Follow Us

Didi Kempot, 'Godfather of Broken Heart' yang Kembali Jaya Karena Media Sosial

Alvin Bahar - Selasa, 05 Mei 2020 | 11:10
Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah,Selasa (30/7/2019). Hampir dua pekan ini nama Didi Kempot menjadi perbincangan warganet. Lirik dan musik Didi Kempot bertema cinta dan patah hati seperti mewakili kisah anak-anak muda.  KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA (WEN) 30-07-2019 *** Local Caption ***
Kompas Jateng

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah,Selasa (30/7/2019). Hampir dua pekan ini nama Didi Kempot menjadi perbincangan warganet. Lirik dan musik Didi Kempot bertema cinta dan patah hati seperti mewakili kisah anak-anak muda. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA (WEN) 30-07-2019 *** Local Caption ***

HAI-ONLINE.COM - "Godfather of Broken Heart", "Lord Didi", "Sobat Ambyar" dan segala istilah yang berkaitan dengan Didi Kempot pastinya udah akrab di telinga kita. Namun, sejak kapan dan bagaimana munculnya?

Semua berawal dari Twitter. Video saat seniman campursari Didi Kempot manggung di Taman Balekambang, Solo, Jawa Tengah, mendadak viral pada Juni 2019.Nggak lama berselang, video Didi saat manggung di acara Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) di kanal Youtube Gofar Hilman, Juli 2019 juga viral. Video itu menampilkan seorang pemuda berkaos hitam di baris terdepan yang menunduk sambil misuh. Makian ia lontarkan saat lagu Kalung Emas dinyanyikan. Sambil terkekeh, Didi berseru, “Kelingan iki!”Makian yang dimaksud, bukannya doi hater Didi Kempot. Lagu itu kayaknya membuka kembali memori si pemuda dengan entah siapa. Mungkin orang yang (pernah) ia cintai.

Soalnya, lagu ”Kalung Emas” berkisah tentang cinta yang luntur lalu terlupa. Isinya tentang hati yang nelangsa setelah ditinggal pergi si cinta. Pokoknya, lirik lagunya sedih berat.Setelah dibikin tenang penonton lain di sebelahnya, pemuda itu lanjut menyanyi. Dengan setengah berteriak dan tertunduk-tunduk, ia berseru, ”Loro atiku, atiku kelaran loro. Rasaning nganti tembus ning dhodho.”

Kalo diartikan, penggalan lirik tadi berarti: Sakit hatiku, hatiku sakit sekali. Rasanya hingga menembus dada.

Didi Kempot
Instagram/@didikempot_official

Didi Kempot

Video tersebut menyebar dengan cepat di dunia maya. Sejumlah remaja patah hati ramai-ramai muncul, curhat, dan berbagi simpati. Atas jasanya sebagai wakil pasukan patah hati, Didi Kempot dijuluki ”The Godfather of Broken Heart” atau Bapak Patah Hati Nasional. Ia juga diberi gelar Lord Didi oleh mereka. Saat itu, nama Didi Kempot menjadi salah satu topik terpopuler di Twitter.

Baca Juga: Didi Kempot Meninggal Dunia, Konser Perayaan 30 Tahun Kariernya di GBK Pun BatalEntah sejak kapan para penggemar Didi Kempot menamai dirinya sad bois dan sad girls. Sad bois ditujukan untuk penggemar cowok, sedangkan sad girls untuk cewek. Keduanya sama-sama representasi dari orang-orang yang sedih karena patah hati deh.Munculnya sad bois dan sad girls seakan membawa kita kembali ke tahun 2000-an awal, zaman ketika anak muda punya cara lain untuk menunjukkan emosi. Beberapa pemuda kala itu menyebut dirinya emo. Para emo biasanya diasosiasikan dengan kesuraman, baju gelap, wajah tertutup rambut, eye liner tebal, hingga ungkapan pesimistis akan hidup.Secara garis besar, sad bois-sad girls dan emo memang berbeda, baik dari segi tampilan maupun caranya berekspresi. Namun, fenomena sad people ini menunjukkan bahwa anak muda tidak lepas dari gejolak emosi. Pada masa sulit seperti patah hati, yang diinginkan anak muda ialah berekspresi tanpa dihakimi. Kata Didi Kempot, patah hati bisa dirayakan sambil joget.

Kembali jayaAnak-anak muda yang menyukai lagu campursari bisa dibilang fenomena baru. Campursari selama ini populer di kalangan orang-orang Jawa dan lekat dengan stigma ”lagunya orang hajatan”. Campursari, buat sejumlah anak milenial, dinilai tidak kekinian. Maka dari itu, hadirnya sad bois dan sad girls seakan menjadi negasi dari kubu milenial gaul.Didi mengatakan, penontonnya saat manggung di Taman Balekambang, Solo, Juni 2019, berbeda dari penonton yang biasanya dilihatnya. Ia menebak penontonnya itu adalah cah-cah pinter (anak-anak pintar). Hal itu terlihat dari gaya mereka yang tenang dan atentif saat menonton.Walaupun lagu-lagunya termasuk tembang lawas, Didi Kempot senang karyanya masih bisa mewakili perasaan anak muda zaman sekarang.Saat ditanya dari mana asalnya tebakan bahwa yang menonton pertunjukannya adalah anak-anak pintar, Didi menjawab sambil tertawa, ”Mukanya bersih-bersih dan masih polos-polos.”Terkait panggilan ”The Godfather of Broken Heart”, Didi menanggapinya dengan santai. Menurut dia, itu adalah salah satu bentuk spontanitas anak-anak muda. Walaupun lagu-lagunya termasuk tembang lawas, ia senang karyanya masih bisa mewakili perasaan anak muda zaman sekarang.Nama Didi Kempot dikenal publik sebagai salah satu seniman campursari terbaik. Karya-karyanya dikenal luas tahun 1990-an. Karyanya tidak hanya populer di Indonesia, tapi juga di Suriname dan Belanda. Saking populernya, ia selalu disambut setiap kali bertandang ke Suriname. Perdana menteri setempat pun tidak pernah absen menemui Didi.

Dahulu, seniman yang bernama asli Didi Prasetyo ini identik dengan belangkon dan rambut panjang keriting terurai. Seiring dengan berjalannya waktu, penampilan Didi tidak banyak berubah. Karya-karyanya pun konsisten pada ranah musik campursari yang memadukan tangga nada diatonik dan pentatonik.Tahun 2019 bisa dibilang tahun kembalinya salah satu legenda campursari Indonesia ini. Kejayaan musik campursari yang pernah dipegang almarhum penyanyi Manthous kini dipegang Didi.Buat Didi, hadirnya sad bois dan sad girls merupakan semangat baru buat masa depan musik campursari. Dengan kekuatan dan kemampuan yang ia punya, Didi bertekad untuk terus berkarya. Yap, dirinya memang terus berkarya hingga ujung hayatnya. Didi Kempot meninggal dunia pada Selasa (5/5/2020). Selamat jalan, Godfather of Broken Heart.

Penulis: SEKAR GANDHAWANGI/HARIAN KOMPAS

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest