Rock In Borneo: Pelajaran dari Pedalaman di Timur Kalimantan (PART II)

Rabu, 27 September 2017 | 14:03
Hai Online

Ada yang Tau Ini Tarian Apa?

Rock In Borneo 2017 menyajikan Skidrow sebagai headliner utama. Dedengkot heavy metal asal negeri Paman Sam tersebut tentunya nggak sendiri, mereka juga didampingi beberapa headliner lokal lain.

Salah duanya adalah Jamrud dan Revenge The Fate. Dua band cadas yang “diimpor” dari Jawa Barat. Untuk Jamrud, ini adalah kesempatan pertama mereka tampil di Tenggarong, Kutai Kartanegara.

“Sebelumnya hanya lewat aja, Jamrud belum pernah main di Kutai, tapi di Samarinda pernah,” ujar sang vokalis Krisyanto.

Nah, kalo Revenge The Fate telah memasuki kunjungan mereka yang kedua tampil di Rock In Borneo. Pada 2016 lalu, unit deathcore asal Bandung itu juga tampil.

Kalo pada kisah pertama sebuah pelajaran yang kita “dapat” di festival ini datang dari Testament, kali ini, “bintang” utama dalam gelaran Rock In Borneo 2017 justru bukan dari para band serta headliner utama, melainkan datang dari sebuah "kearifan lokal".

Jika di 2014 para penonton yang jadi “juara”, di 2017, bintang utamanya adalah kesenian asli Kalimantan Timur. Gimana ceritanya?

Pede dengan Budaya Lokal!

Sejak awal promo Rock In Borneo 2017 digaungkan, pihak panitia telah memberikan teaser bahwa festival musik cadas terbesar di Kalimantan itu akan memberikan sebuah pengalaman yang berbeda bagi para pengunjung.

Acara yang sedari awal selalu digelar tanpa HTM alias gratis tentunya nggak perlu dibahas lagi, tapi konsep untuk mengangkat kesenian lokal yang ada di Kalimantan Timur sebagai tema utama jelas sebuah nilai penting dalam Rock In Borneo 2017.

“Atas Dasar Kebanggaan dan Kecintaan akan Seni Budaya Tradisi dengan Bangga kami persembahkan MAMANDA ETAM LESTARI untuk @rockinborneo Sabtu 23 September 2017 Lapangan Panahan Stadion Aji Imbut Tenggarong,East Borneo – Indonesia,” tulis pengumuman di akun Facebook Rock In Borneo.

Yap, Rock In Borneo 2017 nggak hanya "menjual" band sebagai daya tarik agar banyak orang yang datang. Distorsi Rock Borneo percaya diri untuk memasang kebudayaan lokal mereka sebagai sajian utama.

“Mamanda Etam Lestari adalah tajuk Rock in Borneo 2017, dilaksanakan untuk kali ke enam dan merupakan kebanggaan bagi kami mengangkat tema Mamanda (sebuah seni teater rakyat kutai) agar lebih di kenal generasi milenial hingga ke dunia seni dan musik internasional,” jelas Akbar Haka, aktor dibalik layar gelaran Rock In Borneo.

Kesenian lokal yang diangkat bukan hanya Mamanda, tapi ada juga konten tradisi dan Tari tarian, seperti Tari Jepen,Tari Perang,Tari belian,hingga Tarsul Kutai.

Alhasil, decak kagum dari sekitar 60 ribu orang yang hadir di Rock In Borneo 2017 pun berkumandang. Tawa riang serta riuhan tepuk tangan silih berganti ketika para lakon Mamanda beraksi.

"Banyak dari generasi milenial kurang mengenalnya (Mamanda), hingga peran Rock in Borneo disini adalah sebagai tongkat estafet agar seni mamanda bisa lebih di kenal anak anak muda pasca event berlangsung," tambah Akbar.

Apa yang udah terjadi di Rock In Borneo 2017 dengan diangkatnya budaya lokal sebagai salah satu sajian utama, di jam panggung utama, dan bukan sekedar selingan atau "hanya pemanis" di atas panggung yang penuh distorsi menjadi nilai tambah luar biasa.

Nggak menutup kemungkinan, para pegiat industri kreatif dan musik di berbagai daerah di Indonesia lainnya bisa turut “terpancing” untuk melakukan semangat yang sama dalam mengembangkan budaya lokal.

Efek Positif ”Kapital-isme

Bukan hal yang mudah untuk menyelenggarakan festival musik keras di Indonesia. Banyak faktor yang bisa memicu hal-hal yang nggak diinginkan terjadi. Salah satu contohnya, biasanya, tanpa maksud mengeneralisir, soal kericuhan jadi ancaman utama festival musik keras di Indonesia.

Buat sebagian orang yang nggak suka terlibat di “moshpit” dan punya “bakat sumbu pendek”, tiap sedikit aja kena senggolan bisa jadi masalah, lho.

Untungnya, sedari awal Akbar Haka, yang juga vokalis dari Kapital dan tim dari Distrosi Rock Borneo telah mengedukasi para pengunjung Rock In Borneo sejak festival ini digelar pada 2012 tentang pentingnya “tata cara” menikmati musik keras yang baik dan benar.

Banyak pecinta musik keras juga telah memahami itu, termasuk di pedalaman Kalimantan. Contoh kasus yang menimpa Testament jadi contohnya. Penonton tetap bisa mengontrol perilaku meskipun mungkin emosinya terpancing atas kelakuan Chuck Billy terhadap Power Metal.

Selain itu, menyelipkan konten shalat berjama’ah bagi para pengunjung Rock In Borneo untuk pemeluk agama Islam tentu jadi sebuah nilai tambah tersendiri.

Nah, di berbagai daerah di Indonesia, dalam tiap pergerakan industri kreatif di daerahnya, pasti ada sosok-sosok penting yang telah bekerja keras untuk membuat “ekosistem” dan sistem terbaik untuk kemajuan daerahnya.

Tanpa harus menyebut secara spesifik sosok-sosok tersebut, semangat yang telah dibangun Akbar Haka dan teman-teman di Kalimantan Timur pasti juga sudah dilakukan di kota lain, dan buat elo yang merasa daerah dan kotanya belum ada “apa-apa” (acara musik keren), kenapa nggak mulai dari diri kalian sendiri dan ajak teman-teman dekat untuk melakukan sebuah pergerakan bareng-bareng?

Editor : Hai Online

Sumber : Hai Online