Kisah mahasiswa Indonesia Kuliah di 4 Negara

Sabtu, 03 Februari 2018 | 12:00
Hai Online

Minat Kuliah di Jerman?

HAI-ONLINE.COM – Tiap negara punya sistem pendidikannya sendiri-sendiri. Asalkan nggak gampang goyah, semua pasti bisa teratasi. Di Indonesia pun beda kampus bisa beda cara lulusnya.

Di jenjang sarjana, misalnya, ada yang mesti bikin skripsi, ada juga yang cuma kudu bikin makalah. Begitu juga dengan kampus-kampus di luar negeri. Sebelum hengkang, yuk kita simak cerita dari para pelajar di berbagai negara tentang tantangan yang mereka hadapi saat belajar di kampus barunya dan cara mengatasinya.

LUCU NIH:Ini 5 Sponsor Teraneh di Jersey Klub Sepak Bola Sepanjang Masa

1.PRANCIS: DOSENNYA NGEBUT!

Kudu Ngebut Belajar!
Di tingkat sarjana kampus Perancis ada dua jalur yang bisa kita kejar, pertama, licence, yang berorientasi pada lanjutan ke tingkat master, dan Licence professionnelle yang berorientasi pada kerja profesional. Nggak jauh beda sama India, Fira juga ngerasain kegelisahan yang sama. Omongan dosennya nggak gampang ketangkep.

“ Awalnya agak shock, Karena profesornya ngomongnya cepet banget! Sampe nggak ngerti maksud profesornya apa, Alhamdulillah pelan-pelan udah mulai terbiasa,” kata mahasiswi Supdemod Fashion Design and Business School ini.

Yang perlu diantisipasi di Perancis justru adalah cuacanya. Bikin mager! Apalagi kalau winter, kata Fira. “Kalau dapet masuk kelas yang pukul 8 di luar masih gelap, dan dingin banget.”

UDAH TAU BELUM?Ini Dia 7 Film Superhero Anti-Mainstream dan Sadis yang Seru Ditonton

2. INDIA: BAHASA INGGRISNYA AJAIB!

Suasana Kuliah di India
Dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, sekolah di India menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Tapi itu bukan berarti kita bisa dengan gampang mencernanya. Dwinda, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Osmania University jurusan Mass Communication cerita kalau dirinya selalu kesulitan memahami omongan dosennya.

“Yang paling bikin shock adalah dialek orang India. Awal-awal kuliah aku bengong di kelas nggak ngerti sama sekali apa yang dosen-dosenku jelasin. Aku pikir mereka ngomong bahasa Hindi, padahal mereka pake bahasa Inggris,” papar lulusan SMAN Bali Mandara ini . Sebagai solusinya, Dwinda jadi banyak nanya ke temannya.

Satu lagi yang bikin Dwinda agak keki, yaitu jadwal kuliahnya. “Kuliah (di sini) gila-gilaan. Sampai sore! Dan hari Sabtu gak libur. Cuma Sabtu di pekan kedua aja yang libur,” katanya. Tapi enaknya, secara umum, kuliah S1 di sana cuma butuh waktu 3 tahun, sob! Udah gitu, di beberapa jurusan, mahasiswa nggak dibebani skripsi!

3. NEW ZEALAND: SUASANA TENANG RAWAN MALES

Suasananya Adem!
Satu kata tentang kuliah dan tinggal di New Zealand: menenangkan. Maklum, suasananya emang sepi dan tenang banget. Itu diakui oleh Vikra Ijas, alumni Business School the University of Auckland, New Zealand angkatan 2009.

Kalau gampang terbawa suasana, kita bakal jadi gampang males-malesan. Apalagi New Zealand punya banyak pantai dan taman yang asik.

Vikra cerita kalau di sana tuh system kuliahnya pun memudahkan. “Semua materi yang dikasih di kampus itu open learning sekali. Jadi materinya ada yang di-upload ke website sekolah untuk kita pelajari di luar kelas atau memang lagi nggak bisa masuk kelas ya. Ada video lecture-nya itu sangat ngebantu kita buat ngejar materi. Tapi abis itu kita bisa nanya ke dosen juga. Karena mahasiswa di New Zealand itu dituntut proaktif ya,” beber Vikra panjang lebar.

Nah, bedanya lagi dengan kuliah di Indonesia, kuliah di New Zealand itu lebih banyak pengaplikasiannya ketimbang apalan teori. ”To be honest, orang Indonesia itu salah satu yang paling banyak hardworking (untuk menyesuaikan diri dengan perkuliahan),” beber Vikra.

Asiknya, untuk selesai jenjang S1 umumnya mahasiswa cuma butuh tiga tahun. Itu pun cuma dilihat capaian SKS-nya aja, ”Kalau mau lulus nggak pake skripsi!” papar cowok yang kini mendirikan startup Kitabisa.com ini.

4. JERMAN: KULIAH MURAH TAPI….

Minat Kuliah di Jerman?
Sampai sekarang ada yang menganggap kalau kuliah di kampus negeri Jerman itu gratis. Jangan salah, ada biaya juga yang mesti kita bayar. Tapi, murah, kok. Berkisar 200-500 euro persemester.

“(dari bayaran itu) Kita juga dapet kartu buka keliling satu provinsi sepuasnya. Menurut gue itu termasuk lumayan murah,” cerita Bimo Ario yang baru lulus sekolah penyetaraan tingkat alias Studienkolleg dan udah sukses keterima di Universität Zu Köln jurusan Bisnis Administrasi.

Yap, satu lagi yang perlu kamu tahu, sebelum bisa kuliah di Jerman kita kudu ikut kelas penyetaraan. Soalnya, sekolah menengah Jerman tuh butuh empat tahun untuk lulus, nggak kayak kita yang cuma tiga tahun. Nah, untuk bisa lulus dari Studienkolleg itu gampang-gampang susah. Nggak sedikit juga calon mahasiswa yang nggak lulus.

“Gue ngambil peminatan Ekonomi. Ada 4 tesnya, dan gue gagal di Matematika,” cerita Laga yang pernah nyoba Studienkolleg pada 2009 lalu.

Ario bercerita kalau tiap calon mahasiswa punya dua kali kesempatan untuk ikut Studienkolleg ini. “Kalau dalam dua tahun nggak lulus Studienkolleg bisa dikirim pulang lagi ke Indonesia.”

Soal perkuliahan, kampus-kampus Jerman menerapkan european Credit Transfer System atau sistem transfer kredit Eropa, untuk memudahkan tranfer SKS antar kampus di lain negara. Ada satu hal yang beda dari kampus Jerman, mahasiswa kudu mantau terus jadwal perkuliahan. Di beberapa kampus, mahasiswa secara otomatis didaftarkan ujian mata kuliah wajib walaupun nggak mengikuti mata kuliah tersebut. Jadi, kudu aktif koordinasi sama sekretariat, sob!

(PENULIS: JEANETT/SATRIA/KIRAM)

Editor : Hai Online

Baca Lainnya