Pertukaran-Pelajar Terbukti Efektif Bangkitkan Toleransi Antar-Agama Di Kalangan Remaja

Jumat, 28 Juli 2017 | 08:23

Program Pertukaran Pelajar

Intoleransi di negara yang menganut prinsip Bhineka Tunggal Ika itu rancu. Tapi, begitulah yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Bentrokan antar umat beragama kerap terjadi dan jadiheadlineberita sekarang ini.

Celakanya, "virus" intoleransi juga merembak ke kalangan remaja dan anak muda. Gejalanya mulai muncul.Penelitian yang dilakukan Kemendikbud menunjukkan bahwa ada potensi intoleransi terjadi di sekolah. Ada 8,2 % warga sekolah yang menolak ketua OSIS beda agama. Sementara ada 23% yang menyatakan lebih nyaman dipimpin ketua OSIS seagama.

"Ada keengganan anak dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama," kata Henny Supolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru pada diskusi peringantan Hari Pendidikan Nasional, Selasa (02/05), dikutip Kompas.com

Karena itu, kita perlu gerakan yang membangkitkan lagi semangat toleransi antar kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Anak muda sebagai generasi penerus menjadi kuncinya. Setuju dong?

Itulah yang menjadi misi utama gerakan sosial bernama Sabang Merauke. Sudah berlangsung selama ilma tahun, program pertukaran pelajar ini mengajak pelajar tingkat SMP dari berbagai daerah di Indonesia untuk merasakan tinggal di keluarga yang berbeda agama dengannya.

Di tahun ini, program digelar pada 15 Juli-5 Agustus 2017. Total ada 15 remaja SMP yang tinggal di 15 keluarga (host-family) di jakarta, dan di tiap keluarganya didampingi satu lagi peserta yang berusia dewasa-muda. Wayan (21), mahasiswa asal Bali, mengikuti program ini sebagai kakak pendamping. Banyak sekalistigmatentang agama lain yang akhirnya bisa ia tepis setelah tinggal bersama adik bimbingannya yang beragama Islam danhost-familyyang beragama nasrani.

"Saya Hindu, tinggal bersama adik Raya yang beragama Islam di keluarga nasrani. Saat di Bali, sebelum ke Jakarta, saya merasa tertutup sekali dengan perbedaan. Bahkan, takut sama orang yang bukan Hindu. Begitupun orangtua saya, mereka sering bilang, 'Yan, kamu jangan sekolah di luar Bali nanti dipengaruhi agama lain.' Tapi saya yakin, di luar sini masih banyak orang yang menjaga toleransi," cerita Wayan.

Bagi Wayan, program pertukaran pelajar ini adalah program yang sangat menginspirasi. Membuka wawasannya tentang ritual dan kepercayaan masyarakat dengan agama lain yang sebelumnya cuma diketahui permukaannya saja.

"Kita bisa merangkul siapapun yang ada di sekitar tanpa memandang perbedaan. Kuncinya satu: tetap berpikir positif dan selalu pikir bahwa kita adalah saudara," lanjut Wayan merangkum makna yang ia dapat

Raffi, siswa SMP 1 Bukittinggi yang muslim tinggal di keluarga yang beragama Kristen Katolik. Ia merasakan toleransi yang sangat baik dari keluarga barunya itu.
"Pernah, waktu itu aku ikut mereka kumpul keluarga besar. Dan saat mau sholat, mereka mengingatkan dan membantu saya untuk menyiapkan alat solatnya. Demian, anak mereka yang masih kecil juga diminta menenami aku untuk solat, bahkan," cerita Raffi yang awalnya mengira akan kesulitan untuk solat ketika tinggal di keluarga yang berbeda agama.
Sementara Allafi dari SMPN 3 Salatiga yang beragama Kristen Protestan merasa senang ketika keluarganya yang beragama Islam selalu mengantarnya ke gereja tiap minggu dan membelikannya alkitab.
Dari pengalamannya itu, Allafi merasa heran dengan kelompok yang kerap memojokkan agama lain.
"Mungkin mereka terlalu bangga sama agamanya. Kita kan harus menghormati orang lain," kata Allafi.
"Iya, kita nggak boleh mencela agama lain. Semua agama baik. Semua manusia baik. Walau beda agama, kita bisa tetap main bersama," sahut Raffi sambil merangkul Allafi.

Tag

Editor : Rizki Ramadan