Mengenal Filter Bubble, Cara Internet Mempersempit Wawasan Kita.

Sabtu, 21 Oktober 2017 | 07:00
Rizki Ramadan

Ilustrasi Filter Bubble

HAI-online.com - Sebutlah Roki, cowok yang ketika temen-temennya udah heboh siaran di Instagram Live, doi masih aja doyan main Facebook. "Kayak orang tua, lo," kata seorang temannya. Tapi Roki tak peduli sejak ia suka politik. Apalagi setelah dapet KTP beberapa bulan lalu, ia sudah bisa ikut nyoblos di Pemilu.

Seperti yang bisa ditebak, kalau lagi jam kosong, sementara temen-temennya lebih doyan ngomongin Mobile Legendsatau Rich Chigga, Roki sering banget tiba-tiba sewot soal calon gubernur tertentu. Sambil sewot, jarinya terus ngegulung newsfeed-nya.

Makin sering dia buka Facebook, semakin fanatiklah Roki sama cagub pilihannya itu. Sebutlah cagub X. Tiap ada temennya yang lagi iseng ngomongin cagub Y atau Z, Roki selalu bisa nyerocos menimpalinya.

"Eh, nggak bener. Dia nggak salah kok. Gue percaya banget. Lo liat kinerja dia aja. Nggak usah liat mobil apa yang dia pake untuk anter anaknya. Lo jangan percaya hoax, lah," kata Roki.

"Lo kata siapa, Rok?" pertanyaan temennya ini bikin Roki sebel, apalagi namanya disingkat jadi "Rok".

"Nih, gue baca artikel di FB. Selebtweet yang nulis. Gue banyak kok nemu orang-orang keren yang ngedukung cagub X. Malah, nggak ada tuh orang-orang keren yang nulis tentang Cagub X atau Y."

"Ah, Masa? Lo nggak Follow FB gue sih. Gue sering nge-share, tuh." Roki baru tau temennya doyan politik juga.

"Lah, kita kan udah temenan di FB."

Ilustrasi penyaringan berita di media sosial. Oleh Tobian Rose
Ada Yang Disembunyikan Internet Dari Kita

Yang akan dibahas di artikel ini bukan tentang pertemanan virtual mereka dan kemungkinan apakah keduanya akan cekcok setelah tahu mereka udah "add friend" tapi tak pernah saling like postingan masing-masing. Yang lebih penting dari itu adalah, ternyata media-media di internet, Facebook salah satunya, membatasi alias memfilter informasi yang di suguhkannya di news feed.

"Gejala inilah yang disebut dengan Filter Bubble," tiba-tiba Pak Gunawan, guru Sosiologi nimbrung di obrolan yang terjadi koridor kelas XII itu. "Tiap netizen, jadi seolah dipasangin kacamata kuda. Yang kita lihat dibatasi. Gara-gara filter bubble, artikel-artikel tentang gubernur yang nggak didukung kamu dan teman-temanmu disembunyikan Facebook dari pantauanmu. Begitu juga sebaliknya."

Filter Bubble, adalah konsep yang dipopulerkan oleh seorang aktivis internet bernama Eli Pariser. Menurutnya, filter bubble adalah lingkup informasi yang disesuaikan dengan personalitas dan ciri khas kita. Informasi apa yang ada di gelembung kita tergantung siapakah kita dan apa yang kita lakukan di internet.

"Masalahnya," kata Eli saat presentasi di TedX, "Kamu nggak menentukan (informasi) apa yang masuk. Dan yang lebih penting lagi, kamu nggak melihat (informasi) apa yang disunting keluar (oleh algoritma medsos kayak Fb)."

Suatu waktu, Mark Zuckerberg memberi jawaban ke pada para wartawan tentang cara kerja algoritma di news feed FB dengan satu kalimat sakti, "Seekor tupai yang sekarat di depan rumahmu akan lebih menarik perhatianmusekarang ini dibanding orang yang sekarat di Afrika."

Kesesuaian. Relevansi. Kesukaan. Itulah prinsip yang dipake media sosial dalam menyuguhkan informasi untuk kita. Dan ini bukan dilakukan oleh Facebook saja. Instagram juga mulai melakukannya. Urutan gambar yang disajikan di timeline bukan lagi berdasarkan kapan gambar tersebut di-post, melainkan berdasarkan seberapa banyak temen-temen kita nge-likes.

Bagaimana dengan Google? Sudah tentu, mbah Google melakukan strategiini juga. Mau buktinya? coba deh ajak temenmu yang suka sepakbola dan temenmu yang suka JKT48 mencari kata kunci "Haruka" atau "Jepang". Pasti, hasil pencarian di halaman pertamanya bakal beda-beda.

Menurut penelusuran Ali Praiser, ada 57 faktor yang menentukan hasil pencarian kita di Google. Beberapa di antaranya adalah komputer apa yang kita pakai, browser apa yang kita gunakan, lokasi kita berada, dll.

Setiap media sosial dan mesin pencarian pengen jadi yang (seolah) paling mengerti users-nya, mereka mencatat jejak kita, segala posting yang kita suka, kata kunci yang pernah kita cari, jenis berita yang sering kita buka, dan sesiapa yang kita pernah stalk dan follow. Dari data-data itu, mereka mengkategorikan kita. "Oh, si Roki tuh tipe orang liberal. Oh, temennya tuh tipe konservatif."

Jelas saja Roki nggak bakal bertemu dengan artikel-artikel yang di-share sama temennya itu. Karena, Roki nggak menyukainya. Jadi Facebook nggak memasukkan posting temenannya itu ke filter bubblenya Roki. Ya, kamu boleh menganggap ini sebagai cara media sosial menciptakan zona nyaman dalam pencarian informasi. Biar kita makin seneng membuka medsos itu. Terbukti, PEW Research, 61% generasi milenial mencari berita politik dan pemerintahan itu dari Facebook.

Konsekuensi Zona Nyaman Informasi.

Sebenernya, filter-memfilter informasi juga dilakukan sama media konvensional kayak koran, televisi, atau media online. Tiap media itu punya editor atau bisa disebut gatekeeper. Mereka menyeleksi peristiwa apa yang perlu dibaca, lalu mengedit artikel, baru menayangkannya.

Nah, bedanya, di media sosial atau search engine, filter-memfilter atau gatekeeping itu dilakukan berdasarkan algoritma. Pun, dilakukan oleh mesin. Mesin, kan, nggak (atau belum?) belajar tentang etika penyajian informasi, kaidah jurnalitsik dan pembentukan wacana publik.

Kalau cuma nikmatin informasi hasil filter dari algoritma media sosial doang, berita yang kita baca bakal yang tentang itu-itu melulu dan dari perspektif itu-itu aja. Bukankah yang kayak gini berpotensi bikin kita jadi berpemikiran tertutup yah, dan bahkan bisa jadi ekstrimis yang ngerasa kita paling eksklusif sehingga merendahkan mereka yang lain?

Singkatnya, kita jangan nerima-nerima aja kenyamanan dari filter bubble. Pastikan informasi yang kita baca bukan hanya yang relevan dan kita suka. "Kita perlu memastikan bahwa internet juga menunjukkan hal-hal yang bikin nggak nyaman atau menantang, atau penting," kata Eli lagi. Ya, kita perlu tau banyak informasi dan banyak sudut pandang sebelum mengambil keputusan.

“Internet kan dibuat untuk memberi akses informasi sebanyak-banyaknya,” lanjut Pak Gunawan sambil mencomot bakwan di tangan Roki, “Untuk masyarakat seluas-luasnya. Kalau udah internetan tapi pikiranmu masih sempit ya nggak berhasil dong. Kayak hubungan kamu sama siapa tuh anak kelas sebelah? Ani, yah?”

“Iya, pak. Si Roki tuh udah kena filter-bubble-zoned sama si Ani. Yang dia tau Cuma Ani, Ani, dan Ani. Padahal Aninya temenan sama di FB aja, nggak. Hehe.”

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya