Juara dunia MotoGP 2006, Nicky Hayden punya pengaruh besar bagi dunia balap motor, khususnya MotoGP.
Saat kabar kematian diumumkan Senin, (22/5), banyak yang nggak percaya The Kentucky Kid telah tiada akibat kecelakaan sepeda yang dialami di Italia.
Gaya balap yang agresif dan menghibur selama ia membela Honda, Ducati dan tim Aspar sangat dicintai. Ia pun menjadi panutan bagi para pebalap asal Amerika Serikat seperti Ben Spies hingga Anthony Mazziotto yang masih berlaga di ajang KTM 390.
HAI beruntung pernah ngobrol bareng dengan Hayden pada 2014 lalu. Kala itu, mendiang pebalap yang terakhir membalap di ajang Superbike bersama Red Bull Honda Superbike Team ini curhat banyak hal tentang tim Aspar hingga regulasi baru MotoGP yang menjadi kontroversi di kalangan pebalap.
Bandara Soekarno-Hatta jadi saksi pertemuan HAI dengan sang legenda. Penasaran? Berikut obrolan seru HAI dengan Hayden yang terbit di edisi 45 tahun 2014 lalu.
Baca Juga: Selamat Jalan Nicky Hayden, Ini 3 Momen Penting yang Ia Lalui di Ajang MotoGP
Bersama Drive M-7 Aspar Team, kamu tampaknya kesulitan buat menembus 10 besar. Sedangkan beberapa pabrikan dari open class bisa membuktikan kualitas mereka. Ada apa sebenarnya?
Jelas, musim ini saya nggak senang dengan penampilan saya. Dari awal musim, saya berharap bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Tetapi banyaknya kendala seperti saya harus menjalani operasi tangan saya yang patah. Apalagi, kami kurang mendapatkan mesin yang kompetitif dari Honda jadi ya ini musim yang berat.
Tapi kalau dipandang dari ya Aspar bukan tim besar dan pasokan mesinnya juga nggak terlalu bagus, apa kamu sudah merasa senang dengan raihan sejauh ini?
Kalau dibilang memuaskan, nggak lah. Karena, balapan di MotoGP adalah mencari cara buat jadi yang terbaik. Jadi, saya nggak terlalu senang dengan hasil ini. Tetapi, yaa, saya sadari banyak kekurangan yang harus ditambal.
Sebagai juara dunia 2006, kamu sudah nggak muda lagi nih. Tetapi kompetisi masih harus terus dijalani. Sayang gempuran para pebalap muda nggak ada hentinya. Jadi, apa target realistis kamu sih di MotoGP musim 2014?
Ya, saya sadar bukan bocah 22 tahun yang doyan ngebut lagi. Tetapi, sejauh ini, saya merasa sangat bugar dengan kondisi fisik saya. Walaupun sempat ada masalah dengan pergelangan tangan saya. So, saya masih percaya bisa mendapatkan podium lagi seperti dulu.
Baca Juga: Terharu, Ini Pernyataan Kakak Kandung Nicky Hayden atas Kematian Adiknya
Banyak yang bilang, termasuk Casey Stoner, kalau MotoGP makin membosankan. Yang juara sama, yang menang Grand Prix itu-itu saja. Ada komentar kamu?
Saya nggak setuju dengan pendapat itu. Saya masih merasa setiap balapan yang digelar terlihat menegangkan. Makin ke sini, atmosfernya justru makin terbangun dengan hebatnya. Memang, regulasi dan teknologi yang diaplikasikan sedikit menghambat kami buat beraksi. Motor yang kami kendarai juga nggak terlalu beringas kaya dulu. Tetapi percaya, MotoGP masih berada di tempat teratas urusan keseruan di dunia balap.
Biasanya, Superbike jadi andalan para rider senior yang sudah kehabisan akal berkompetisi di MotoGP atau sudah merasa bosan. Ada rencana buat ke sana kah?
Jujur, saya masih fokus buat balapan di MotoGP. Jadi, kita lihat saja nanti apa ada perubahan yang drastis dari diri saya. Memang, saya punya mimpi buat menjadi satu-satunya pebalap yang bisa menang di MotoGP dan World Superbike. Tetapi buat saya, MotoGP adalah level tertinggi buat setiap pebalap berkarir. Saya tidak yakin setelah keluar dari MotoGP nanti, saya bisa mendapatkan motivasi buat balapan di sana.
Setiap pebalap pasti punya idola yang dijadikan panutan balapan. Nah, buat kamu, siapa sih sosok idola itu?
Saya sangat menghormati rider-rider macam Kenny Roberts Jr yang semuanya berasal dari Amerika Serikat. Tapi kalau boleh jujur, idola saya yang sebenarnya bukan dari dunia balap. Tapi dari basketball. Yap, Michael Jordan. Saya adalah penggemar berat basketball soalnya dan saya beruntung bisa bertemu dengannya langsung.