3. NEW ZEALAND: SUASANA TENANG RAWAN MALES
Satu kata tentang kuliah dan tinggal di New Zealand: menenangkan. Maklum, suasananya emang sepi dan tenang banget. Itu diakui oleh Vikra Ijas, alumni Business School the University of Auckland, New Zealand angkatan 2009.
Kalau gampang terbawa suasana, kita bakal jadi gampang males-malesan. Apalagi New Zealand punya banyak pantai dan taman yang asik.
Vikra cerita kalau di sana tuh system kuliahnya pun memudahkan. “Semua materi yang dikasih di kampus itu open learning sekali. Jadi materinya ada yang di-upload ke website sekolah untuk kita pelajari di luar kelas atau memang lagi nggak bisa masuk kelas ya. Ada video lecture-nya itu sangat ngebantu kita buat ngejar materi. Tapi abis itu kita bisa nanya ke dosen juga. Karena mahasiswa di New Zealand itu dituntut proaktif ya,” beber Vikra panjang lebar.
Nah, bedanya lagi dengan kuliah di Indonesia, kuliah di New Zealand itu lebih banyak pengaplikasiannya ketimbang apalan teori. ”To be honest, orang Indonesia itu salah satu yang paling banyak hardworking (untuk menyesuaikan diri dengan perkuliahan),” beber Vikra.
Asiknya, untuk selesai jenjang S1 umumnya mahasiswa cuma butuh tiga tahun. Itu pun cuma dilihat capaian SKS-nya aja, ”Kalau mau lulus nggak pake skripsi!” papar cowok yang kini mendirikan startup Kitabisa.com ini.
4. JERMAN: KULIAH MURAH TAPI….
“(dari bayaran itu) Kita juga dapet kartu buka keliling satu provinsi sepuasnya. Menurut gue itu termasuk lumayan murah,” cerita Bimo Ario yang baru lulus sekolah penyetaraan tingkat alias Studienkolleg dan udah sukses keterima di Universität Zu Köln jurusan Bisnis Administrasi.
Yap, satu lagi yang perlu kamu tahu, sebelum bisa kuliah di Jerman kita kudu ikut kelas penyetaraan. Soalnya, sekolah menengah Jerman tuh butuh empat tahun untuk lulus, nggak kayak kita yang cuma tiga tahun. Nah, untuk bisa lulus dari Studienkolleg itu gampang-gampang susah. Nggak sedikit juga calon mahasiswa yang nggak lulus.
“Gue ngambil peminatan Ekonomi. Ada 4 tesnya, dan gue gagal di Matematika,” cerita Laga yang pernah nyoba Studienkolleg pada 2009 lalu.
Ario bercerita kalau tiap calon mahasiswa punya dua kali kesempatan untuk ikut Studienkolleg ini. “Kalau dalam dua tahun nggak lulus Studienkolleg bisa dikirim pulang lagi ke Indonesia.”