HAI-Online.com - Peristiwa Mei 1998 merupakan salah satu momen kelam bangsa Indonesia. Sekaligus menjadi tragedi yang menewaskan banyak orang. Banyak toko yang dijarah hingga kerusuhan yang membuat aparat menembaki penjarah.
Baca Juga: Inilah 6 Penemuan Penting yang Tercipta pada Masa Perang Dunia II
Saat itu, kerusuhan terjadi bertepatan dengan gencarnya tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mundur dari jabatan yang sudah ia pegang selama lebih dari 32 tahun.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), peristiwa kerusuhan Mei 1998 mencatat lebih dari 1.000 orang tewas sepanjang bulan itu di Ibukota. Peristiwa ini juga membuat empat orang mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta Barat tewas tertembak oleh aparat pada 12 Mei 1998.
Terkait peristiwa kerusuhan Mei 1998, TGPF mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa itu menjadi faktor pemicu (trigerring factor) kasus kerusuhan yang lebih besar. Salah satunya menimbulkan penjarahan di berbagai lokasi di Jakarta.
Salah satu saksi mata dalam kerusuhan tersebut, Wawan (bukan nama sebenarnya), mengatakan, semua toko di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat, hancur dijarah massa, "Saya masuk ke sebuah toko di daerah Jembatan Lima. Biasanya toko ini penuh barang elektronik. Hari itu ludes, kosong melompong. Pemiliknya bersembunyi mengunci diri beserta keluarganya di lantai dua," ujar Wawan.
Saat kejadian, dia masih duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas. Sekolahnya diliburkan karena kerusuhan, “Sekolah diliburkan karena marak demonstrasi mahasiswa. Lupa saya sampai kapan, kayaknya sampai Soeharto lengser masih diliburkan,” ujar Wawan, dilansir dari Historia.
Baca Juga: Kenapa Ada Hari Kartini, tapi Nggak Ada Hari Cut Nyak Dien? Kemdikbud Bocorin Alasannya
Bukan hanya itu, aparat keamanan juga mencoba mengendalikan keamanan dengan cara keras. Para perusuh dihalau dengan rentetan tembakan, "Pas di Jembatan Lima lagi banyak penjarah, ada helikopter mendekat. Nah, lalu keluar tuh orang-orang berseragam hitam (aparat keamanan) dengan menenteng senapan, meluncur pakai tali dari helikopter ke bawah. Massa langsung bubar,” ujar Wawan.
“Kalau di Glodok, ada tank dari arah Harmoni. Orang-orang berbaju hitam menembaki orang-orang yang sedang menjarah Glodok,” imbuhnya.
Respon dari peristiwa tersebut, pemerintah kemudian membentuk TGPF pada 23 Juli 1998. TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, serta organisasi kemasyarakatan.
Tugasnya adalah menemukan dan mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang kerusuhan yang berlangsung selama tiga hari, dari tanggal 13-15 Mei 1998.
Dalam laporannya, TGPF menjelaskan bahwa pelaku kerusuhan terdiri dari tiga golongan, yaitu:
- Massa aktif atau massa pendatang yang bergerak dengan terorgarnisasi
- Massa pasif atau massa lokal yang semula menonton lalu ikut
- Provokator yang menggerakkan atau memancing massa
Data lain dikumpulkan oleh Polda Metro (451 meninggal, korban luka-luka tidak tercatat); Kodam Jaya (463 meninggal dunia termasuk aparat keamanan dan 69 orang terluka); dan Pemprov DKI (288 orang meninggal dunia dan 101 luka-luka).
Hal yang memprihatinkan adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan massal, penyerangan seksual, dan pelecehan seksual. TGPF mengumpulkan dan memverifikasi 52 korban pemerkosaan; 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan; 10 korban penyerangan seksual; dan 9 korban pelecehan seksual. Sebagian besar kasus kekerasan seksual menimpa perempuan Tionghoa.
Bagi yang pernah merasakan kerusuhan Mei 1998, tentu berharap kejadian seperti itu tidak terulang lagi di Indonesia.
Baca Juga: Kenapa Nggak Ada Ayah dalam Gambar Kaleng Khong Guan? Ini Alasan dan Sejarahnya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta: Warga Beringas Jarah Toko, Aparat Turun dari Helikopter Tembaki Penjarah"