Cerita WR Supratman Muda: Sempat Dilupakan, Tapi Tetap Berjuang Lewat Musik untuk Negeri!

Senin, 09 Maret 2020 | 20:05

Cerita WR Supratman Muda: Sempat Dilupakan, Tapi Tetap Berjuang Lewat Musik untuk Negeri!

HAI-Online.com - Dari rumah gedung, Wage Supratman pindah ke kampung dan mengontrak pondok beratap nipah dan berlantai tanah. Di daerah tempat tinggalnya, dia mulai mengerti penderitaan rakyat.

Tak jarang dia melihat penduduk di sekitarnya makan sehari sekali, itu pun hanya kerak nasi.

Baca Juga: Cerita WR Supratman Muda, 19 Tahun Perform di Pesta Kondangan!(Part 1)

Walau miskin, Wage merasa bahagia. Bahkan dia mulai meninggalkan musik sebagai mata pencaharian. "Uang pencarian seperti itu tidak berkat,” katanya.

“Tidak diberkati Tuhan. Apa gunanya gaji besar kalau tidak memberi kepuasan. Ibarat orang minum air garam di hari panas. Semakin diminum semakin dahaga dan kesehatan pun rusak," ucapnya lagi.

Sebagai wartawan Wage punya kebanggaan tersendiri.

"Wartawan itu pemuka bangsa. Bukankah seorang wartawan memberi penerangan umum? Bukankah tugas wartawan membela yang tertindas,” tegas Wage Rudolf Supratman saat bekerja dikoran SinPo, sebagai wartawan kriminal.

Semangat Bikin Lagu 8 Hari!

Pergerakan politik makin hangat. Dari Yogyakarta muncul anjuran agar komponis Indonesia menciptakan lagu yang bisa dijadikan lagu kebangsaan. Yang ada waktu itu baru beberapa lagu mars seperti Dari Barat Sampai Ke Timur' yang kurang memberi semangat dan kepuasan bagi kebanyakan rakyat.

Supratman begitu gembira dalam hati dia yakin akan mampu memenuhi anjuran itu.

Berhari-hari, siang malam dia mempersiapkan lagunya. Hari ke delapan, jam lima pagi dia berhasil menyelesaikan not sebuah lagu yang dirasa bersemangat dan mencerminkan semangat rakyat yang tak bisa dirantai, tak bisa dikekang lagi.

Lagu itu menggambarkan perjuangan rakyat yang tak kenal lelah. Supratman yakin lagu karangannya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia yang sedang bangkit dari tidurnya yang lelap.

"Di masa yang akan datang Indonesia akan bersalaman dengan dunia internasional. Maka semangat itu harus ditanamkan dalam sanubari bangsa kita. Mengapa tidak dimasukkan dalam lagu kebangsaan?" katanya pada diri sendiri.

Baca Juga: Cerita Dibalik Macam-macam Fauna yang Muncul di Cover Album Band dan Musisi Indonesia

Bingung Sama Judul

Tapi, kemudian dia bingung memberi judul lagunya. Mungkin "Lagu Kebangsaan" cukup katanya.

Setiap ada kesempatan dimainkan lagu ciptaannya. Dalam menyusun syairnya, Supratman teringat pidato Bung Karno di Bandung yang pernah didengarnya.

"Airnya kamu minum, nasinya kamu makan. Abdikanlah dirimu padanya. Kepada Ibu Pertiwi, Ibu Indonesia".

Dia kemudian menetapkan judul lagu ciptaannya, "Apa salahnya kalau aku namakan Indonesia Raya?" tanyanya pada diri sendiri.

Tanggal 22 Desember 1928 Supratman menulis surat ke pengurus Gedung Perhimpunan Indonesia di Kramat, Jakarta. Isinya pemberitahuan telah tercipta sebuah lagu yang bersemangat dan berirama mars.

Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan

Wage minta diberi kesempatan untuk memperdengarkan lagunya.

"Kalau pun tak dapat dipakai sebagai lagu pergerakan atau kebangsaan, memadailah kalau diperdengarkan", tulisnya.

la ingin memperkenalkan lagu barunya di kongres Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang akan diadakan tanggal 24-28 Desember 1928.

Baca Juga: Main di Barat: Saturday Punk-coustic Jadi Ajang Silaturahmi Stand Here Alone Dkk Dengan Fans!

Hari itu, tanggal 24 Desember 1928. Gedung PPPI (sekarang gedung Sumpah Pemuda Jin. Kramat Raya Jakarta) penuh sesak dihadiri pemuda utusan dari berbagai daerah. Wajah mereka mencerminkan kesungguhan dan semangat kebangsaan.

Tiba-tiba seorang pemuda yang langsing, kurus dan hitam dengan senyum terlukis di bibir, maju ke mimbar memimpin orkes. Pancaran matanya menunjukkan dia pemuda yang idealis.

Pertama-tama orkes menyanyikan lagu kebangsaan beberapa negara. Kemudian hadirin diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan seksama.

Tangan pemuda itu terlihat gemetar, tapi dengan pelan tetap digesek biolana diiringi piano.

Sekali lagi diulangi lagu ciptaannya sambil menyanyikan syair dengan penuh semangat. Terakhir lagu itu dinyanyikan bersama oleh lima puluh orang pemuda. Lagu telah lama selesai tapi ruangan kongres tetap sepi. Keharuan meliputi diri semua orang.

Lagu yang menumbuhkan semangat telah mereka temukan.

Belanda Marah dengar Lagu Ciptaan Wage

Lagu Indonesia Raya belum dapat dikatakan sebagai lagu kebangsaan. la sudah diterima sebagai lagu perjuangan, pembangkit semangat dan tersimpan rapat di hati tiap orang.

Salinan lagu itu kemudian dicetak dan habis terjual, hingga mempercepat penyebarannya. Semua orang sibuk menghafalkannya, tak mau kalah satu dengan yang lain.

Di setiap kesempatan orang menyanyikannya bersama, entah itu di jalan, di rumah apalagi dalam pertemuan resmi. Akibatnya sudah jelas pemerintah Belanda tak senang. Lagu karangan Wage ternyata lebih hebat pengaruhnya daripada pidato politik.

Lagu itu dilarang beredar, tapi justru rakyat semakin bersemangat menyanyikannya.

Cita-cita Wage tercapai, menjadi orang terkenal. Tidak hanya terkenal, tapi dia berhasil menyumbangkan jasa bagi bangsanya.

Baca Juga: Bawa Aura Positif, Lagu Danilla Ternyata Pernah Selamatkan Nyawa Bayi yang Hendak Digugurkan

Wage Dilupakan

Roda kehidupan berputar terus. Kadang di atas menjadi pusat perhatian, hidup enak dan terkenal. Tapi sekali waktu dia akan di bawah, sengsara dan dilupakan orang.

Wage dua kali menikah, tapi dua-duanya berakhir tanpa meninggalkan keturunan. Dia sebagai pengarang mulai dilupakan orang. Hidupnya dibelit kemiskinan, semua barang habis dijual untuk makan dan berobat. Hatinya merana, karena sekarang tak seorang pun yang mengenalnya.

Hanya seorang yang masih mengingatnya, Dr Soetomo, yang mengenalinya ketika dia jatuh miskin dan pindah ke Surabaya.

Kekecewaan yang bertumpuk makin menggerogoti kesehatannya. Tanggal 16 Agustus 1938 keadaannya makin melemah. Terbangun sebentar dia hanya meninggalkan pesan.

"Serahkan lagu Indonesia Raya pada badan kebangsaan", dan itulah pesan terakhirnya.

Tanggal 17 Agustus 1938, dalam usia 34 tahun Wage Rudolf Supratman meninggal.

Patung WR. Soepratman

Semua orang kaget mendengar kabar duka itu. Orang hanya mengenal Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya. Tapi tak seorang pun yang mengenal pribadinya. Dia merana karena merasa ditinggalkan semua orang.

Waktu berjalan terus, lagu ciptaannya tetap dinyanyikan lagi oleh banyak orang. Setelah kemerdekaan didengungkan, tanggal 26 Juni 1958 keluar Peraturan Pemerintah lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.

Seandainya Wage masih hidup, dia patut berbangga mendengar berita pengangkatan itu. Di dunia ini hanya beberapa negara, termasuk Indonesia Prancis, Kanada dan Srilangka yang lagu kebangsaannya ciptaan satu orang.

Biasanya syair dan lagu diciptakan oleh dua orang, bahkan ada beberapa negara yang lagu kebangsaannya diciptakan oleh orang asing.

Ya, seandainya dia tahu itu. Dia tak perlu merana dan kecewa. (*)

Tag

Editor : Al Sobry