Kisah Dua Remaja Cewek Afghanistan Bergender Cowok demi Masa Depan Lebih Baik

Kamis, 15 Maret 2018 | 04:00
Alvin Bahar

Ali yang berusia empat belas tahun dibesarkan sebagai anak laki-laki dalam sebuah praktik yang dikenal di Afghanistan sebagai bacha posh. Saudari Ali berdiri di belakangnya, di dalam kamar mereka.

HAI-ONLINE.COM - Di beberapa sudut negara Afghanistan, ada beberapa anak cewek yang menikmati kebebasan yang sama seperti anak cowok. Sepanjang sejarah, mereka menyamar sebagai cowok untuk menavigasi peran sosial yang mengakar.

Mereka berpakaian seperti cowok untuk berperang, bergabung dengan ordo religius, atau jadi makmur secara profesional. Di Afghanistan, beberapa keluarga membesarkan anak cewek mereka sebagai anak cowok untuk memberi mereka kehidupan yang lebih baik.

"Kalo suatu gender sangat penting dan yang lainnya nggak diinginkan, selalu ada orang yang mencoba melintas ke sisi lain," kata Najia Nasim, direktur negara Afghanistan untuk Women for Afghan Women yang berbasis di AS.

Cek: 10 Penemuan Hebat yang Nggak Meraih Nobel, Salah Satunya Penemuan Stephen Hawking

Setar dan Ali berbicara kepada anak-anak yang mengomentari penampilan mereka di luar sekolah. "Orang-orang mendatangi saya dan bertanya mengapa saya berpakaian seperti anak cowok," kata Setar. (Loulou D'aki, National Geographic)
Di masyarakat patriarkal Afghanistan, ketergantungan ekonomi pada cowok dan stigma sosial membuat orang tua berada dalam posisi yang sulit. Anak cewek sering dianggap sebagai beban, sementara anak cowok akan menghasilkan uang, meneruskan warisan keluarga dan tinggal di rumah untuk merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Untuk mengatasi hal ini, beberapa orang mengubah “konsep anak cewek” mereka saat lahir dalam sebuah praktik yang dikenal sebagai "bacha posh." Bahkan, ada rumor bahwa seorang anak cewek bacha akan melahirkan seorang anak cowok pada kehamilan berikutnya.

"Tradisi ini memungkinkan keluarga untuk menghindari stigma sosial yang terkait dengan nggak memiliki anak cowok. Anak cewek Bacha memungkinkan untuk pergi berbelanja sendiri, membawa saudara cewek mereka dari sekolah, mendapatkan pekerjaan, bermain olahraga dan memainkan peran lain pada anak cowok di masyarakat," kata Nasim. Asal-usul praktik masih belum diketahui, tetapi budaya ini jadi semakin terkenal.

Setar dan Ali pergi berbelanja pakaian. (Loulou D'aki, National Geographic)
Pada musim panas 2017, fotografer Swedia Loulou d'Aki pergi ke Afghanistan untuk mendokumentasikan bacha posh. Dia telah membaca The Underground Girls of Kabul, sebuah buku dari jurnalis Jenny Nordberg tentang praktik rahasia berpakaian gadis-gadis itu sebagai anak cowok. Nordberg adalah orang pertama yang mendokumentasikannya, dan d'Aki terpesona oleh identitas ganda cewek-cewek ini.

Melalui penerjemah lokal, dia bertemu dengan sebuah keluarga di mana dua dari enam anak cewek dibesarkan sebagai anak cowok. Suatu hari, setelah Setareh lahir—anak cewek ketiga—orang tuanya memutuskan untuk membesarkannya sebagai Setar, anak cowok. Dua tahun kemudian, Ali lahir dan dia juga dibesarkan sebagai anak cowok. Saat saudara cowok mereka yang pertama dan satu-satunya lahir berikutnya, keduanya melanjutkan hidup sebagai anak cowok.

Kini Setar berusia 16 tahun yang bermain sepakbola dan memiliki pacar yang nggak peduli dengan gender Setar. Saudaranya Ali, 14, memiliki sekotak surat cinta yang ditulis oleh para pengagum ceweknya. Di rumah, nggak ada yang bangun untuk membantu saat saudara cewek dan ibu mereka membuat makanan dan teh.

Setar dan pacarnya Arezou sedang berbincang di ruang tamu. Orangtua mereka telah melarang mereka untuk saling bertemu, tetapi Arezou mengatakan bahwa dia nggak peduli kalo Setar adalah anak cewek atau cowok. (Loulou D'aki, National Geographic)
"Anak cowok memiliki status lebih tinggi. Semua orang menginginkan anak cowok," ujar d'Aki. Terutama di keluarga berpenghasilan rendah, dia menambahkan, "kalo Anda memiliki banyak anak cewek dan nggak ada anak cowok, itu hal yang biasa dilakukan."

Namun, seiring bertambahnya usia dan pubertas mengungkap jenis kelamin mereka, hidup justru jadi lebih sulit dan berbahaya. Keluarga tersebut telah berkali-kali pindah untuk menghindari gangguan dan intimidasi.

Di jalanan, orang-orang berteriak bahwa mereka anti-Islam dan menyebut mereka transeksual. Ayah mereka mengantar Ali ke sekolah sehingga dia sampai di sana dengan selamat, dan sosok Setar pun telah “tiada”. “Karena dia sudah muak dengan namanya," ucap d'Aki.

Beberapa potret Setar muda. "Kami nggak memiliki anak cowok, jadi kami memutuskan untuk membuatnya seperti anak cowok tepat setelah ia lahir," kata ibu Setar. "Sekarang saya merasa sedih dengan bagaimana orang memperlakukannya, mengganggunya karena cara berpakaiannya." (Loulou D'aki, National Geographic)
Kedua orang tua mereka sekarang ingin mereka mulai berpakaian dan berperilaku seperti anak cewek, tetapi Ali maupun Setar nggak menginginkannya. "Sangat sulit jadi cewek di Afghanistan, dan Anda nggak memiliki banyak pilihan. Bahkan dalam kasus ini, ketika Anda belum memutuskan sesuatu untuk diri sendiri, orang lain telah memutuskannya untuk Anda, "ungkap d'Aki.

"Gadis-gadis ini memiliki sedikit kebebasan dan kemudian tiba-tiba mereka harus kembali jadi cewek di negara yang mana cewek nggak memiliki kemungkinan dalam hal apapun,” jelasnya.

Ali menyimpan banyak surat cintanya di dalam sebuah kotak. Dulu, dia mempunyai pacar cewek. Namun, ketika orang tuanya memberi tahu orang tua gadis itu bahwa Ali adalah bacha posh, gadis itu pergi belajar di Amerika Serikat tanpa mengucapkan selamat tinggal. (Loulou D'aki, National Geographic)
D'Aki bertemu orang lain yang menghabiskan hidupnya sebagai anak cowok: Zara, seorang yatim piatu yang pamannya mengangkatnya sebagai bacha posh." Dia melakukannya dengan baik. Delapan cowok telah melamarnya. "Mereka melihatnya sebagai cewek yang sangat kuat," kata d'Aki. Seorang ibu tunggal yang dia temui mengangkat kedua putrinya sebagai anak cowok untuk melindungi keluarga mereka.

Women for Afghan Women melihat senggaknya dua kasus bacha posh dalam setahun di tempat penampungan cewek yang mereka jalankan di Kabul. Para pekerja kasus merasa sangat tertantang oleh mereka, kata Nasim. Gadis-gadis itu menderita pelecehan, penghinaan, dan pengasingan dari masyarakat.

Namun, seringkali mereka nggak ingin mulai hidup sebagai cewek. Pembatasan budaya gender sulit untuk diadopsi di kemudian hari: mereka harus belajar bagaimana hidup di bawah burqa, memasak untuk keluarga mereka, dan menurunkan pandangan mereka di antara orang asing.

"Ketika dia jadi dewasa dan lebih tua, dia belajar bahwa nggak mungkin dia jadi anak cowok dan nggak ada yang menerima dia sebagai cewek," kata Nasim. "Ini adalah represi: mengabaikan kemampuan, bakat, dan hak cewek. Menyangkal hak-hak agama dan hak asasi cewek ternyata merupakan penghinaan terhadap jenis kelamin cewek," sambungnya.

Setar mengeringkan dan menata rambutnya setelah mandi. (Loulou D'aki, National Geographic)
Setar dan pacarnya, Arezou, berpegangan tangan sementara Ali melihat jalan. (Loulou D'aki, National Geographic)
Ali dan Setar bersiap-siap untuk pergi bertemu teman mereka di Kabul. (Loulou D'aki, National Geographic)
Artikel ini pertama kali tayang di National Geographic dan diterjemahkan oleh Citra Anastasia.

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya