YouTube VS TV? Siapakah yang bakal bertahan? Apa benar keduanya “saling membunuh?” Kalo kita dengerin lagu GGS Young Lex, pasti gambaran itu tentang perseturuan keduanya emang udah jadi nyata.
"YouTube lebih dari TV... sebentar lagi posisi kita berganti... tapi jangan bawa perasaan, lihat juga keadaan. Digital itu kenyataan," begitu bunyi penggalan lirik lagu di sebuah klip video hasil kolaborasi rapper Young Lex dengan sejumlah YouTuber lain dari Indonesia.
Diunggah pada Maret 2016, video yang telah mengumpulkan lebih dari 36,5 juta view tersebut seakan menekankan kita, sebagai generasi muda lebih menyukai konten di internet ketimbang media elektronik konvensional seperti TV.
Casey Neistat, seorang YouTuber kondang asal Amerika Serikat, sedikit banyak ikut melihat tren serupa di negerinya yang -lebih-lebih dari Indonesia dalam hal ini- adalah negara tempat YouTube bermarkas.
"Saat anak-anak menjadi orang dewasa, mereka ikut membawa kebiasaan semasa tumbuh besar dulu," ujar Casey Neistat dalam wawancara eksklusif via telepon dengan jurnalis KompasTekno, Oik Yusuf di Jakarta, Selasa (3/10) lalu.
"Anak lelaki dan perempuan saya, misalnya, tidak menonton TV seperti saya dulu, mereka menonton YouTube atau penyedia konten lain di internet," tambah Neistat.
Bergeser ke YouTube
Semakin lama, memang semakin banyak waktu dihabiskan untuk menonton di platform berbagi video tersebut. Awal tahun ini, YouTube mengumumkan para penggunanya di seluruh dunia menghabiskan 1 miliar jam tiap hari untuk menonton video.
Meski masih terpaut jauh dibandingkan TV yang disaksikan selama 1,25 miliar jam di wilayah Amerika Serikat, namun menurut data Nielsen, di periode yang sama seperti dilansir CNBC, angka viewership YouTube itu sudah meningkat hingga 10 kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumya pada 2012.
Durasi waktu menonton di YouTube juga cenderung terus meningkat, sementara TV sebaliknya. Bukan nggak mungkin suatu ketika YouTube bisa menyalip TV sebagai pilihan utama dalam menyaksikan konten video.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini sudah terjadi di kalangan muda. Sebuah survei oleh Comscore tahun lalu, misalnya, menunjukkan bahwa kaum Millenial usia 18-35 tahun lebih menyukai YouTube ketimbang TV sebagai penyedia konten video.
Hal serupa terjadi pula di Indonesia sejak 2015, di mana sebuah studi Millward Brown menunjukkan para pengguna smartphone Tanah Air -yang berjumlah sekitar 30 persen dari populasi- lebih banyak menonton video dari perangkat internet (ponsel, tablet, atau komputer) ketimbang televisi.
Bukan TV yang hilang
Lantas, seperti apa masa depan televisi? Sebagai salah satu sosok terkenal di YouTube dengan jumlah subscriber hampir delapan juta di kanalnya, Casey Neistat mengaku masih optimis dan merasa TV akan terus ada. Hanya aja, menurut Neistat, batas-batas antara TV dan YouTube akan semakin kabur.
Dia memprediksi perkembangan teknologi gadget dan alat produksi yang makin terjangkau dan mudah dipakai akan membuat konten YouTube makin mirip dalam hal kualitas dengan konten TV atau film sekalipun.
Buat Neistat, media sosial -termasuk YouTube- adalah sarana demokratisasi teknologi yang menghilangkan barrier of entry atau penghalang untuk memulai kiprah di bidang kreatif. Kini tak harus mengandalkan media konvensional untuk mempublikasikan kreasinya. Semua orang bisa jadi bintang, termasuk Neistat sendiri yang berkibar di YouTube.
"Yang menarik dari tren ini adalah, bagaimana ia (YouTube) menciptakan peluang untuk konten bergaya baru, dan menyediakan outlet kreativitas untuk tiap orang," kata Neistat. Karena itu, lanjut Neistat, yang akan menjadi tidak relevan bukanlah industri TV itu sendiri, melainkan peranannya sebagai penentu tren satu arah di masyarakat.
"Tren budaya akan ditentukan oleh masyarakat lewat outlet sosial. Bukan lagi monopoli segelintir pihak," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali ditayangkan di Kompas.com, dengan judul artikel Ada YouTube, Bagaimana Masa Depan TV?