HAI-Online.com- Jumlah anak putus sekolah selama masa pandemi covid 19 mengalami peningkatan.
Dari pemberitaan yang banyak tersebar, selama sekolah jarak jauh ini, banyak teman-teman pelajar yang kesulitan mendapat akses internet serta berkekurangan mendapat jatah kuota sehingga mereka pun harus menghentikan kegiatan belajarnya.
Padahal menurut paparanRetno Listyarti, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan pengawasan Sekolah Jarak Jauh sejak Januari 2021 ini, ada lima alasan yang menyebabkan pelajar putus sekolah, yaitu karena menikah, bekerja, menunggak Iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia.
"Faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ungkap Retno dalam siaran tertulis yang HAI terima, Sabtu (6/3/2021) ini.
Adapun berdasarkan hasil pantauan KPAI selama Januari-Februari 2021 saja sudah menunjukkan angka putus sekolah yang memprihatinkan.
Uraian datanya diperoleh KPAI dariwilayah pantauan, antara lain Kota Bandung, Cimahi, Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta.
Pemantauan di lakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).
Berikut hasil pemantauan yang dilakukan KPAI pada Februari 2021, beserta temuan kelima alasan pelajar putus sekolah.
1. Menikah tanpa sepengetahuan sekolah
Pelajar yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik. Ini terkadi di kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima.
Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah. Karena masih PJJ, maka mayoritas siswa sudah menikah itu tanpa sepengetahuan pihak sekolah.
"Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan home visit karena tidak pernah lagi ikut PJJ," papar Retno lagi.
Angka 33 siswa menikah di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.
“Di Buton, baru saja berlangsung (6/2/2021) perkawinan antara anak usia 14 tahun dengan anak usia 16 tahun, ini tentu menambah jumlah anak yang putus sekolah karena menikah,” beber Retno lagi.
2. Pelajar terpaksa bekerja
Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga.
"Ada 1 siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Ada 1 siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak punya karyawan dan sepi orderan cetakan," ungkapnya lagi.
3. Siswa menunggak SPP berbulan-bulan
Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi. Terhitung mulai Maret 2020 s.d. Februari 2021 ada 34 kasus.
"Tiga diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK," beber Retno lagi.
Penunggak sekolah terjadi karena biasanya kena dampak langsung pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut anjlok. Bakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan.
"Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemic menjadi penyebab utama," jelasnya.
Sempat ada pengaduan dari sekolah di Pekanbaru dimana ketiga siswa swasta sama sudah tidak dapat mengakses pembelajaran daring lantaran menunggak spp.
"Sudah dikeluarkan dari grup whatsApp kelasnya dan salah satu anak akan ujian kelulusan sebentar lagi. Kasus ini dalam proses penanganan oleh KPAI, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Pekanbaru sudah dimintai klarifikasi. Tahapan selanjutnya adalah mediasi demi pemenuhan ha katas pendidikan ketiga anak tersebut," terang Retno juga.
Beberapa sekolah juga melakukan penahanan ijasah anak yang lulus tahun 2020 karena sampai sekarang belum melunasi pembayaran SPP.
Yang parah sekolah sampai tega mengeluarkan siswa penunggak tersebut. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan, dan Cirebon.
4. Kecanduan game online
Punya kuota, bisa bayar SPP tapi saat dilakukan pengawasan pelajar di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan psikologi.
"Guru menceritakan, anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh," tuturnya.
KPAI menghitung jika di rata-rata di setiap kabupaten/kota ada minimal 2 kasus serupa, maka total di seluruh Indonesia bisa ada seribuan anak atau lebih mengalami kecanduan game online.
5. Siswa Meninggal Dunia
Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir pada Januari lalu.
Satu siswa lainnya berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor.
Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang putus sekolah karena meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.
Atas temuan ini, KPAI meminta negara harus hadir untuk mencegah anak-anak putus sekolah selama pandemi karena masalah ekonomi atau karena ketiadaan alat daring.
"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus segera melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah beserta alasannya. Hasil pemetaan dapat digunakan sebagai intervensi pencegahan oleh Negara. Hak atas pendidikan adalah hak dasar yang wajib di penuhi Negara dalam keadaan apapun," terangnya.
Selain itu, faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena menikah, bekerja dan menunggak SPP, umumnya di sebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi dan alat daring juga jadi perhatian.
"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membantu kelompok rentan ini, yaitu anak-anak dari keluar miskin yang sangat berpotensi kuat untuk putus sekolah," jelasnya. (*)