5 Band Indonesia yang Perhatian dengan Isu Lingkungan, Banyak yang Dari Bali

Kamis, 07 Januari 2021 | 11:00
Facebook/Navicula

Navicula

HAI-ONLINE.COM-Isu lingkungan merupakan salah satu isu yang paling seksi dan sering dibicarakan belakagan ini. Terdapat berbagai pro - kontra dan perdebatan yang selalu muncul dalam memandang kondisi lingkungan di sekitar kita.

Wadahuntuk mengkampanyekan pemeliharaan lingkungan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah musik. Band-band di artikel ini kerap menyisipkan keresahan mereka terhadap kerusakan lingkungan yang mereka tuangkan dalam nada. Simak daftarnya:

Navicula

Dok. Navicula

Navicula, 2020.

Band gaek yang berasal dari Pulau Dewata ini sudah dikenal malang melintang di pentas permusikan tanah air maupun mancanegara.

Tak jarang publik juga menyematkan label ‘The Green Grunge’ karena konsep dan pesan yang mereka bawakan selalu beririsan dengan aktivitas mereka dalam isu-isu sosial dan juga lingkungan.

Band yang telah terbentuk sejak tahun 1996 ini beranggotakan Robi, Dadang, Made, dan Gembul.

Proses kreatif memiliki pengaruh kuat dari gelombang Seattle sound yang juga berhasil menembus tanah air di medio 1990-an. Aroma dan nada khas Soundgarden ataupun Alice in Chains dapat kalian temukan jika mengulik sebagian lagu dari mereka.

Baca Juga: 3 Rekomendasi Band Rock dari Luar Pulau Jawa yang Wajib Masuk Playlist Lo

Menariknya, Navicula tidak pernah lupa dengan Bali sebagai akar mereka. Setiap karya yang berhasil mereka telurkan selalu berakar kuat dari kecintaan mereka terhadap Bali, terutama dalam pemeliharaan budaya dan lingkungannya.

Nomor ‘Harimau’ dan ‘Orangutan’ adalah buah dari hasil kepedulian mereka terhadap kondisi lingkungan di Indonesia yang sudah memprihatinkan.

Dialog Dini Hari

Twitter @dialogdinihari

Dialog Dini Hari

Dialog Dini Hari adalah wadah lain bagi Dadang, sang gitaris dari Navicula. Sehingga, proses perumusan dan penulisan lagu dari band juga tidak jauh dari gentingnya permasalahan lingkungan yang sedang melanda di Indonesia.

Dengan mengajak Brozio Orah dan Deny Surya, Dialog Dini Hari terbentuk di Pulau Bali pada tahun 2008.

Mereka memainkan musik yang memadukan preferensi dan kualitas pribadi dari masing-masing personel. Irisan yang dapat kalian ambil ketika dengerin mereka adalah kental dengan nuansa folk, ballad, blues, maupun jazz.

Mereka emang nggak pernah secara langsung mengakui kalo mereka adalah band yang sarat dengan isu lingkungan. Dialog Dini Hari lebih nyaman diakui sebagai band yang mengusung kesederhanaan, sesuai dengan musik folk yang mereka usung.

Folk yang berarti dasar rakyat, bagi mereka adalah bagaimana pesan dapat tersampaikan secara mudah dan menarik di mata masyarakat luas.

Dengan begitu, Dialog Dini Hari bisa lebih leluasa untuk menelurkan karya-karya mereka tanpa ada pelabelan apapun. Nomor ‘Bumiku Buruk Rupa‘ yang sarat akan kepedulian lingkungan adalah bukti nyata dari kejujuran mereka dalam memandang kondisi sehari-hari yang diformulasikan dalam nada-nada sederhana namun berisi.

Nosstress

Instagram @nosstressbali

Nosstress

Pulau Bali nampaknya sangat akrab dengan aktor-aktor yang secara aktif menyuarakan isu lingkungan.

Nostress adalah band terakhir asal Pulau Dewata yang ada dalam list ini. Dilansir dari situs resmi milik band, Nostress terbentuk di medio 2007 / 2008, Nostress bermain musik dengan blues dan folk dalam alunan pop, Nosstress menyederhanakan kritik, optimisme, dan kepedulian terhadap lingkungan dalam cerita-cerita yang ringan tanpa mencekoki pendengarnya, bahkan menempatakannya dalam narasi keseharian hidup untuk kita semua, didendangkan dengan suka cita.

Nostress secara halus menyisipkan kritkan-kritikan penting yang berisikan tentang kepedulian mereka terhadap kondisi Pulau Bali yang semakin susah untuk terpelihara.

Sedikit menyentil industri pariwisata yang sangat masif di kampung halamannya, Nostress berharap terdapat kepedulian dari para pelancong untuk dapat saling menjaga dan memelihara demi kesejahteraan dan kedamaian bersama di Pulau yang sangat mereka cintai. Nomor ‘Hiruk Pikuk Denpasar’ & ‘Tanam Saja’ adalah bentuk keresahan mereka terhadap kondisi Pulau Bali yang tidak mereka idamkan.

Primata

Dok. Primata

Primata

Beranjak ke Ibukota, Primata adalah unit Instrumental / Industrial Rock yang beranggotakan Rama Wirawan, Adhitomo Kusumo, dan Ria Antika.

Kalo kita lihat dari namanya nih, udah jelas banget kalo mereka adalah para aktivis lingkungan yang konsisten dan nggak kenal lelah untuk mengingatkan kalian atas kondisi lingkungan yang udah ngaco.

Berbasis di Jakarta coret tepatnya di Tangerang Selatan, Primata menjalankan keseriusannya dalam bermusik sekaligus mengkampanyekan isu lingkungan yang mereka usung. Tercatat pada 2018 lalu, Primata pernah berinisiatif menggalang dana untuk keselamatan Orangutan yang merupakah satwa khas Indonesia.

Bekerja sama dengan The Center of Orangutan (COP), saat itu Primata merilis single mereka yang bertajuk ‘Tebang’ sekaligus diluncurkannya merchandise band mereka yang bergambar Orangutan. Menariknya, sebagian keuntungan dari merchandise mereka disumbangkan untuk kesejahteraan Orangutan yang ada di Indonesia.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda di awal tahun 2020 lalu, Primata berhasil merilis single dan video musik bertajuk “Sebelum Terlalu Mati” yang mengilustrasikan kondisi Bumi pada satu dekade ke depan. Primata benar-benar resah dan khawatir dengan bahaya hancurnya peradaban manusia jika perilaku sebagian besar umat manusia yang saling tidak menunjukkan kepedulian kepada sesama makhluknya terus berlanjut.

Ashporia

Dok. Asphoria

Asphoria

Asphoria adalah sebuah band Indie Rock / Ambient yang terbentuk di Bogor pada tahun Band ini berdiri pada tanggal 10 Juli 2009 yang beranggotakan Achmad Fauzan "Fanfan" Alfansuri, Aria, Maul, dan Irfan.Pada laman resminya, Asphoria dengan lantang menyatakan bahwa tema lingkungan, alam, dan sosial adalah inspirasi terbesar dalam penulisan lagunya.

Lagu ‘Eschatology‘ bagi mereka adalah proses untuk mengajak pendengarnya untuk merenungi makna peradaban manusia; nomor ‘Funeral for the Turquoise‘ yang bertemakan pemanasan global dan kerusakan lingkungan di muka bumi, dan lagu ‘Living In A World Of Atrocity‘ yang bertemakan "kekecewaan terhadap perbuatan manusia, mulai dari kerusakan lingkungan sampai ketidakadilan yang terjadi di antara sesama manusia"

Isu yang diangkat terdengar klise dan monoton, namun nyatanya lagu-lagu mereka memiliki dampak yang cukup bagi kontribusi mereka di isu yang mereka angkat. Lagu-lagu mereka seperti ‘Living in a World of Atrocity’, ‘Eschatology’, dan ‘Dialek Ruang Hampa’ berhasil didapuk sebagai lagu pengiring dalam event Oxfam Trailwalker tahun 2012 yang dihelat di Jerman. Oxfam Trailwalker sendiri merupakan event internasional tahunan yang menghelat uji ketahanan fisik atau Trailtekker yang berfungsi untuk menyadarkan para peserta tentang pentingnya pemeliharaan bumi.

Penulis: Mohammad Farras Fauzi

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya