HAI-ONLINE.COM - Indonesia tengah mengalami berbagai masalah kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur khususnya untuk pulau-pulau di luar Jawa.
Bagi sebagian orang yang belum pernah terjun langsung ke lapangan, tentu kita kesulitan membayangkan seperti apa sebenarnya medan di Papua.
CEK JUGA:Seorang Fotografer Keliling Dunia dan Memotret Blasteran Jepang di Berbagai Negara, Hasilnya? Wow!
Sigit Arifianto, seorang guru yang pernah mengajar di pedalaman Papua selama 15 bulan ini berbagi curahan hatinya melalui akun Instagram @sigit.arifian.
"Aku sudah setahun tinggal di pedalaman Papua, hidup menyatu bersama masyarakat jadi bolehlah aku sedikit memberikan gambaran mengenai kondisi sesungguhnya di pedalaman Papua.
Salah satu persoalan yang sedang heboh saat ini adalah mengenai gizi buruk di Asmat. Aku bukan orang kesehatan tapi aku meyakini gizi buruk itu bukan semata masalah kurangnya tenaga kesehatan melainkan efek dari kemiskinan dan pendidikan rendah.
Kenapa sih masalah kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan masih belum teratasi hingga saat ini, apa kendalanya.
Kendala pertama di papua adalah kondisi medan dan geografisnya.
Untuk menjangkau masyarakat di kampung-kampung sangat sulit sekali, dimana harus melewati gunung-lembah, melintasi laut, sungai bahkan rawa-rawa.
Makanya pemerintah saat ini mengenjot pembangunan infrastruktur guna membuka akses daerah sulit, bandara-bandara dan pelabuhan yang terus dibangun dan diperbesar, harga bbm satu harga (udah jalan kebijakannya meski di lapangan ada “seseuatu” yang mengganjal).
Hal yang langsung kurasakan adalah menyaksikan pembangunan di distrik tempatku mengajar, distrikku berada di perbatasan Papua Nugini, saat ini sudah di bangun puskesmas, tower telekomunikasi meski belum beroperasi dan sedang dalam proses survey untuk pembangkit tenaga surya).
Namun itu semua hanyalah bangunan kosong tanpa SDM yang menjalankan, Nah kendala kedua ya itu SDM, Papua sangat kurang SDM mulai dari tenaga kesehatan, insinyur, guru.
Mengabdi di Papua itu sulit jika tidak pake hati apalagi hanya mengejar uang. Bagi tenaga medis yang melayani dipedalaman-pedalaman terpencil Papua, mereka harus menempuh perjalanan yang jauh, harus berjalan kaki berjam-jam hingga berhari-hari sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya.
Bagi guru yang mengajar di pedalaman harus hidup dengan ketiadaan akses sinyal, tanpa listrik PLN, transportasi ke kota yang sulit, biaya hidup mahal karena bbm aja bisa 50-70rb.
Jadi jangan kaget di pedalaman papua, mata uang paling kecil itu 5rb, akses air bersih yang sulit karena di sebagian daerah hanya mengandalkan air hujan, bisa tidak mandi berhari-hari saat kemarau, bahkan di beberapa wilayah nyawa taruhannya.
Makanya banyak pegawai-pegawai yang tidak betah untuk bekerja dan memilih untuk secepatnya pulang."
Curahan hati Sigit mendapat banyak komentar positif dan dukungan bagi dirinya.
Sigit sendiri sebenarnya bukanlah seorang sarjana pendidikan, melainkan sarjana ekonomi.
Kiprahnya mengajar di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang, yang juga dekat dengan Asmat, dimulai dari program Indonesia Mengajar.
Sigit meninggalkan karir profesionalnya demi menjelajahi pelosok Papua dan menularkan ilmu pada anak-anak di SD Inpres Pepera.
Saat ini, Sigit berencana menerbitkan sebuah buku tentang pengalaman mengajarnya agar banyak orang memahami kondisi Papua dan tergerak untuk terjun langsung ke sana.
Artikel ini telah tayang lebih dulu di Intisari dengan judul "Curhat Seorang Guru yang Mengajar di Pedalaman Papua Tentang Kondisi Asli di Papua, Sangat Miris!" (Aulia Dian Permata/Intisari)