Dari Home Industry di Cikupa Hingga Distribusi Kolongan di Sukabumi, Inilah Asal Usul Sneakers Blackmarket di Indonesia

Jumat, 02 Juni 2017 | 06:19
Rizki Ramadan

home industri sepatu imitasi di Cikupa, Tangerang

Kiwi, bukan nama sebenarnya, sudah dua tahun ini meraup banyak untung dari berjualan sepatu KW lewat berbagaimarket placedan akun-akun media sosialnya. Awalnya, ia berjualan di Kaskus, lalu setahun belakangan ini membuka akun di Tokopedia, lalu karena banyak anak muda yang beredar di Instagram Kiwi pun direkomendasikan membuka akun jualan di Instagram.

Berjualan sepatu hanya jadi kerja sampingan pemuda 27 tahun ini dari kerja utamanya di sebuah perusahaan event organizer di kota asalnya, Bandung. Tapi, berjualan sepatu KW malah mendatangkan penghasilan yang kerap lebih lebih besar dari gaji kantornya. “Omzet saya bisa Rp 15-20 juta per bulan. Keuntungan bersihnya bisa 20-30 persen darinya,” katanya.

Salah satu merk sepatu yang laris dari dagangannya adalahsneakers merk Vans.Dalam sebulan ia bisa menjual 50-80 pasang sepatu Vans. Ia menjual banyak jenis Vans. Dari mulai Vans Oldskool, Vans Authentic, hingga Vans Special Edition.

“Sejauh ini sih paling laku Vans yang band series. Saya sering jual yang Metalica dan Pearl Jam. Biasanya dijual Rp 340 ribu paling murah. Soalnya, sering dijual lagi, dengan harga sekitar Rp 400 ribuan,” aku Kiwi. Selain itu, di lapak Kiwi, Vans edisi Stars Wars pun sering jadi incaran. Sekadar info, di eBay, Vans edisi Metallica Kill Em All (Sk8-Hi) yang masih baru dihargai £89.99

Untuk bisa mendapatkan sepatu-sepatu KW ini, Kiwi bercerita kalau para pedagang punya beberapa opsi. Pertama, jalur impor. Kiwi dan sekitar tiga puluh pedagang lain dari Jakarta, Bandung, dan Tangerang bekerja sama untuk mengimpor sepatu dari kota Shenzhen, Guang Zho, Cina dan dari Vietnam.

“Sebenernya bisa pesan sendiri, minimal 20 kilogram, sekitar 20-30 sepatu. Untuk menekan biaya pengiriman, para pedagang sepatu ini bekerja sama, langsung pesan banyak dari sana. Sampai di pelabuhan Jakarta atau Surabaya, barang diantar ke gudang di Bandung, kami ngambilnya di gudang itu. Kalaubox-nya kami produksi lokal saja, kalau ngambil dari sana juga mahal,” lanjut Kiwi.

Persatuan pedagang itu juga membina relasi dengan “orang dalam” di pelabuhan. “Di sana ada relasi sama bagian pajaknya. Orang kepercayaan. BIar nggak terlalu mahal bayar cukainya. Namanya juga produk KW, suka dipermasalahkan,” kata Kiwi.

Kiwi butuh modal Rp 200.000 untuk bisa mendapatkan sepasang Vans dari mengimpor, sudah termasuk biayashipping.Dionline shop-nya, sepatu itu ia jual seharga kisaran Rp 220-250 ribu. Jumlah penjualan penting bagi pedagang macam Kiwi, karena itu keuntungan yang ia ambil tak banyak.

“Ada juga tuh pedagang yang masukin barang ke mal. Di mal, Vans KW ini bisa dijual Rp 400 ribuan. Salah satunya ada di mal PVJ (Paris van Java, RED),” Kiwi bercerita tentang rekannya sesama pedagang sepatu. Dari pedagang-pedagang itu, kebanyakan yang menjualnya lagi secaraonline. Nggak heran, mengapa di sebuahmarket placekayak Tokopedia atau Bukalapak, banyak penjual sepatu yang menggunakan foto produk yang sama. Kiwi cerita, fotografer mereka memang satu, “ada satu orang di gudang yang bertugas untuk memfoto.”

