Benarkah Bunuh Diri Itu Menular? Apa Yang Perlu Dilakukan Saat Depresi? Simak Tanya-Jawab Lengkap Seputar Kesehatan Mental Remaja Ini.

Rabu, 13 Desember 2017 | 09:53
Rizki Ramadan

Bunuh diri itu bisa dicegah

HAI-online.com - Di tengah gempuran kabar tentang aksi bunuh diri setahun belakangan, pemahaman ini perlu kita sadari banget.

Kita nggak akan bisa nebak kapan idola kita, keluarga kita, teman kita, atau bahkan diri kita sendiri akan melakukan bunuh diri. Namun, satu hal yang pasti, kita bisa mencegah bunuh diri agar terjadi lagi. Caranya, dengan peduli dengan kesehatan mental.

Ada yang tahu film 13 Reasons Why? Kalau belum nonton, pastikan ketika menontonnya kamu bareng temen, yah. Jangan nonton sendirian. Di satu sisi, film ini bagus karena bisa menceritakan permasalahan-permasalahan remaja SMA dengan detil dan blak-blakan. Dari masalah teman makan teman, bullying, gebetan yang nyebelin, cowok PK, slek dengan keluarga, dan masalah keluarga. Dengan mengetahui masalah-masalah itu, bisa muncul keinginan untuk mencegahnya. Namun, di satu sisi, film itu terlalu eksplisit dalam menampilkan aksi bunuh diri. Bahkan, seperti memberi tutorial.

Celakanya, cerita-cerita itu bisa “menularkan” keinginan untuk bunuh diri juga ke orang yang mengalami masalah yang sama. Itu baru di 13 Reasons Why, setahun ini aja udah berapa kali tuh kita baca kabar tentang aksi bunuh diri di dunia nyata. Bahkan, seleb idola kita melakukannya.

HAI percaya, anak muda perlu tahu betul tentang kesehatan mental, depresi, cara mengatasinya dan pencegahan bunuh diri. Pasalnya, di usia kita ini, jiwa kita bisa saja bergejolak. Kita mulai beranjak dewasa dan itu artinya, kita mulai mesti mengambil keputusan-keputusan besar sendiri. Tanggung jawab kita di akademik juga bikin kita mesti menyesuaikan diri. Belum lagi urusan pertemanan dan percintaan. Kita rentan depresi.

Karena itu, HAI mendatangi Benny Prawira, pendiri Into The Light, komunitas yang concern dengan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri. Benny adalah lulusan Psikologi Universitas Bunda Mulia yang kini sedang melanjutkan studi di Atma Jaya. Ia fokus menkaji suicadology.

HAI ngobrol panjang lebar sampai sejam lebih, dari mulai masalah psikologi anak SMA, gejala overthinking, film 13 Reasons Why, fase-fase depresi dan pencegahan bunuh diri, hingga tips menjadi pendengar yang baik ketika teman curhat.

Banyak fakta penting yang perlu kita ketahui. Simak tanya jawab ini!

Seberapa gawat, sih, situasi sekarang ini? Kalau dilihat kan, setahun belakangan banyak banget kabar tentang bunuh diri, bahkan datang dari pelakunya sendiri lewat media sosial. Ada juga film drama tentang glorifikasi bunuh diri dan ada seleb besar dunia yang melakukan bunuh diri.

Prediksi WHO, di tahun 2020, depresi jadi penyakit penyebab kematian nomor 2 tertinggi, di seluruh dunia. Bisa dibayangkan, depresi akan jadi masalah yang besar. Itu tahun 2020. 2,5 tahun lagi kita menuju ke sana.

Perkembangannya, karena kita terpapar dengan video bunuh diri yang beredar di media sosial. Dan itu direkam kepada yang lebih rentan. Itu kelihatannya memang kok ini chaos banget. 13 Reasons Why itu udah sangat dikritik abis-abisan oleh aktivis kesehatan jiwa di sana. Parah banget kritik.

Yang ditampilkan di 13 Reasons Why itu ekspilit. Seperti ngasih tutorial.

