HAI-ONLINE.COM - Ginan Koesmayadi, vokalis Jeruji itu, meninggal dunia pada Kamis (21/6). Ia kini sudah tiada, tetapi kisah Deradjat Ginandjar Koesmayadi bakalan selalu bisa jadi inspirasi para pengidap HIV/AIDS, pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) di Indonesia. Gimana nggak? Cowok yang akrab disapa Ginan ini berhasil bangkit dari titik terendah dalam hidupnya: ia seorang pemakai narkoba dengan jarum suntik, sampai akhirnya terinfeksi HIV.Lantas, dirinya mencoba bangkit dan bersama keempat temannya – sesama mantan pecandu – ia mendirikan Rumah Cemara (RC) di kawasan Geger Kalong, Bandung pada tahun 2003.
Cek: Vokalis Jeruji, Ginan, Meninggal Dunia Karena Serangan Jantung“Ide mendirikan Rumah Cemara sebetulnya muncul dari kegelisahan kami bahwa tidak ada tempat aman dan nyaman bagi pengidap HIV/AIDS atau pecandu napza untuk berbagi harapan serta motivasi,"ujar Ginan dalam sebuah wawancara.Kegelisahan itu, dirasakan banget ketika ia menjadi pecandu napza jenis suntik sekitar tahun 1997. Begitu lulus SMA, ia langsung diungsikan keluarganya ke Yogyakarta. Pada masa itu, ia sudah masuk tahap kecanduan, sehingga sering menjual barang dan mencuri demi memuaskan ketagihannya.
Tapi nggak lama ia balik lagi ke kota asalnya, Bandung. “Saya diterima di Universitas Padjajaran.”Sayang, dirinya udah nggak bisa mengontrol rasa kecanduan. Semua rencana yang udah ia susun selalu berantakan karena kecanduan. “Tuhan saya narkoba.”Sebenarnya ia sempat ngerasain tinggal pesantren rehabilitasi, tapi ia belum sembuh juga. Cara pemulihan dengan religi nggak cocok dengan jiwanya. Dia kabur, kembali ke jalan, dan beberapa kali sempat ditangkap polisi. “Sendi-sendi kehidupan saya ancur,” akunya.Akhirnya, Ginan menemukan panti rehabilitasi yang cocok di Bandung. Di situ, ia merasa diterima dan nyaman. “Ada ruang untuk aktualisasi diri.”Di situ juga ia mendapat saran dari seorang konselor untuk menjalani rehabilitasi di Malaysia. Tapi syarat untuk masuk rehab di negeri jiran ini harus melalui tes HIV. Di sinilah, hidupnya melesat terjun ke bawah. Hasil tesnya positif.“Saya baru tahu ketika saya ingin berhenti dari narkoba,” kenangnya.Setelah beberapa kali diperiksa ulang, hasilnya tetap positif. Ginan nggak nyangka sama sekali kalo virus HIV menyusup ke tubuhnya lewat jarum suntik. Rasa kalut dan ketakutan nggak diterima keluarga berkecamuk di kepalanya. Toh, semua itu jadi kenyataan.
Saat pulang rehab dari Malaysia, keluarganya memisahkan gelas, piring dan sendok untuk dirinya.Pada tahun 2002, bersama sejumlah kawannya yang terinfeksi, Ginan membuka statusnya sebagai penyandang HIV di televisi. “Saya diusir lagi sama orang tua.” Dulu, ia dibenci karena kecanduan dan mencuri; kini, orang tuanya nggak setuju dia membuka statusnya di media massa.Masa itu, mengaku mengidap HIV di depan publik terbilang belum pernah terjadi di Indonesia. Tapi menurutnya, justru para pengidap harus melakukan itu untuk penanganan lebih lanjut. “Nggak ada bedanya antara pengidap dan bukan. Kalau nggak ada yang mulai buka status bakal susah,” tegas Ginan.Begitulah bagaimana pengalaman hidupnya membuatnya merasa perlu mendirikan sebuah komunitas tempat OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan pecandu napza berkumpul untuk bertukar pikiran.
Tepatnya 1 Januari 2003, Ginan, Darwis, Ikbal, Patri dan Tanto mendirikan Rumah Cemara. Ide nama ini diambil dari sebuah serial Keluarga Cemara di sebuah stasiun televisi nasional yang menggambarkan potret keluarga sederhana tapi dekat satu sama lain.Modal mereka awalnya cuma keyakinan bersama bahwa pemulihan harus dimulai dari perubahan di dalam komunitas itu sendiri. Keyakinan ini tumbuh dari pengalaman sebagai pecandu yang kerap keluar-masuk panti rehabilitasi.Sesekali waktu, mainlah ke Rumah Cemara di kawasan Geger Kalong, Bandung. Kita nggak akan merasakan kesendirian di sana. Deretan warung dan toko membatasi kiri-kanan jalan. Mobil, motor, pejalan kaki berseliweran di jalur ramai itu.Orang awam banyak yang tau kalo kawasan ini ngetop dengan Pesantren Daarut Tauhid, binaan Abdullah Gymnastiar alis AA Gym. Nggak jauh dari situ, Rumah Cemara sudah bisa terlihat. Tepatnya di Jalan Gegerkalong Girang No. 52.
Pintu masuknya melalui halaman tersisa yang nggak dibangung warung. Tapi sering harus zigzag di antara barisan motor yang parkir. Beberapa kali tampak pemilik warung hilir-mudik mengantar pesanan makanan dan minuman dari rumah induk.Pagar depan terbuka lebar. Pekarangannya luas, ditumbuhi pohon rindang. Di bawahnya meja dan kursi berderet nyaman banget untuk bersantai.Bangunan rumah ini keliatan seperti kediaman biasa dengan empat kamar. Di lantai satu, ruang utama dibiarkan terbuka. Berbagai pernik slogan penumbuh semangat menempel di dinding. Sebuah televisi menjadi penghibur para penghuni di kala senggang.
Suasana rileks yang dibangun di sana, emang sengaja diciptakan. Tampak beberapa penghuni yang merupakan pecandu, sedang berkumpul layaknya lagi nongkrong di rumah teman.Slogan “Indonesia Tanpa Stigma” menghiasi gerbang rumah itu. Menandakan jiwa yang melandasi orang-orang di dalam rumah itu. Ya, stigma, cap buruk dan tindakan diskriminatif bisa dilakukan oleh siapapun: keluarga terdekat, teman sepermainan, dan masyarakat luas. Malah, stigma bisa tumbuh dalam diri pecandu dan pengidap HIV/AIDS sendiri.Nggak jarang stigma dan diskriminasi itu justru memperparah kondisi mereka. Nggak jarang, meredupkan semangat dan harapan yang lagi dibangun. “Virus (HIV) nggak membunuh, justru stigma yang membunuh,” tegas Ginan.Virus yang melemahkan daya tahan tubuh itu emang mematikan. Namun, orang yang terinfeksi masih bisa bertahan dan melakoni hidup seperti sediakala.
Itulah kenapa, Rumah Cemara nggak mau seperti panti rehabilitasi lain yang secara nggak sadar masih menanam stigma kepada pasiennya sendiri. Di rumah ini, selain rehabilitasi, ada pelayanan yang dimotori oleh para penggagas yang masih sebaya.
Para pegiat ini tiap hari mendampingi pecandu yang ikut terapi Methadone di R.S Hasan Sadikin. Selain itu, pendampingan individu juga dilakukan bagi ODHA di klinik Teratai di rumah sakit yang sama.Di kedua tempat itu Rumah Cemara melakukan dukungan individual untuk mengatasi berbagai masalah, memberi saran, dan mengubah perilaku para pecandu serta pengidap HIV/AIDS. Singkatnya, bersentuhan langsung dengan setiap orang yang didampingi.Yang menarik, para pegiat itu sebagian besar mantan pecandu dan 85 persen adalah pengidap virus HIV. Kesamaan latar belakang inilah yang bikin keduanya bisa gampang dekat dan klop. “Kami bisa jadi panutan bagi mereka, karena bagi mereka, kami juga teman,” ujar Anton Djajapawira, Direktur Rumah Cemara.
Selain pendekatan individu, ada juga layanan kelompok. Selain sebagai solusi pembagian pendamping, metode layanan kelompok juga lebih efektif. “Di dalam kelompok, mereka akan saling mendukung dan mengingatkan secara mandiri.”Ginan bisa membuktikannya. Di luar stigma dan diskriminasi yang masih dirasakan ODHA di masyarakat, kiprah Ginan dan teman-temannya di Rumah Cemara bisa menjadi contoh bahwa dukungan sebaya bisa jadi kekuatan luar biasa. Tanpa dicap sampah atau penyakit masyarakat, ODHA juga seperti kita, ingin berarti bagi masyarakat.
(Artikel ini disarikan dari Sisipan National Geographic Indonesia, Oktober 2014)