HAI-Online.com- Penampilan Hamzah Haz terlihat berbeda dari biasanya. Hari pertama masuk sekolah 2019, dia tampil dengan seragam putih abu-abu necis ke SMAN 16 Pandeglang, Sumur Banten.
Dengan lapisan luar kardigan hitam, Hamzah yangmerupakan salah satu penyintas tsunami Banten terlihat 'Keren' jika dibanding pelajar korban tsunami lainnya. Apalagi, warga kelas 12 IPA 2itu juga memakai sneaker bermerek perusahaan dari Jerman.
Yang paling berbeda, tentu saja emblem nama di dada kanannya. Tertulis sebuah nama dari rajutan benang yang rapi yaitu, Nick Prasetya.S, bukan Hamzah Haz.
Apakah paska terkena tsunami, pelajar satu ini berganti nama?
"Bukan, ini bukan nama saya, (seragam.red) dari donasi," katanya jujur sambil berusaha menutup sebagian tulisan nama tersebut.
Alsobry
Sejatinya memang jarang sekali orangtua di daerah Sumur memberikan nama kebarat-baratan. Namun yang lebih keren dari semua itu bukan seragamnya, melainkan orang yang bersedekah pakaian sekolah terbaik tersebut kepada Hamzah.
Siapapun pemilik seragam itu sebelumnya, perlu diketahui bahwa Hamzah adalah korban bencana tsunami yang selamat.
Pada saat kejadian, Hamzah baru pulang dari bekerja sampingan, yaitu membakar ikan di rumah makan.
"Habis bakar-bakar, saya kan kerja di warung makan, terus temen ada yang ajak main dulu pas selesai jam 9 sebelum pulang ke rumah. Ngedenger lagi mati lampu. Saya liat ke arah jembatan, itu air naik. Saya teriak tsunami," jelasnya mengabarkan orang rumah secepatnya setelah air sempat surut.
Sebelumnya, Paif Sofyan (17) pelajar terdampak tsunami ini juga mengikuti upacara Senin (7/1/2019) pagi tanpa seragam sekolahnya.
Bahkan pada hari pertama masuk sekolah, bajunya tak berkerah, apalagi dilipat dan dimasukan ke dalam celananya. Oh iya, dia juga memakai jins biru dan sendal jepit. Tetapi guru-guru tidak menegurnya.
Pasalnya hari itu bukan cuma Paif, Rudi Suhartono dari kelas 10 IPS 2 juga tidak berseragam putih abu-abu seperti yang dikenakan para siswa di SMAN 16 Pandeglang, di Sumur Banten lainnya.
Rudi malah mengenakan celana kain batik yang biasa dipakainya untuk tidur, kaosnya belel dan ukurannya kebesaran. Alas kakinya sama-sama sendal jepit usang.
"Bawa baju yang nutupin awak(badan.red) aja. Saya mah lari, Pak, daripada saya mati!" kata Paif Sofyan dengan logat Sunda dia mengulang cerita kejadian tsunami yang menimpanya pada Sabtu (22/12/2018) lalu itu.
Waktu itu, warga kelas 11 IPA 2 ini sedang berkumpul dengan teman-temannya di dalam rumah, termasuk ada Rudi di sana, adik kelas sekaligus teman mainnya.
Pertama kali Paif melihat gelombang tsunami datang menghampiri rumahnya, ia hanya mengira itu gumpalan awan. Bersama yang lain, mereka cuma menonton dari kejauhan "awan" di antara terang bulan.
"Doang awan, iyeu katingalina. Urang narempokeun, ja caang bulan(Seperti awan sih kelihatannya. Saya jadi ngeliatin, apalagi terang Bulan)," kenangnya nggak sadar gelombang air sudah semakin mendekat.
Kumpul bareng teman-teman pun seketika bubar. Tersadar, motor Paif sudah berpindah tempat karena terbawa hanyut gelombang pertama yang sempat merendam dirinya juga.
"Cai-na sampe ka dada (airnya sampai ke dada)," katanya lagi.
Dari sana orang-orang sudah teriak "tsunami-tsunami". Sementara air kembali surut sebentar, motor Rudi masih bisa dijangkau sehingga bisa difungsikan untuk segera mengungsi dengan yang lainnya.
"Tapi motorna Rudi geus bonceng opatan, teu bisa ilu deui urang(tapi motornya Rudi sudah bonceng empat orang, nggak bisa lagi saya ikut)," terangnya.
Bukan tak setia kawan, Rudi bergerak cepat menyelamatkan orangtua yang diboncengnya untuk dibawa ke daratan yang lebih tinggi. Sementara sudah tertinggal, Paif segera menyusul yang lain. Tanpa memedulikan apa-apa lagi selain ibu bapaknya, sebelum gelombang susulan datatang, Paif sekuat tenaga menyeret lengan kedua orangtua menuju Pasir Malang, sebuah daratan yang tinggi di wilayah Sumur.
"Motor leungit, baju ongkoh(motor sudah hilang, baju apalagi)," tambahnya meski rumah dan barang-barangnya hanyut seketika, ia bersyukur masih bisa melihat orangtua dan teman-temannya selamat.
Paif dan Rudi merupakan dua dari 30 siswa di SMAN 16 Sumur yang sanggup menyintas tsunami Banten. Meski banyak kehilangan, mereka tetap melanjutkan kehidupan dan tetap berangkat sekolah apapun kondisi yang dialaminya.
Kita doakan semoga teman-teman di Sumur tetap kuat dan secara perlahan bisa mengembalikan ritme kehidupan mereka, bahkan lebih baik dari sebelumnya. (*)
(*)