Yang ditampilkan di13 Reasons Whyitu ekspilit. Seperti ngasih tutorial. Orang biasa pun akan ngeri, jijik, emosi negatif yang muncul ketika menonton. Mungkin memang maksud produsernya baik. Untuk menyampaikan ada pesan kamu bisa menyelamatkan orang-orang seperti Hanna, tapi packaging-nya salah total. Intinya itu. Temen-temen saya yang punya kecenderungan bunuh diri tidak nyaman sekali nonton film itu. Saya bilangin ke temen-temen, kalau nonton jangan sendirian.

Akibatnya semakin besar lagi karena selebritiyang meninggal. Ada efek dari selebriti ini . Dia berkembangnya di saat orang-orang kayak saya masih remaja juga. Lagu-lagunya masih hits. Attached. Kekacauan yang diciptakan lewat lirik lagunya tuh masuk banget dengan kekacauan masa remaja jaman itu. Depresinya dia. Itu berisiko sekali untuk akhirnya ke bunuh diri.

Jadi memang fenomenanya semakin keliatan memburuk.

Benar, nggak, sih kalau bunuh diri itu menular?

Menularnya Lewat media sosial, kata-kata yang eksplisit, asumsi-asumsi tunggal. Misal, ada kasus bunuh diri dan kita mengasumsikannya: orang itu putus dari pacar lalu bunuh diri. Mendengar asumsi tunggal itu, orang dengan masalah yang sama bisa melakukan hal yang sama. Karena dia punya kecenderungan depresif juga.

Langkah Linkin Park bagus sekali, mereka meninggalkan surat yang nggak menyebutkan bunuh diri. Merekamenceritakan kehidupan Chester. Dan mereka buat website untuk suicide prevention.

Itu yang harus kita lakukan jika ada kematian di komunitas. Bukannya malah mengalih-alihkan ada suicide. Atau malah bilang, ada suicide kami semua sedih.

Ketika stigmatisasi kematian tersebut dibiarkan itu sama dengan mengirim pesan bahwa its not ok to be suicidal, jadi ketika punya kecenderungan, kita akan bungkam. Butuh bantuan, diam-diam. Sementara ketika kita glorifikasi, kita mendorong mereka yang depresif untuk melakukannya

Kalau mendengar berita negatif kita lebih nangkep karena naluri bertahan hidup. Itu mengapa kalau kita merasakan emosi negatif jadi begitu membekas.

Nah, beberapa waktu belakangan ini kan ada sejumlah pelaku bunuh diri yang merekam aksinya lalu post ke media sosial. Sebenernya kenapa orang bunuh diri punya kecenderungan untuk melakukan itu?

Karena dia ingin mengeluarkan suicide note. Sekarang kan, media sosial, Facebook misalnya, sudah banyak digunakan sebagai diari. Sekarang ini, suicide note makin banyak pilihan medianya.Mau update status, bikin video di facebook, atau tulis tangan saja.

Yang disayangkan adalah, sebenernya yang di bulan Maret itu di bulan itu Facebook baru mengumumkan fitur report kalau ada orang yang mempost sesuatu yang menunjukkan dia mau melakukan self harming. Tapi kalau di Indonesia, setelah di-report, dilaporkannya ke mana?

Biasanya mereka menyampaikan suicide note dengan emosi negatif mereka. Mereka pengen kabur dari rasa sakit itu. Bukan pengen mati, kok, sebenarnya. Mereka yang selamat dari percobaan bunuh diri pun merasa bersyukur bisa melanjuti hidupnya.

Oke sekarang ke masalah remaja. Ada yang bilang remaja SMA itu rentan depresi. Bener nggak sih?

Tepatnya, bukan cuma anak SMAnya aja. Tapi remaja. Karena ada yang dari umur 12 tahun sudah ada yang muncul gejala depresif dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Masa SMA itu bisa bikin chaos. Kita tiba-tiba mau pacaran, harus mengahadapi tuntutan akademik, persiapan kuliah. Banyak hal yang harus di-adjust. Anak SMA harus mulai belajar tanggung jawab dengan keputusanya, nggak bisa ke orang tua lagi.

Dilihat dari perkembangan biologi, kalau nggak salah, anak SMA tuh belum siap untuk pemikiran logis. Pemikiran matang. Itu jadi masalah. Yang akhirnya kalau mereka punya kerentanan biologis mengenai suicide, dari genetika, mereka jadi melakukan perilaku berisiko bunuh diri.

Wah, jadi keinginan bunuh diri itu bisa diwariskan dari orang tua, yah?

Lepas dari depresi. Ada riset yang bilang, gen untuk bunuh diri bisa diwariskan—terlepas dari dia punya gangguan jiwa atau nggak—dari orang tua yang pernah melakukan percobaan atau kepikiran bunuh diri.

Ternyata bunuh diri nggak mesti diiringi depresi. Kerentanan bunuh diri itu bukan masalah yang kita pilih. Ada orang yang remajanya baik-baik aja, ada yang chaos karena punya kecenderungan depresif. Ada yang di-bully baik-baik aja. Ada yang di-bully langsung pengen mati. Itu memang segitu kompleksnya dengan faktor biososialnya bunuh diri.

Sebenernya, kita bisa disebut depresi itu kalau udah kayak gimana, sih? Apakah ada fase-fasenya? Apakah overthinking salah satunya?

Yang pasti, gejala depresi itu adalah mood yang berubah dalam dua minggu. Dia merasa sedih, hampa, putus asa, berasa nggak ada rasa—beberapa orang bilang nggak ada rasa apa-apa—ada perubahan pola makan, pola tidur. Gerakannya terlihat gelisah atau dia jadi melamban banget. Konsentrasi mudah buyar. Kalau gejala itu terjadi dalam dua minggu itu bisa dibilang depresi.

Namun, ada gejala lain yang bisa terjadi, namanya manic, yaitu ketika dia mengalami moodswing, dari yang nge-drop banget tiba-tiba jadi semangat meletup-letup.

Tapi bukan berarti mereka happy karena mereka tetap mudah tersinggung. Di saat manic itu, dia bisa melakukan sesuatu yang impulsif: kebut-kebutan, belanja berlebihan, melakukan perilaku seks berisiko. Bisa juga dia jadi ngomong lebih cepat, dan tiba-tiba jadi ramah sama orang lain.

Nah, kalau dua tanda (depresi dan manic) itu terjadi, berarti dia mengidap bipolar. Mood-nya bisa tiba-tiba berubah drastis. Itu yang bahaya. Harus segera diatasi agar pemikiran bunuh dirinya nggak muncul mendadak.

Nah, kalau sudah di tahap parah itu, apa yang perlu dilakukan untuk menangani?

Caranya, ke psikolog atau psikiater. Kalau udah dua gejala itu terjadi, apalagi kalau udah parah harus kena obat dan psikoterapi, nggak bisa curhat doang ke temen.

Curhat itu penting, tapi bukan berarti itu yang menyembuhkan. Bahwa itu bisa melegakan, iya.

Saat lagi depresi pengen nangis-nangis dan ada temen yang dengerin, ada temen yang melukin, itu kan penting banget, untuk menunjukkan bahwa seberapa buruk pun keadaanmu nggak bakal sendirian, lho.

Orang yang depresi itu sudah terblokir pikirannya. Dia itu, ketika ada kondisi yang positif banget di sekitar dia, bisa jadi negatif. Atau, dia bisa melihat itu sebagai sesuatu yang positif tapi ke dirinya jadi negatif. Jadi beban. Saya cuma jadi beban untuk orang lain.

Karena akan ada 3 yang kena kalau lagi depresi. Pemikiran ke dia sendiri, orang-orang di sekitarnya, dunia termasuk tuhan, sampai ke masa depan. Itu kenapa kalau dia diajak mikir ke depan agak susah. Kamu punya tujuan hidup nggak. Dia biasanya menjawab, “Saya punya sih cita-cita, tap nggak mungkin deh dalam kondisi kayak gini.”

Sampai sekarang ini, pergi ke psikolog atau psikiater itu masih tabu bagi masyarakat. Ada stigma negatif untuk mereka yang pergi ke psikolog. Gimana tanggapan mas Benny?

