduk jaman instan – sudah kadung dijejali prinsip serba cepat, praktis, aplikatif. Semua hal dibuat instan. Sebisa mungkin dilakukan pemotongan terhadap proses mencapai sesuatu.

Setelah sekian lama menikmati mas kejayaan ekonomi yang semuanya bisa didapat dengan mudah, sekarang para remaja dipaksa prihatin. Barang-barang di sekitarnya yang dulu masih terjangkau, pelan-pelan merangkak naik.

Kalau dulu dengan modal 10 ribu perak bisa nongkrong plus makan kenyang di McDonald, sekarang paling-paling hanya bisa buat beli bensin. Jika dulu dengan jumlah uang sama bisa ngajak pacar jalan-jalan dan nonton film di Plasa Senayan, kini hanya cukup buat biaya transportasi dari rumah ke rumah si doi.

Pendeknya, remaja tak lagi bisa cuek bei-beh seperti dulu lagi. Bukan jamannya lagi merasa bukan bagian dari masyarakat karena apapun yang terjadi remaja bakal terselamatkan dari krisis. Remaja bukan lagi anak emas pembangunan

“Itu salah orang dewasanya saja yang menganggap kaum remaja itu apatis, tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Akhirnya hal itu benar-benar terjadi,” tegas Wimar Witoelar, pembawa acara Selayang Pandang di Indosiar.

Hal itu terlihat jelas dalam kerusuhan yang melanda Jakarta usai peristiwa Selasa Berdarah di Universitas Trisakti. Mereka tanpa pikir panjang mau saja diajak menjarah barang yang bukan haknya. Bahkan dengan arogan saling membanggakan hasil kejahatannya. Kepada sesame teman, bahkan kepada orang tuanya.

Budaya kekerasan pun merebak dengan cepat ke tengah remaja. Tradisi tawuran yang dulu jarang terdengar – kecuali duel satu lawan satu ala anak muda – kini makin sering menghiasi halaman Koran atau berita TV.

"Saya rasa, remaja mulai sekarang harus berpikir. Kenapa kok ada angin badai di depan hidung kita,kok diam saja. Tenang-tenang saja. Di tengah perjuangan kelompok masyarakat lain, pelajar malah sukanya tawuran. Mungkin bagi mereka itu diartikan perjuangan juga. Tapi kok malah perjuangan melawan teman-temannya sendiri. Menyiksa teman-temannya sendiri. Malah bahkan merusak fasilitas umum,” kata Pak Paulus.

Tuntutan hidup hemat rasanya sudah sangat terlambat untuk digemakan. Kini yang lebih tepat adalah perubahan total dalam sikap hidup anak muda. Mencoba mulai berpikir panjang dan menyesuaikan langkah dengan irama masyarakat. Jangan terus-terusan minta dimengerti dan dipahami.I

ngat, ini jaman susah yang butuh banyak pengorbanan jika ingin keluar sebagai pemenang.

KURANG HIBURAN

Situasi makin bertambah berat karena sektor hiburan pun ikut terganggu. Padahal saat hidup terasa penat dan berat, hiburan merupakan salah satu alternatif terbaik menyeimbangka jiwa. Menghindari kesumpekan yang berakibat fatal.

Amuk massa usai peristiwa Selasa Berdarah di Universitas Trisakti itu, nyaris semua komponen hiburan yang dekat dengan remaja ikut kena imbasnya. Banyak mal – tempat nongkrong favorit anak muda – habis terbakar. Kalaupun bangunannya masih berdiri tegak, kondisinya sudah amat memprihatinkan.

Pilihan hiburan di rumah juga makin berkurang. Sejumlah perusahaan rekaman yang berlokasi di kawasan Mangga Dua hancur berantakan. Ris Music Wijaya, Maheswara, dan HP Records – semuanya adalah kelompok usaha Musica Studio – mengalami kerugian yang cukup besar akibat peristiwa menyeramkan itu.

Meski terhindar dari amuk massa, PT Warner Music Indonesia belum bisa beroperasi sebagaimana biasanya. “Dari segi produksinya sebenarnya tak terlalu terganggu. Cuma siapa (agen-red) mau ambil barang kami sekarang ini?” Jalur distribusi kan sudah nggak karuan begini,” keluh Boy Gaok, International Label Manager dari Warner Indonesia.

Memang, kebanyakan perusahaan rekaman mengaku tak terganggu dari sektor produksi. Tapi roda produksi terpaksa dihentikan akibat jalur distribusi yang tak jelas. Akibatnya, sejumlah album baru ditunda rilisnya. Baik artis lokal maupun asing. Jelas sudah, pasokan lagu-lagu baru bakal makin seret.

Berharap mengoleksi lagu-lagu lama yang mencetak hit pun makin terbatas. Selain harga melambung tinggi, salah satu outlet terlengkap yang dimiliki Aquarius Pondok Indah habis dijarah massa. Padahal di sana sejumlah artsi beken bernaung. Sebut saja Potret, Dewa 19, Pas, Protonema, Sucker Head, Kanton, dll.

Maka jangan berharap ada konser besar dalam waktu dekat ini. Buntut-buntutnya, para artis mengeluh kekurangan order dan harus menata ulang jadual produksinya. Toh Dhani Manaf bersama Ahmad Band tetap optimis dengan nasibnya. Tapi tetap saja pilihannya makin mengecil.

Bisnis film sama saja. Camila Internusa Film – distributor film asing format layar lebar – menjerit minta tolong akibat kenaikan biaya impor yang gila-gilaan. Sebabnya? Apalagi kalau bukan nilai rupiah yang kedodoran mengejar laju mata uang asing.

Akibatnya, pemilihan film yang masuk ke Indonesia makin selektif. Pihak distributor asing melakukan penjadualan ulang peredaran filmnya di Indonesia. Misalnya Colombia Pictures yang bakal menunda film super dahsyat tahun ini, Godzilla. Atau The Man In The Iron Mask yang kadung sudah dipromosikan tapi tetap terkena dampak penjadualan ulang.

“Sejak kerusuhan kemarin, situasinya makin parah. Sekitar 8 bioskop habis terbakar. Daripada kami rugi karena muter (film-red) tapi nggak ada yang nonton, mendingan nggak muter aja,” jelas Tony Arif dari Camila Internusa Film.

Harapan satu-satunya tinggal bergantung kepada kreativitas TV-TV swasta. Memang, hanya sektor inilah yang mampu bertahan di tengah krisis. Meski terus dihantam badai, pihak TV swasta lebih beruntung karena bisa memutar ulang stok lama. Juga karena beberapa program sudah diteken sebelum krisis berkecamuk.

“Jadual penayangan World Cup 98 hingga saat ini tidak ada perubahan. Acara off air Sega Soccer juga tetap digelar. Tapi lihat kondisinya dulu. Moga-moga aja pusat-pusat permainan Sega nggak ikut dirusak massa,” kata Uki Hastama, staff humas SCTV.

PENDIDIKAN TERGANGGU

Kata H. Faisal Basri, pengamat ekonomi yang juga dosen FE UI, saat seperti ini tak ada yang bisa dilakukan remaja kecuali belajar dengan baik. Menginvestasikan diri untuk meningkatkan kualitas diri supaya bisa bersaing waktu semuanya sudah normal.

Persoalannya, sektor pendidikan pun terganggu aktivitasnya. Yang paling merepotkan, harga bahan baku kertas naik yang berbanding lurus dengan meroketnya harga buku. Perlahan tapi pasti, buku jadi barang mewah buat pelajar. Ironis.

Biaya pendidikan buknannya makin murah, melainkan makintak terjangkau. Ribuan mahasiswa terancam drop out, sementara ribuan lainnya sudah menyiapkan ancang-ancang untuk putus sekolah. Pilihan wajar jika melihat kondisi perekonomian yang makin berat.

Keluarga dengan pendapatan pas-pasan juga kesulitan mencari referensi tambahan. Banyak penerbit buku sudah menyatakan menyerah. Mereka lebih memilih berhenti mencerdaskan kehidupan bangsa daripada menanggung kerugian yang tak mungkin bisa ditutupi melihat kondisi sekarang.

Lagi-lagi remaja yang jadi korban. Apalagi sudah menjadi rahasia umum kalau sistem pendidikan kurang mendidik peserta belajar untuk mandiri. Guru tak senang dibantah. Apapun yang diajarkan harus diterima. Berbeda sedikit berarti salah. Berargumentasi dengan pola pikir berbeda berarti membangkang.

“Susah benar jadi pelajar sekarang ini. Tiap kali ulangan jawabannya sudah ditentukan. Kalau menjawab yang lain sedikit saja, disalahkan. Mereka jadi sulit berpikir kritis,” kritik Ibu Karlina yang sangat peduli dengan masa depan anak Indonesia.

Penyeragaman pola pikir itu bahkan sudah mulai diterapkan sejak jenjang SD. Lihat gambar rata-rata anak SD, polanya sama: 2 gunung, ditengahnya ada matahari, dilengkapi hamparan sawah yang membentang di kaki gunung itu. Sama, seragam, sebangun.

Maka betapa berat tugas pelajar sekarang ini. Saat kondisinya makin hari makin sulit, mereka dituntut kreatif menambah kualitas diri. Beruntunglah mereka yang sudah terbiasa bersikap “bandel”. Tak selalu mengikuti arus yang mengalir deras di sekitarnya.

Indonesia memasuki masa-masa yang paling berat. Khususnya buat generasi muda yang diwarisi bangun masyarakat yang butuh penambahan total. Tapi itulah tugas kaum muda, membangun kembali kejayaan Indonesia dan tak pernah lelah untuk terus berjuang. Apapun resikonya. Harus!

Kini ibu sedang lara…

Merintih dan berdoa…

( Febi/Yunus/Dwi/wahyu/dmr/angry ).

Tag

Editor : Alvin Bahar