Survei Kesehatan Mental di Indonesia: Hampir 100% Ngerasa Kesepian, 40% Pengen Bunuh Diri

Senin, 16 Agustus 2021 | 11:00
Wikimedia

Ilustrasi kesehatan mental

HAI-ONLINE.COM - Selama pandemi, yang perlu kita perhatiin nggak cuma kesehatan fisik dan ekonomi. Karena kesehatan mental, sama pentingnya.

Mau tau soal kondisi kesehatan mental warga Indonesia selama pandemi?

Into The Light, komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia, bareng denga Change.org melakukan survei kesehatan mental masyarakat Indonesia pada Mei-Juni 2021.

Andrian Liem, peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light mengatakan, survei ini dilakukan karena di Indonesia belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki.

Survei kesehatan mental ini diikuti secara daring oleh 5.211 responden yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa. Latar belakang peserta survei beragam secara demografi, misalnya jenis kelamin, kelompok usia, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV.

Berdasarkan hasil survei tersebut, stigma atau pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat.

Baca Juga: Dianggap Ganggu, Nyatanya Musik Metal Baik Buat Kesehatan Mental Lho

Hal ini tercermin dari nggak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.

“Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” kata Andrian.

Selain itu, ada hasil survei yang cukup mengkhawatirkan juga nih. Sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.

“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.

Hal ini selaras juga dengan hasil survei yang menemukan bahwa hampir 70% dari total partisipan mengaku nggak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir.

Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap nggak terjangkau.

Walau biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS dapat ditanggung dengan gratis, hasil survey mengungkap 7 dari 10 partisipan nggak tahu tentang informasi ini.

Hasil temuan lain adalah hampir 70% partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring (online).

Walau nggak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien.

“Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. Selain itu pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini,” kata dr. Jiemi.

dr. Jiemi menambahkan, jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa juga meningkat semasa pandemi, namun sebagian besar dari mereka sudah memiliki keluhan berat.

“Saya berasumsi banyak di antara kita terbiasa menunggu gejala yang benar-benar berat baru mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa. Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap nggak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” kata dr. Jiemi.

Menurut dr. Jiemi, layanan kesehatan jiwa juga mungkin akan menyentuh akar rumput lebih baik kalo pemerintah dan instansi terkait bisa bekerjasama dengan komunitas-komunitas terdekat agar target audiens lebih tepat. Dengan demikian mungkin bisa memperkecil hambatan untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.

“Di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, nggak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan nggak perlu disembunyikan. Jika merasa nggak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan di sekitarmu. Jika nggak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan,” tutup Andrian.

LO NGGAK SENDIRIAN.

Untuk melihat informasi daftar Puskesmas, Rumah Sakit, dan Biro Psikologi Penyedia Layanan Kesehatan Mental di Indonesia klik di sini

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya