Dikutip dari arsip majalah HAI 03 2017
HAI-online.com - "Lahir di Jakarta, bulan Januari. Tanggal 11. Tepat 4 hari sebelum peristiwa Malari melanda. Pada sebuah bidan di bilangan Kampung Melayu. Bernama Aini. Jimi lebih dulu mahir menggambar di banding membaca. Menderita step ketika balita. Hingga akhirnya tumbuh menjadi anak penghayal.”
Itulah sepenggal deskripsi diri Jimi Multhazam yang sempat saya kebet di blog jimijimz.wordpress.com.
Setelah saya scroll ke bagian bawah deskripsi tadi, rupanya pentolan The Upstairs ini juga nyantumin sederet daftar panjang mengenai hal apa aja yang udah pernah dilakukannya di kancah musik Indonesia. Ada pula sedikit riwayatnya sebagai seniman visual yang beberapa kali ikut pameran. Buat kalian penggemar beratnya, pastilah tau kalau dia sempat bergelut di sebuah band bernama Bequiet di kurun waktu ‘90-an akhir. Lalu, dia juga punya proyek bermusik lain selain The Upstairs, yakni Morfem, yang belum lama ini juga sukses meluncurkan album terbaru, Dramaturgi Underground.Bahkan, proyeknya yang bernama Bequiet tadi juga udah aktif lagi sejak tahun 2015.
Masih di laman blognya tadi, om Jimi juga rajin mengunggah beberapa posting-an, bahkan masih terlihat aktif sampai sekarang. Cenayang Musik Indonesia 2011 adalah judul dari salah satu tulisan yang cukup menggoda saya untuk membacanya. Sudah 6 tahun lalu memang, tapi tetap menggelitik pasca disimak. Di tulisan itu, doi mencoba menyampaikan “ramalan”-nya tentang dunia musik di tahun 2011.
Ia ngebeberin kalo di tahun 2010, ada beberapa album musisi indie keren yang rilis.
Kayak Bangkutaman, White Shoes and The Couples Company, Kelelawar Malam, plus Bayu Risa. Album-album itu, kata om Jimi, bagus-bagus semua, tapi mungkin nggak banyak orang yang tau nama dan karyanya.
Baca Juga : Tanya Jawab Dengan Stevie Item Tentang Serunya Berkarier di Musik Sidestream dan Mainstream Sekaligus
“Itulah fenomena monoton Musik Indonesia. Musik yang keren artinya nggak dikenal luas oleh masyarakat,” begitu tulis om Jimi di sana.
Pun pada tulisan itu, ia juga “menyindir” musisi TV yang lebih mirip marketer wahid ketimbang seniman. Musisi-musisi itulah yang lagunya jauh dari kata catchy, tapi penontonnya berjubel dan saban merchandise-nya dijual, selalu laku keras. Keping-keping CD-nya pun ludes terjual. Kelihatannya, cukup beda nasib sama musisi “mandiri” yang ada pada waktu bersamaan. Kesimpulan dari tulisan itu menyebutkan, akan ada banyak karya musisi lain yang bagus di 2011.
“Akhirnya, akan seperti apakah musik Indonesia di tahun 2011. Karya-karya musisinya, jelas banyak yang bagus. Sistem kurang mendukung. Nah, tinggal bagaimana musisi yang bagus bisa sekaligus pintar jadi marketing dan mengakali keadaan,” tulisnya.
Entah apa yang ada di khayalan sang anak pengkhayal waktu menulis artikel itu. Yang pasti, apa yang dia sampaikan, kurang lebih masih relate sama kondisi sekarang. 6 tahun berselang setelah “ramalan” itu diutarakan, kondisi yang berubah sekarang, kemungkinan baru soal kemajuan internetnya aja. Menurut Om Jimi, bermusik di jalur side streamini cuma perkara seberapa mau kita berusaha, dan mengasah kreativitas buat berkarya dan memasarkannya.
Baca Juga : Slipknot dan Metallica Bakal Tur Bareng di Australia-New Zealand Oktober Besok
“Sejak pelaku musik cutting edge mulai paham bagaimana memasarkan karya mereka secara alternatif. Sejak awal tahun 2000-an, gerakan ini mulai diterima masyarakat luas. Pelaku musik mainstream menyebut kami musik komunitas. Sedangkan kami tak peduli dengan apapun. Bikin karya, pasarkan, beres,” sebut Jimi.
Kalo soal kegelisahan terhadap perjalanan jalur ini, faktanya, om Jimi sama sekali nggak mencemaskan apa-apa. Boleh dibilang, he’s so indifferent that he really knows what to do for his project.
“Kegelisahan adalah hal yang gue tumpahkan dalam karya-karya gue. Nggak ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang lo pertanyakan kepada gue hehe. Gue lebih memikirkan produksi yang asik. Kemasan yang keren. Cara menjual yang berbeda,” tanggap musisi yang mulai ngeband dari zaman SMA, tepatnya dari tahun 1992 ini.
Sebetulnya pun, om Jimi malah nggak mau pusing, mikirin label sidestream atau mainstream yang sering kita beda-bedain.
“Secara pelaku, gue nggak peduli label SIDE atau MAIN. Bikin aja. Hajar. Setelah itu jual. Kalo nggak ada yang mau kerjasama, jual sendiri. Beres,” jelasnya.
Lantas, seperti apa bayangan om Jimi untuk ranah musik ini ke depannya?
“Kalo dilihat dari rilisan Indonesia 2017, seperti di Bogor ada Texpack, The Jansen (coming soon). Dari Jogja ada Skandal dan Nerv.Ous. Di Bandung ada Heals dan Collapse. Di Jakarta ada Piston, Barefood dan The Upstairs Split bareng Goodnight Electric. Gue rasa di masa yang akan datang musik Indonesia akan semakin keren. Nama-nama tadi bisa jadi akan semakin bersinar nanti,” tukasnya, yakin.
Kalian setuju kan? (*)