Ditulis oleh Vanessa Kristina, Universitas Diponegoro
HAI-ONLINE.COM - Mungkin kemarin aku tidak turun ke jalan. Mungkin kemarin aku tidak ikut panas-panasan. Mungkin kemarin aku tidak ikut mengangkat spanduk, yang bertuliskan segala guyonan dan sumpah serapah. Mungkin kemarin aku tidak turut mengucapkan ‘janji mahasiswa’, ataupun meneriakan ‘hidup mahasiswa’ dan ‘hidup rakyat Indonesia’ di depan kerumunan orang banyak.
Namun, itu semua bukan berarti aku tidak peduli dengan bangsa ini, karena sesungguhnya aku memiliki cara sendiri untuk peduli dengan bangsa ini.
Belakangan ini, Indonesia sedang menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi. Dimulai dari demonstrasi rasialisme yang berujung gerakan separatisme, eksploitasi lingkungan yang merugikan hajat hidup orang banyak, dan yang terbaru adalah rencana pengesahan undang-undang yang kontroversial, seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi UU KPK. Karena masalah-masalah inilah, dan ketidakcakapan para politikus, mahasiswa se-Indonesia memutuskan bergerak dan menyalurkan aspirasi mereka, yang kemudian dirangkum menjadi tujuh tuntutan.
Dari berhari-hari yang lalu, Indonesia sudah dihebohkan dengan demonstrasi mahasiswa yang dilaksanakan secara serentak di beberapa kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan beberapa kota lainnya. Demonstrasi mahasiswa ini juga merupakan demonstrasi yang terbesar setelah demonstrasi tahun 1998, dimana kala itu para mahasiswa Indonesia bersatu padu untuk menyuarakan pemerintahan yang bersih dan demokratis.
Memang demonstrasi tidaklah salah, bahkan sangat baik untuk menjaga dan mengawasi berjalannya demokrasi di bumi pertiwi. Gerakan ini juga menarik simpati rakyat, bahkan yang lahir setelah reformasi pun turut bersimpati dengan gerakan tersebut.
Namun sayangnya, aksi yang seharusnya bisa berjalan dengan baik malah menjadi ricuh, terutama di Jakarta dan Bandung. Di Jakarta sendiri terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Mulai dari penembakan gas air mata dan watercanon, serta aksi-aksi yang menjerumus ke arah anarkis yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Bahkan, saat ini sudah ada beberapa mahasiswa yang hilang ditengah-tengah kericuhan Senayan, hingga kini nasibnya masih dipertanyakan. Sangat disayangkan bahwa demonstrasi selalu berujung dengan kekerasan. Padahal, demonstrasi seharusnya bisa dilaksanakan dengan tertib tanpa adanya kekerasan.
Ada juga pihak-pihak yang memiliki kepentingan lain menunggangi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa, sehingga menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Inilah yang juga dikhawatirkan, bahwa akan ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan keadaan untuk tujuan diri mereka sendiri, bukan demi Indonesia dan rakyatnya.
Kini sudah dua puluh tahun lebih era reformasi telah berjalan. Akan tetapi agenda demo ’98 masih banyak yang belum tercapai. Celakanya, para mahasiswa yang dulu pernah turun ke jalan di waktu itu kini malah terjebak di zona nyamannya. Sebagian dari mereka telah nyaman di kursi kedudukan mereka, bergelimpangan dengan harta dan kekayaan. Lupa akan idealisme mereka, tidak lagi peduli dengan apa yang mereka cita-citakan pada waktu itu. Karena sesungguhnya demonstrasi di tahun ini melawan mereka yang dulu juga pernah berdemonstrasi di tahun 1998, hanya saja luntur sudah idealisme mereka karena telah merasakan kursi kekuasaan.
Sekarang aspirasi telah kami sampaikan, kami hanya bisa berharap yang terbaik. Semoga pemerintahan mau mempertimbangkan apa yang telah kami suarakan demi masa depan Indonesia. Dan teruntuk yang hari ini turun ke jalan, janganlah seperti pendahulu kita yang lupa akan cita-citanya ketika mendapat kekuasaan. Sebaliknya, gunakanlah itu untuk membawa dampak yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena ketulusan adalah kekuatan.
Tulisan ini adalah bagian dari #YourVoiceMatters, User Generated Content (UGC) untuk mewadahi mahasiswa dan pelajar untuk bersuara. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.