Itu yang jadi bermasalah sekali. Kita suka sekali menyalahkan ke individunya. Keluarga jadi malu. Pusing lah memang kalau menghadapi ini. Kita harus memastikan bahwa korang ini nggak nyerah total. Kalau keluarga nggak setuju, pergi diam-diam

Itu dia yang menghalangi: stigma. So, tantangan ini harus kita dobrak. Sadarkan masyarakat bahwa depresi dan gangguan mental itu bukan lagi kayak pilek melainkan tipus. Ibaratnya, pilek itu bad mood. Kalau teratasi sendiri yaudah, kalau sampe berkepanjangan, itu bukan cuma pilek lagi, bisa jadi demam atau apa.

Kesehatan mental itu bukan masalah kepribadian, moral, iman, karakter. Itu masalah terkait dengan sistem di otakmu. Lingkungan sosialmu. Semua hal. Bisa diperbaiki, kok. Ada harapan untuk pulih.

Apa yang perlu kita tahu tentang pergi ke psikolog atau psikiater?

Itu bukan sesuatu yang memalukan untuk mengakui bahwa kita punya masalah. Justru itu langkah cerdas. Karena kalau di tahan-tahan efeknya bisa jauh lebih merusak. Jauh lebih panjang. Sedini mungkin harus dicek. Kalau badmood-nya seminggu nggak beres-beres. Langsung deh, coba ke sana.

Kalau ke psikolog, kita konseling, dan psikotest untuk diagnsis. Kita nggak bisa self proclaim kalau kita bipolar. Harus ada proses tesnya. Nanti akan ada programnya, ada terapi-terapinya. Banyak pendekatan dan tekniknya.

Kalau sama psikiater kita bisa dikasih obat. Dua-duanya harus bersamaan kalau mau pemulihan yang optimal. Kalau mau optimal lagi ajak ke komunitas konsumen kesehatan jiwa seperti Bipolar Care Indonesia. Mother Hope dan komunitas Get Happy.

Support group itu penting agar kita bisa ketemu temen senasib. Mereka bisa sembuh, lho.

Omong-omong, berapa sih, biaya untuk ke psikolog atau psikiater itu?

Tergantung biro dan kliniknya. Sekitar ratusan ribu, sih. Tapi kabar baiknya, sekarang ini perika ke psikater sudah di-cover oleh BPJS—ke psikolog belum.

Tapi BPJS nggak membiayai pasien yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Semua luka akibat percobaan bunuh diri nggak akan di-cover.

Apalagi eksesnya mahal yah. Untungnya bpjs udah mengcover tapi masalahnya bpjs nggak meng-cover kalau dia pernah melakukan percobaan bunuh diri. Semua luka akibat percobaan bunuh diri tidak akan dicover.

Bagaimana dengan Guru BK di sekolah. Apakah sudah cukup untuk membantu remaja mengatasi masalah mentalnya?

Di beberapa pelatihan yang kami buka untuk publik, ada kok guru BK yang datang. Itu kami apresiasi sekali. Harapannya guru BK bukan cuma jadi polisi moral yah.

Sistem BK itu penting banget untuk menjaga kesehatan jiwa anak. Kalau kesehatan jiwa bagus, prestasi akademiknya juga bakal bagus, kok. Sekolah perlu pengecekan kondisi jiwa mereka gimana senggaknya setahun 3 kali. Dilihat ada penurunan atau nggak.

Banyak remaja yang jika punya masalah, curhatnya ke media sosial. Apakah itu cara yang tepat?

Ada konsekuensinya jika kita curhat di media sosial. Kalau itu bikin dia nyaman, then do it. Masalahnya adalah situasi media sosial di indonesia ini masih lekat sama cyberbullying.

Kalau lingkungan pertemanan kita di media sosial “sehat”, sih, nggak apa-apa. Tapi kalau media sosial kita penuh dengan orang ketus, suka komentar aneh-aneh, mending jangan, deh.

Karena itu, kita perlu membentuk safe space untuk diri kita di media sosial kalau memang pengen curhat di situ.

Kalau nggak bisa curhat di media sosial, bisa coba diari. Menulis itu membantu menentukan strukturnya. Jadi kita bisa dapet insight, “oh iya, masalhanya karena itu”. Menulis itu melepaskan emosi kita kita.

Banyak remaja yang memendam masalahnya karena nggak tau mau curhat ke siapa. Ketika pun coba curhat, kadang malah rebutan curhat atau malah diejek. Nah, gimana sih, sebenernya jadi temen curhat yang baik?

Pertama, kita tahan dulu asumsi dulu tentang dia. Jangan judgemental. Jangan nasehati juga, pake argumen apapun.

Jadilah pendengar. Perhatikan gerak tubuhnya: kalau jalan dan ngomongnya lemes, kamu bisa bilang, “kayaknya kamu kelihatan capek, yah.” Terus, kalau dia sampe bilang “jangan-jangan gue pantes di bully kayak gini, pengen mati.” Kamu bisa bilang, “kayaknya kamu udah nggak tahan, yah, di-bully.”

Pokoknya, Perhatikan dia, dan coba refleksikan ke dia gimana kondisinya, emosinya dan apa yang dia rasa. Menjadi teman curhat yang baik itu bisa dipelajari. Intinya, kita mesti bisa jadi “tempat sampah” dia.

Satu hal penting lainnya adalah, ketika kita mau menjadi teman curhat yang baik, kita harus memastikan bahwa kondisi kita juga lagifit. Kalau sama-sama galau nanti jadinya nangis bareng. Kalau itu malah bikin lega kalian berdua, sih, nggak apa-apa. Tapi kalau bikin risih dia, mendin jangan

Bagaimana kalau teman kita udah kepikiran untuk melakukan bunuh diri? Apa yang bisa kita lakukan

Yang pasti kalau temanmu kepikiran mati, tanyain, sejak kapan mulai mikir kayak gitu. Sudah seberapa detil rencana kapan, pakai apa dia akan melakukannya. Kalau udah punya pemikiran bunuh diri kita harus ngajak dia ke tempat aman. Kita ajak dia bicara ke orang sekitarnya, jangan cuma kita doang yang tahu. Karena ngelayanin yang mau bunuh diri itu 24 jam, kan. Kita juga punya kehidupan kita.

Ini harus jadi concern teman-teman. Kalau ada orang bilang mau mati, gitu, jangan diledekin. Atau malah ditantangin, “yaudah mati aja.”

Kalau keadaannya lebih gawat, yaitu dia udah siap melakukan bunuh diri, gimana?

Langsung hubungi rumah sakit dengan bangsal jiwa. Nggak mesti rumah sakit jiwa, tapi cukup RS dengan psikiatri dan rawat inap jiwa. Langsung hubungi.

Kita juga harus hati-hati ketika berdekatan dengan benda tajam atau benda berbahaya lainnya. Perlu juga untuk mengikat badannya agar dia nggak melakukan apa-apa. Bisa diikat dengan seprei atau bahan-bahan yang nggak berbahaya. Bawa dia ke rumah sakit dengan mobil tapi nggak boleh di samping supir atau dekat pintu. Karena bisa jadi dia melakukan bunuh diri di saat itu.

Bilang ke dia, “ini untuk keselamatan kamu.”

Setelah itu kirim ke rumah sakit, nanti ada tim UGD kejiwaan.

Hal-hal apalagi yang perlu kita ketahui tentang pencegahan bunuh diri?

Yang harus kita sadari adalah banyak sekali hal-hal di luar kendali kita ketika berbicara tentang pelaku bunuh diri. Entah itu situasi sekitar, entah itu pemikiran bunuh diri itu yang bisa naik turun dalam hitungan detik, bisa membuatnya lebih baik atau lebih buruk. Kita harus siap juga.

Karena dalam keadaan pengen bunuh diri ada yang marah-marah, terus kecewa. Kita nggak tau apa yang ada di kepala dia. Sampe sekarang pun saintis masih sulit menemukan alat ukur bunuh diri. Saat ini mengukurnya dengan kuesioner. Tapi, bisa saja, kan saat ngisi kuesioner dia baik-baik saja, tapi sepulangnya pemikiran bunuh diri itu muncul lagi.

“Suicide is hardly predictable, but it is preventable.”

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya