3 Penyebab Remaja Tinggalkan Facebook dan Twitter

Kamis, 19 Oktober 2017 | 07:00
Alvin Bahar

Facebook Crowbar

HAI-ONLINE.COM - Sebelas juta remaja angkat kaki dari Facebook pada 2011 silam. Sejak itu Facebook makin didominasi kalangan dewasa hingga tua, yakni mereka yang berumur 30 tahun ke atas.

Sementara anak muda - 18 hingga 29 tahun - punya Instagram sebagai rumah baru. Mereka bisa berbagi konten visual tanpa embel-embel teks panjang lebar. Nggak banyak ruang membahas kisruh politik, berkampanye, atau menuangkan pikiran-pikiran serius nan ruwet.

Instagram seakan lebih merestui penggunanya memamerkan foto atau video perjalanan, hobi, dan keseharian lainnya yang lekat dengan kreativitas dan jiwa muda.

Tapi lagi-lagi ada yang mengusik "kemudaan" Instagram. Belakangan platform tersebut mulai disesaki iklan. Kalangan orang tua pun pelan-pelan turut mengeksiskan diri.

Meski demikian, toh Instagram nggak serta-merta ditinggalkan (untuk nggak menyebut pelan-pelan ditinggalkan). Masih banyak anak muda yang betah menjajalnya. Tak jarang pula yang kemudian mengembangkan bisnis dengan menggunakan strategi pemasaran via Instagram.

Alarm tanda bahaya lebih tepat ditujukan pada Twitter. Secara umum, platform tersebut memang menunjukkan penurunan penetrasi.

Indonesia yang basis pengguna Twitter-nya terhitung melimpah pun terkena dampak. Dalam dua tahun terakhir pengguna Twitter di Indonesia menurun 10 persen hingga tinggal sepertiga dari total pengguna internet.

Cek deh: Pamer Foto Saat Olahraga ke Media Sosial Tanda Punya Kelainan Mental?

Kenapa kebutuhan media sosial anak muda bergeser?

Ilustrasi Twitter
Berdasarkan diskusi dan pengamatan Duncan terhadap 80 mahasiswa AS, ada tiga alasan "jujur" mereka meninggalkan Facebook dan Twitter.

Pertama, platform tersebut dianggap bernuansa tua. Menurut Pew Research, 48 persen pengguna internet berusia di atas 65 tahun menggunakan Facebook.

Akibatnya, anak muda merasa canggung ketika orang tua, bibi, paman, atau bahkan nenek mereka meminta berteman di Facebook. Ada perasaan tak bebas berekspresi, malu, dan kikuk.

Kedua, konten di Facebook dan Twitter akan tetap ada dalam waktu lama, bahkan bisa abadi. Ingatkah bagaimana memalukannya postingan Anda lima tahun atau tujuh tahun lalu?

Ada foto-foto yang dulunya Anda anggap keren, lalu sekarang Anda berbalik mengutuk foto-foto itu. Sayangnya, terlalu banyak foto yang telah di-tag ke akun Anda, pun foto-foto yang pernah secara sadar Anda bagi. Perlu waktu untuk menghapusnya satu-satu atau menyembunyikannya.

Sementara di Snapchat, anak muda sengaja membagi hal-hal konyol untuk jadi bahan guyonan. Toh dalam 24 jam konten itu akan hilang otomatis.

Ketiga, perusahaan cenderung mengecek media sosial sebelum menerima lamaran kerja seseorang. Atas dasar itulah para remaja tak menghapus akun Facebook dan Twitter mereka.

Lebih tepatnya, media sosial tersebut hanya dijadikan topeng pencitraan: tak perlu sering-sering diperbarui dan hanya digunakan membagi hal-hal yang sifatnya tak personal.

"Mereka sangat hati-hati mengkurasi konten pada profil publik Facebook atau LinkedIn," kata Duncan.

Ekspresi yang sesungguhnya tak ditunjukkan lagi lewat Facebook dan Twitter. Hakikat media sosial yang sebenarnya disalurkan anak muda lewat Snapchat atau layanan-layanan sejenis.

Fenomena pergeseran ini punya implikasi beragam. Paling signifikan bagi pengiklan dan orang tua.

Pengiklan yang berencana menyasar anak muda, tentu harus memiliki strategi khusus untuk menjangkau mereka. kalo tumpuan harapan dialamatkan pada Facebook atau Twitter, strategi itu harus buru-buru dibenahi.

Bagi orang tua yang ingin mengontrol aktivitas maya anaknya, juga tak bisa lagi mengandalkan Facebook. Sebab platform itu hanya "tameng" bukan "isi" diri anak sesungguhnya.

Artikel ini pertama kali tayang di Nextren.com dengan judul "3 Alasan "Jujur" Anak Muda Tinggalkan Facebook dan Twitter"

Tag

Editor : Alvin Bahar