Penonton yang tepar di Konser Green Day di Jakarta 1996
Lala Hamid dari Indo Ent, promotor yang mendatangkan Green Day, menyatakan siap mengganti kerugian. "Tapi kan ada kerusakan yang harus diganti, dan ada yang nggak harus diganti, sesuai dengan kontrak. Semua itu kami serahkan ke lawyer," katanya kkepada Hai. Yang jelas, secara bisnis, konser dengan tanda masuk seharga Rp. 60.000 yang digelar Indo Ent itu jauh dari menguntungkan. Apalagi pihak Green Day bersikeras menolak keterlibatan para sponsor. Jadi, "Dana konser ini sepenuhnya mengandalkan hasil penjualan tiket." tambah Lala. Lalu, mengapa memilih JCC untuk pementasan grup musik seberingas Green Day? Ternyata, ia memang menghindari lokasi di luar gedung (outdoor), dengan alasan biaya pengamanannya akan lebih besar dibanding di dalam gedung (indoor). Saat itu promotor menurunkan sekitar 400 petugas keamanan. Itu belum termasuk Tim Saber yang didatangkan belakangan, setelah kerusuhan tadi terjadi.
Mengapa sosok Green Day begitu mengundang animo remaja untuk datang menyaksikan, padahal musiknya nggak tergolong baru? Punk kan sudah lahir sejak puluhan tahun lalu. Mereka juga tak menciptakan interpretasi baru, kecuali bahwa liriknya makin sarkas dibanding para pendahulunya semisal Sex Pistols, The Ramones, atau The Clash. Dari kaidah harmoni, lagu-lagu Green Day juga sebenarnya miskin melodi. Begitu pula dengan beat-nya.
Sute/HAI
Kaca JCC yang pecah di Konser Green Day di Jakarta 1996
Dari satu lagu ke lagu lain nyaris nggak ada perbedaan yang menyolok. Wong Aksan, drummer Dewa yang 'nongkrong' di kantor redaksi Hai seusai konser, bahkan menilai musik Green Day cenderung membosankan. "Dengerin musik mereka gampang capek," katanya. Lantas, kapok nggak sin. promotor? Ternyata, tidak. Pihak Indo Ent kini bahkan teiah siap dengan konser penyanyi asal Hong Kong, Jacky Cheung. Siapa tahu, kali ini menguntungkan. Ya, itulah bisnis hiburan, Selalu ada pasang surut. (dmr).