Kenapa Suntik Mati Dilarang di Indonesia Tapi di Negara Lain Boleh?

Selasa, 09 Mei 2017 | 12:15
Alvin Bahar

Prediksi Kematian

Eutanasia alias suntik mati rame diomongin lagi setelah seorang laki-laki dari Banda Aceh mengajukan permohonan untuk disuntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Berlin Silalahi, laki-laki itu, mengalami radang tulang dan jadi lumpuh sejak tahun 2014. Ia lelah dan putus asa karena penyakitnya yang nggak kunjung sembuh. Istri Berlin rela kalo suaminya disuntik mati.

Kasus Berlin sebenarnya bukan yang pertama kalinya di Indonesia. Tahun 2014, misalnya, Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan permohonan untuk disuntik mati ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Walaupun permohonan tersebut akhirnya dicabut, kriminolog dari Universitas Indonesia, Kisnu Widagso ragu MK akan mengabulkannya.

Baca Juga: Ada yang Meninggal Karena Mic! Ini Dia 4 Kematian Musisi Paling Aneh dan Misterius

Kisnu mengatakan, "suku mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Lalu, agama mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Hampir nggak ada kan."

Tapi, eutanasia diperbolehkan lho di sejumlah negara.

Yap, pandangan di Indonesia berkebalikan dengan Belgia dan sejumlah negara lain. Di sana, eutanasia dianggap sebagai simbol pencerahan dan kemajuan, bahwa negara itu telah lepas dari Katolik yang banyak ngatur.

Salah satu yang mendorong legalisasi eutanasia di Belgia adalah perubahan komposisi pemegang kekuasaan politik dari yang sebelumnya demokrat Kristen jadi yang lebih sekuler.

Alasan Legalisasi Eutanasia

Wim Distelmans, seorang onkologis dan profesor pengobatan paliatif di Free University of Brussels adalah salah satu tokoh yang mendorong legalisasi eutanasia di Belgia.

Ia mengatakan, pekerjaannya terinspirasi oleh penolakan terhadap segala bentuk paternalisme (membatasi otonomi orang lain demi kebaikan orang tersebut).

Diwawancarai oleh Rachel Aviv untuk The New Yorker pada Juni 2015, Distelmans mengatakan, "siapakah aku untuk meyakinkan pasienku bahwa mereka perlu menderita lebih lama dari yang diinginkan."

Untuk Distelmans dan politikus sekuler Belgia, hak untuk meninggal secara terhormat merupakan pencapaian bagi humanisme sekuler, satu dari tujuh sistem kepercayaan yang diakui oleh pemerintah Belgia.

Baca Juga: 10 Penyebab Kematian Terbesar di Dunia

Walaupun demikian, eutanasia nggak bisa dilakukan semena-mena. Dewan menteri Belgia mengangkat Distelmans sebagai ketua Federal Control and Evaluation Commition. Tugasnya memastikan tiap eutanasia mengikuti hukum.

Ketika pasien yang ditangani memiliki penyakit parah, dua dokter harus memastikan bahwa keinginan dan penderitaan pasien memang datang dari penyakit yang nggak disembuhkan.

Lalu, kalo kasus tersebut nggak disebabkan oleh penyakit yang nggak tersembuhkan, persetujuan harus datang dari tiga dokter.

Baca Juga: Ini Dia 4 Kematian Selebriti Yang Nggak Terduga

Peter Singer, filsuf moral dari Australia, dalam siaran Big Ideas di Radio National mengatakan, eutanasia yang kerap disamakan dengan pembunuhan dan bunuh diri dari dilihat secara kritis.

Ia mengatakan, eutanasia dalam filosofi harus dimulai dari pertanyaan mendasar, “mengapa Anda nggak boleh membunuh orang lain?”

Menurutnya, ada 3 alasan nggak membunuh: orang yang ingin Anda bunuh masih ingin hidup, Anda nggak berhak merenggut kehidupan dan kebahagiannya, dan Anda membuat orang-orang yang mencintai orang itu menderita.

Namun, bagaimana ketika ada orang yang ingin mati? Singer mengatakan, kalo kondisi itu yang terjadi, maka alasan pertama dan kedua jadi nggak berlaku.

“Kalau kita bicara soal euthanasia sukarela, membantu orang tersebut mati justru menghormati permintaan dan keinginannya,” ujar Singer.

Dia melanjutkan, alasan kedua juga jadi nggak berlaku karena orang yang hidupnya bahagia nggak akan meminta eutanasia.

Baca Juga: Polisi Periksa Kembali Kasus Kematian Kurt Cobain

Mereka memohon karena kualitas hidup mereka telah jatuh hingga ke titik yang sudah nggak bisa ditoleransi lagi. Mereka juga melihat bahwa kondisi tersebut nggak akan berubah.

Singer berkata bahwa alasan kedua ini dapat dipastikan dengan mengikuti sistem yang telah diaplikasikan oleh Belgia, yaitu dengan melibatkan persetujuan dua atau tiga dokter untuk memastikan bahwa penyakit atau penderitaan yang diderita pasien memang nggak tersembuhkan.

“Mungkin orang-orang yang masih mencintai pemohon eutanasia ini akan berduka kalo pemohon meninggal, tetapi kalo mereka memang mencintai orang tersebut, mereka pasti akan menghormati keinginannya dan nggak akan mau melihat orang tersebut menderita lebih lanjut,” ujarnya.

Salah satu argumen terkuat melawan legalisasi eutanasia sukarela adalah "efek lereng licin" yang menuju normalisasi eutanasia non-sukarela atau bahkan euthanasia paksa.

Pakar etika Nigel Biggar yang mengutip klaim profesor ilmu politik di University of Massachusetts Amherst, Peter Haas, mengenai euthanasia di era Nazi, mengungkapkannya demikian dalam buku "Aiming to Kill: The Ethics of Euthanasia and Assisted Suicide".

“Bukannya melihat Holocaust sebagai hasil dari pengaruh kejahatan yang misterus, Haas membacanya sebagai buah dari perubahahan kepekaan etika yang perlahan-lahan berubah di Jerman hingga akhirnya banyak orang merasa bahwa membunuh sekelompok manusia adalah sesuatu yang benar secara moral, karena mereka menganggap orang-orang tersebut jahat, nggak bernilai, atau membebani secara sosial,” demikian dinyatakan.

Baca Juga: Ini Kronologi Meninggalnya Pebalap Malaysia Keturunan Jawa, Norizman Ismail

Argumen tersebut kemudian diulangi berkali-kali dalam setiap perdebatan eutanasia, termasuk oleh anggota parlemen Liberal Australia, Adrian Pederick, pada tahun 2016 lalu.

Padahal, menurut analisa John Burgess, rekan penelitian yang mengunjungi University of Wollongong dan Northwestern University, dalam Journal of Medical Ethics, argumen lereng licin yang melibatkan Nazi seperti yang diungkapkan oleh Biggar nggak logis.

Xavier Symons, peneliti di University of Notre Dame Australia dan pakar bioetika di Austin Health's Human Research Ethics Committee, juga memiliki penilaian yang sama.

Dia berkata bahwa argumen tersebut nggak menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas antara legalisasi eutanasia dan holocaust.

Tapi... Siapa Saja yang Berhak Memilih Mati?

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Canadian Medical Association Journal mengungkapkan, sejak dilegalkan di Belgia pada 2012, kasus euthanasia meningkat dari 235 pada tahun 2013 jadi 1.807 pada tahun 2013.

Diberitakan Science Daily, 12 September 2016, peneliti juga menemukan peningkatan kasus eutanasia pada orang-orang yang nggak menderita kanker dan yang berusia di atas 80 tahun.

Lalu, walaupun tergolong kecil, penelitian juga menemukan adanya peningkatan kasus euthanasia pada orang-orang yang nggak memiliki penyakit serius dan yang memiliki kelainan psikitaris.

Baca Juga: Porsche Dinyatakan Tidak Bersalah Atas Kematian Paul Walker

Salah satu kasus adalah yang terjadi pada Ron dan Patricia Fellows. Pasangan suami istri itu meminta di-eutanasia sebab umurnya telah mencapai 90 dan 81 tahun.

Kalo berusia dan nggak memiliki penyakit serius, apakah seseorang berhak meminta di-eutanasia? Itu jadi perdebatan.

Di luar hukum Indonesia yang menolak eutanasia, Berlin Silalahi sendiri apakah berhak menerima eutanasia? Apa sebenarnya alasannya? Penyakit yang nggak bisa diobati atau nggak punya uang untuk membiayai pengobatan?

Kalo alasan keputusasaan Berlin adalah ekonomi, maka hukum Belgia sendiri melarang eutanasia. Masalahnya, apa penyelesaian bagi Berlin?

Sementara banyak perdebatan eutanasia masih berlangsung, Kanada sudah membicarakan hal yang lebih maju: mencoba memanfaatkan organ dari orang yang di-eutanasia.

Marie-Chantal Fortin dari Universitas Montreal seperti dikutip National Post, 20 Maret 2017, mengatakan, donasi organ akan membuat pasien yang memilih eutanasia merasa berkontribusi untuk masyarakat lewat kematiannya. (Shierine Wangsa Wibawa/Kompas.com)

Editor : Alvin Bahar

Sumber : kompas.com

Baca Lainnya