Ngalor-Ngidul Bersama Heruwa Ngebahas Skena Musik Sidestream di Jogja

Senin, 11 Maret 2019 | 14:50

Heruwa Shaggydog

Arsip majalah HAI 03 2017 - Penulis: Rasyid Sidiq

HAI-online.com -Ngomongin scene musik Yogya tanpa ngomongin Shaggy Dog tuh kayak makan nasi kucing tapi nggak pake gorengan. Ada yang kurang! Gimana nggak, band satu ini sudah “menggonggong” sejak 19 tahun lalu. Mereka udah ngerasain banyak pengalaman di industri musik, deh, pokoknya. Dari yang mulanya milih sepenuhnya indie, terus gabung ke EMI Indonesia, ditawarin gabung ke SONY, lalu balik lagi ke jalur indie, sudah dilakoni.

Karena itu HAI ngerasa dosa, sih, kalau ngebahas musik arus pinggir tanpa menggali isi pikiran Heru, vokalis Shaggy Dog, juga. Apalagi, kan, sekarang ini mereka bikin label Doggy House Records yang jadi salah satu muaranya bandband sidestream Yogya.

Dengan panjang lebar, bapak yang lagi sibuk ngurus anak barunya ini, bercuap-cuap.

Walau mengetik transkrip wawancaranya bikin jari lelah, tapi menyimak pemikirannya ini saya tergugah.

T: Perkembangan musik sidestream di Jogja gimana menurutmu? Apa yang menarik perhatianmu sekarang ini?

J: Sekarang perkembangannya tambah bagus, ya. Selain Shaggy Dog ada Endank Soekamti, Sheila On 7, dan FSTVLST.

Menurutku Jogja juga udah mulai bisa jadi barometer pergerakan musik Indonesia suatu saat nanti. Bisa jadi sih. Kalau seni rupa kan udah jelas, kalau musik aku yakin suatu saat bisa jadi barometer musik Indonesia, secara karya ya.

Band-band di sini bisa berkembang di luar musik juga. Seperti misalnya Shaggy Dog sendiri bisa punya perusahaan rekaman sendiri. Endank Soekamti bisa melebar ke video. FSTVLST itu melebar ke seni rupa (artwork) dan juga film Filosofi Kopi. Terus, banyak juga yang go internasional, seperti Shaggy Dog sendiri. Terus, ada yang baru seperti Senyawa, mereka tur ke Amerika.

Baca Juga : Iga Massardi Berbagi Kunci Suksesnya Merintis Karier Musik Secara Independen

T: Ngeliat peta sidestream di Jogja itu dulu dan sekarang gimana sih?

J: Kalau dulu tuh, petanya ada kubu selatan dan utara. Selatan biasanya underground, punk, ska, grindcore. Kalau utara biasanya band-band alternatif. Kalau sekarang lebih nge-blend. Dulu mungkin studio musik jadi tempat nongkrong kayak Alamanda, dan lain-lain.

Sekarang lebih merata sih, lebih banyak tongkrongan kayak punya Farid FSTVLST (Libstud), Shaggy (Doggy House), DPMB (Wijilan), Kawasan selatan kadang bercampur juga antara musik dan seni karena dekat dengan ISI. Kalau utara biasanya dekat dengan industri karena dekat dengan pendatang (banyak kampus).

T: Soal karya musiknya apa sih yang ngebedain era Shaggy Dog dulu dengan era sekarang?

J: Karakter musiknya. Kalau band dulu tuh kuat sekali. Kayak udah menemukan jati dirinya. Kalau yang sekarang ini justru dengan adanya segala macam kemudahaan ini jadi “manja”. Cepet berubah karakternya karena terpengaruh.

Terus, masalah attitude. Attitude-nya kurang. Band itu kan tentang musikal, performance, terus attitude. Sebuah band itu harus punya attitude.

T: Band-band baru di Jogja ini ada nggak yang masuk “radar”mu? Siapa saja?

J: NDX itu keren sih. Liriknya bahasa Jawa. Menurutku dia malah nggak dibuat-buat. Dia bisanya kayak gitu, nggak di-set gitu, “Oh, nanti kita image yang akan kita tampilkan kita ini ndeso, kita set hiphop dangdut.” Nggak gitu.

Mereka nggak ngerti alat DJ tuh seperti apa. Mungkin dulu mereka tuh iseng-iseng ya. Nggak sengaja terus meledak. Gila yang nonton 30.000 di Jepara. Kamu liat jadwalnya tuh gila. Ya itu konten lokal, lokal Jogja. Lalu band kayak Frau, Senyawa, Zoo, Rabu, Sisir Tanah, mungkin bisa jadi pungawa sidestream baru.

Apa tipsmu untuk komunitas musik sidestream untuk menciptakan pasar? Banyak-banyaklah kamu untuk networking. Tidak perlu bikin satu perkumpulan dengan nama paguyuban apa gitu sih. Cuman ya harus sering mengenalkan musikmu. Jangan takut, jangan malu bertanya, mengenalkan diri. Ada musisi siapa, datengin aja.

Manfaatkan sosmed untuk ngumpulin komunitas. Kalau musik kamu bagus, akan menjual dengan sendirinya kok. Ini terjadi di proyekku, Dub Youth. Nggak ada promo bisa dikenal. Kalau zaman dulu itu ada MySpace, terus di-download-in aja.

Nah, disitu aku percaya bahwa kekuatan sebuah lagu. Terbuktilah, aku sampai Berlin, gara-gara awalnya upload musik ke MySpace dulu. Nah, ini bisa jadi salah satu cara untuk penyebaran musik. Terus jangan segan bikin CD sample, untuk nyebarin secara gratis juga. Nikmatin aja prosesnya. (*)

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya