"Para tawanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus,” tulis Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam catatan perjalaannya di Sumatra. “Darah mereka diawetkan untuk minum, dan kadang dibuat menjadi semacam puding yang disajikan dengan nasi.”
Siapapun yang membaca kisahnya, barangkali bakal ngilu. Namun, kisah itu belumlah selesai. “Bagian tubuh kemudian dibagikan,” Ida melanjutkan kisahnya, "Telinga, hidung, dan telapak kaki adalah bagian milik Rajah, yang juga memiliki klaim atas bagian lain. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, dan hati—yang semuanya adalah hidangan aneh—dan semua daging dipanggang dan disantap dengan garam.”
Ida tidak menyaksikan kengerian itu dengan mata kepalanya. Dia mendapat informasi tersebut dari beberapa pejabat pribumi setingkat bupati di Muara-Sipongie—kini bagian dari Kabupaten Mandailing-Natal, Provinsi Sumatra Utara. Para pejabat pribumi itu juga meyakinkan Ida bahwa para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam utama.
Dia ingin berkunjung ke dataran tinggi dan berharap dapat menemui kanibal liar dari Batak tersebut. Bagi bangsa Eropa, orang-orang Batak memang belum banyak dikenal. Atas alasan itulah Ida sangat bernafsu bertemu dengan mereka.
Ketika Ida berada di Padang, rencana perjalanan ke tempat-tempat tersebut sempat dicegah oleh warga setempat. Mereka bercerita kepada Ida tentang dua misionaris asal Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson, diduga telah dibunuh dan disantap oleh orang Batak pada 1835.
Ida bersama seorang pemandunya menunggang kuda selama perjalanan di pedalaman Sumatra. Perjalanan di pulau ini dibagi beberapa tahapan atau rute militer. Setiap 12 hingga 20 kilometer terdapat benteng atau bangunan kecil tempat kantor pemerintah, sekaligus tempat bermalam para pelancong seperti Ida.
Pada pertengahan Agustus 1852, keduanya menuruni bukit di Silindong, dekat Danau Toba. Namun, sebelum menuju lembah, pemandunya menyarankan supaya Ida untuk tak menjauh darinya. Mereka menyaksikan prosesi yang dilakukan enam lelaki bersenjata tombak. Ketika kedua orang itu mendekat, mereka justru disambut dengan tombak dan parang. Setelah si pemandu menjelaskan, Ida boleh melewati kawasan itu.
“Di suatu tempat, kejadiaannya bahkan lebih serius,” demikian Ida berkisah. “Lebih dari 80 lelaki berdiri di jalanan setapak dan menghalangi perjalanan kami.” Kemudian dia melanjutkan, “Sebelum saya menyadarinya, sekawanan lelaki telah melingkari saya seraya menodongkan tombak mereka, dengan tatapan ngeri dan liar.”
Ida melukiskan sosok lelaki Batak yang mengepungnya. Mereka berbadan tegap dan kuat, tingginya hampir dua meter, penampilannya beringas dan militan. “Mulut lebar mereka dengan geligi yang menonjol, tampaknya lebih mirip dengan binatang buas ketimbang manusia manapun.”
Suasana kian mencekam, para lelaki itu merubungi Ida sembari bersorak-sorai. “Saya tidak mengerti apa yang terjadi selanjutnya,” ungkapnya. “Saya merasa sudah pasti bahwa ini adalah akhir hidup saya.”
Ida gelisah, demikian dalam catatannya, lantaran suasana kian menakutkan. Namun, tampaknya dia tidak kehilangan kendali. Dalam situasi teror, perempuan itu duduk di sebongkah batu. Lalu, sekonyong-konyong mereka mendatanginya sembari menunjukkan gerakan-gerakan yang mengancam.
Kemudian, Ida bangkit dan mencoba berbicara kepada lelaki beringas di dekatnya dengan bahasa separuh Melayu dan separuh Batak. Sembari tersenyum Ida berkata, “Mengapa Anda tidak berkata saja bahwa Anda akan membunuh dan memakan seorang perempuan tua seperti saya. Saya pastilah sangat sulit dimakan dan alot.”
Ida, dengan gaya pantomimnya, berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa dirinya tidak takut apapun. Bahkan, apabila mereka menginginkannya, dia rela dibawa oleh mereka asalkan mereka mengantarnya ke Eier Tau—Danau Toba.
Kemudian para lelaki beringas dan bertombak itu melepaskan tawa mereka.
Barangkali, kepercayaan diri yang Ida tunjukkan telah membuat suatu kesan bersahabat kepada mereka. Pada akhirnya, mereka menyambut Ida dengan uluran tangan, dan lelaki bertombak yang melingkari perlahan membuka jalan untuk dirinya. Ida bersuka cita lantaran terlepas dari bahaya di pedalaman Sumatra. Dia pun berhasil berjejak di tepian Danau Toba dengan selamat.
Ketika peristiwa itu telah dua tahun berlalu, Ida telah kembali ke kampung halamannya di Wina, Austria. Dia terkejut pada satu pemberitaan dari Hindia Belanda. “Saya membaca surat kabar yang mewartakan bahwa tiga misionaris asal Prancis di pedalaman Tappanolla, Batak; telah terbunuh dan dimangsa oleh para kanibal ditengah perayaan dengan tarian dan musik.”
Sejatinya kisah suku kanibal di Sumatra telah diwartakan pertama kali oleh Niccolò de' Conti, penjelajah asal Venesia yang berjejak di Sumatra pada awal abad ke-15. Rumor tentang suku tersebut terabadikan juga dalam catatan lain pada abad ke-19 dari Thomas Stamford Raffles, Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, dan Oscar von Kessel.
Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855.
Ida Pfeiffer (14 Oktober 1779—27 Oktober 1858) merupakan pelancong perempuan tomboi. Dia mulai melancong pada 1836. Pada 1852-1853 dia mengunjungi sejumlah kawasan di Hindia Belanda: Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Kepulauan Maluku.
Perjalanan Ida ke Tanah Batak mengisi sebagian besar kisahnya tatkala berjejak di Sumatra. Selama perjalanannya keliling dunia, dia juga mengumpulkan spesimen aneka satwa dan puspa, juga peranti budaya dari tempat yang dikunjunginya. Buah tangan Ida dari Batak turut menghias Museum für Völkerkunde, sebuah museum etnografi di Wina: Tongkat 'Tunggal Panaulan' sepanjang hampir dua meter.
Tahun 2014, tepat 170 tahun silam, catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)