Jalur kedua adalah jalur lokal. Di Tangerang, Banten sana bersarang pabrik sepatu. Menurut Kiwi, Vans produksi pabrik resmi di Tangerang sana bisa lebih mahal harganya. Vans dengan grade GSI itu bisa dibanderol parasuppliergelapnya dengan harga Rp 400 ribuan. “Saya nggak ngambil Vans GSI, itu kualitas yang paling bagus. Mahal jadinya,” aku Kiwi.

Nggak beda dari cerita Kiwi, penelusuran HAI ke beberapa pedagang sepatu KW di kawasan Taman Puring, dan Blok M Jakarta Selatan pun mereka ngaku kalau barang-barangnya diimpor dari sumber yang sama: Cina, Vietnam dan Tangerang.

Di Cikupa Sepatu KW Berjaya

home industri sepatu imitasi di Cikupa, Tangerang
Maka bergeraklah HAI ke sana. Kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta di sebelah barat ini ternyata merupakan gudangnya berbagai jenis pabrik sepatu. Tepatnya di Jalan Raya Serang KM 16-18, kawasan Cikupa, Tangerang, Banten. Di sana banyak berdiri toko-toko grosir sepatu olahraga, beberapanya bahkan fokus menjualstreet shoeskayak Vans dan Converse. Di toko-toko itu, Vans dibanderol seharga Rp 100-150 ribu. Jenis yang banyak dijual adalah Vans Rowley XL-2, Vans Authenic dan Vans Oldskool.

Jika toko-toko grosir itu terletak persis di pinggir jalan raya besar, nggak jauh dari belakangnya , berdiri kawasan perumahan yang berubah fungsi menjadi pabrik sepatu. Di dalamnya tampak sederetan alat jahit, dan mesin potong besar. Ya, rumah-rumah disulap menjadi pabrik sepatu merk internasional kelas tiruan. Beberapa rumah membuat berbagai jenissneakersdari berbagai merk,tapi ada juga yang hanya membuat satu merk saja. Pabrik milik Pak Sunanto (nama samaran) yang mempekerjakan nggak kurang dari 20 orang itu memilih hanya membuat sepatu merk Vans. Seluruh proses produksi digarap di rumah yang terletak agak menjorok ke dalam dari jalan utama ini. Bahan kanvas dibeli gulungan. Pekerjaan dibagi menjadi lima bagian. Ada bagian potong dan jahit yang membuat bagian atas sepatu. Bersamaan dengan itu, pekerja di bagian sol bekerja merangkai bahan-bahan kayak sol bawah (waffle), sol dalam, dan sol pinggir, yang sudah tinggal direkatkan dengan lem itu. Di luar ada juga pekerja yang bertugas dengan mesin potong seukuran dua kulkas untuk membuat alas dengan kontur berpola tertentu.

Sepatu yang sudah jadi buatan home industri sepatu imitasi di Cikupa, Tangerang
Kain kanvas yang sudah dijahit lalu dibuatkan lubang talinya. Bagian akhirnya adalah menyatukan bahan kain dengan sol. Menggunakan lem dan pemanasan dengan api perekatan dilakukan. Selesai semuanya, patchVans Off The Wallditempel di bagian belakang sol.

“Dalam satu hari kami bisa membuat 200 pasang sepatu. Harga jualnya Rp 70 ribu per pasang. Biasanya kami kirim ke Yogya, Bali, dan Jakarta,” kata salah satu pekerjanya

Distribusi Kolongan dari Pabrik Di Sukabumi

Selain jenis tiruannya, beredar juga Vans versi original dengan harga lebih murah dari toko. Ya, sepatu-sepatu itu dijual oleh mereka yang bisa mendapatkansupplyterselubung dari pabrik resminya. Pada tahun 2008 hingga 2015, Vans memang diproduksi secara resmi oleh PT Glostar Indonesia yang berlokasi di Cikembar, Sukabumi sana. Namun menurut cerita, sejak tahun 2015 PT GSI di Sukabumi nggak melanjutinya.

Di periode tersebut, pemuda-pemuda Sukabumi yang tahu kalau ada pabrik yang membuat Vans langsung mencari cara agar bisa mendapatkansupply. Salah satu pemdua itu adalah Inos, nama samaran. Ia bersama pedagang-pedagang lainnya mendekati para karyawan pabrik untuk bernegosiasi. Hasilnya, pekerja pabrik bersedia menyelundupkan sepatu-sepatu bikinannya di pabrik ke para penjual dengan harga yang sangat murah. “Mereka tuh awam. Nggak tahu sepatu yang mereka bikin tuh apa, bahkan banyak yang nyebut sepatuket pan”.Dijualnya murah. Nggak sampe Rp 100 ribu.”

“Carasupplyseperti ini biasa diistilahkankolongan.Sementara para orang dalam pabrik kami sebut Ucing. Soalnya kayak ucing garong, hehehe,” kata Onis.

Untuk menyelundupkannya, para Ucing selalu punya cara, salah satu yang sering dilakukan adalah dengan melempar karungan sepatu melewati tembok pabrik. Di masa-masa awal berdirinya pabrik Onis bisa menjual sepatu Vans sampai 50 pasang hasil darisupplykolongannya itu. Saat itu belum banyak pedagang yang ikut ngambil barang.

“Saat Vans habis kontrak dengan pabrik di kota saya itu, saya sudah nggak sering lagi jual Vans. Katanya, sebenarnya pihak Vans masih mau melanjuti kontrak, dan malahan pengen diproduksi lagi di pabrik GSI. Tapi pihak GSInya memutuskan kontrak, karena sering didapati banyakmissing itemdi pabrik,” kenang Onis. Sejak 2014, Onis cerita pabrik pun mulai memasang CCTV di mana-mana, jadi gerakan para “ucing” mulai terbatas nggak kayak sebelumnya.

Berdasarkan kualitas dan kemiripannya dengan yang asli, sepatu Vans KW ini ada tingkatan-tingkatannya. Banyak yang berpendapat kalau tingkatan itu bisa dicirikan dariwaffle codedi sol bawah sepatu. Kode tersebut menandai jenis mesin yang cetak sol yang dipakai oleh pabrik. Vans buatan China memiliki beberapawaffle codeseperti IFC, HF, DT, SHC, ZDC, dan ICC. Sementara produksi Vietnam memiliki waffle code EVB, dan Indonesia adalah GSI.

Namun, pencirian tingkat kualitas dariwaffle codeini menjadi simpang siur karena beberapa pedagang, kayak Kiwi, bilang kalau sol ICC yang seharusnya dari Cina pun ada juga versi lokalnya. Saat HAI bertandang kehome industryprodusen Vans di Cikupa Tangerang sana, sol yang dipakai adalah yang berkode DT.

Para pedagang sepatu di internet pun kerap mengaburkan kode-kode tersebut. Bahkan, nggak jarang juga yang bikin istilah baru untuk meninggikan kesan mirip sepatu tiruannya. Beberapa menyebut sepatunya berkelas “grade ORI”, ada juga yang melabeli dengan istilah “premium”, sementara harga yang dibanderol 50-80 persen lebih rendah dibanding harga sepatu yang dijual di toko Vans resmi.

Ada anggapan bahwa Vans KW dan yang asli bisa mudah dicirikan dengan melihatpatchyang tertempel di bagian belakang sol. Vans asli bertuliskan“Off the Wall”sementara yang KW bertuliskan “On the Wall”. Namun, sepantauan HAI, Vans yang beredar di online shop, di Taman Puring pun sudah berlabel“Off The Wall”, begitu juga Vans produksihome industrydi Cikupa Tangerang. “Patchini kami bikin gulungan, ada percetakannya di dekat sini,” kata salah satu pekerja di sana saat HAI tanya tentangpatchmerah belakang sol tersebut.

Taman Puring, Jakarta
Beginilah Indonesia,setiap ada tren yang tinggi, pasti muncul kalangan yang bisa mengakalinya. Begitu juga di urusan sneakers. Nggak ada yang ori, KW pun jadi.

Tag :

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya