“The Catcher In The Rye”, Novel Yang Memicu David Chapman Membunuh John Lennon

Jumat, 08 Desember 2017 | 09:00
Hai Online

Novel Catcher in The Rye karya J.D Salinger

"There's a boy who fogs his world and now he's getting lazy

There's no motivation and frustration makes him crazy

He makes a plan to take a stand but always ends up sitting

Someone help him up or he's gonna end up quitting"

Pada tahun 1991, band punk rock Green Day merilis album kedua yang berisi 12 lagu dengan panjang hanya 34 menit. Di album Kerplunk tersebut, selain Welcome to Paradise yang hingga sekarang sering dinyanyikan, ada satu lagi lagu yang sering jadi pembicaraan, terutama bagi para pencinta buku. Lagu yang ada di satu nomor sebelum track penutup tersebut adalah Who Wrote Holden Caulfield?

Lagu tersebut pastinya bukan dibuat karena Billie Joe Armstrong, sang pencipta, ingin tahu siapa penulis sosok Holden. Penyuka buku atau pun bukan, senggaknya pernah dengar nama pengarang J.D. Salinger. Yang perlu kita pertanyakan adalah, siapakah Holden Caulfield dan mengapa Billie Joe sampai menujukkan empati terhadap Holden lewat lagu?

Gambaran sosok Holden di lirik lagu Green Day ini sudah cukup jelas. Holden ialah tokoh utama di salah satu novel sepanjang masa The Catcher in The Rye. Ia remaja 16 tahun yang merasa hidupnya kacau balau. Masalah besar pertama yang ia hadapi adalah kabar bahwa ia dikeluarkan oleh sekolah. Holden gagal di empat pelajaran dan hanya bagus di pelajaran bahasa Inggris, apalagi karena ia suka membaca sastra, kerap menulis, dan punya kakak seorang penulis juga. Nilai pelajaran lain nggak bisa tertolong. Salah satu guru idolanya, guru sejarah, pun hanya bisa memberikan nasihat kosong alih-alih kenaikan kelas.

Di asramanya, Holden mengetahui satu lagi kabar yang nggak enak. Teman sekamarnya, si playboy Stradlater, cerita kalau ia kencan dengan cewek yang adalah kasih tak sampainya Holden. Awalnya Holden menganggap enteng sampai akhirnya Stradlater cerita ia dan cewek itu sempat berduaan di mobil.

“Jadi kau apakan dia?” kataku (Holden, red), “Kau remas-remas di dalam mobil Ed Banky?” suaraku semakin bergetar tak karuan.

“Mulutmu busuk betul. Mau kucuci pakai sabun?”

“Benar tidak?”

“Wah, bung. Itu rahasia perusahaan.”

(…) kemudian aku mencoba melayangkan bogem mentaku, dengan sekuat tenaga, tepat ke arah sikat giginya, dengan harapan benda jahaman itu akan merobek mulut sialannya.

Perasaan Holden makin runyam. Holden, di malam hari itu,memutuskan cabut menuju New York membawatas dengan isi seadanya, memakai topi berburu kesayangannya, mengemut rokok, mengantongi uang tabungan dan menyeret setumpuk kegelisahan. Ia tak punya tujuan pasti, ia menumpang kereta, menginap di hostel mesum, bertengger dari satu bar ke bar lain, menekuri taman kota, menyelinap ke rumahnya sendiri, hingga mengitari kebun binatang.

Ia mencari cara untuk bisa ngobrol dan curhat. Namun, orang-orang yang ia temuinya, baik sengaja maupun nggak, nggak menunjukkan gejala bahwa mereka benar-benar peduli dan bisa sunggu-sungguh menemani Holden—bahkan Holden sempat memanggil PSK ke kamar hotelnya hanya untuk mengobrol tetapi si PSK tak mau. Padahal yang Holden butuhkan cuma satu: penerimaan.

Yang menarik dari novel ini lagi adalah ocehan-ocehan Holden si tokoh anti-hero ini. Ia senang mempermasalahkan banyak hal, meladeni segala macam pikiran yang melintas di kepalanya. Kata-kata kasar dan umpatan sarkas selalu mencuat di pikirannya ketika membahas apa pun. Holden benci dengan masyarakat yang ia anggap lebih banyak yang munafik, ia kesal dengan sistem, ia mengutuk lingkungan pergaulannya, dan kadang ia juga membenci dirinya sendiri. Singkatnya, Holden marah pada banyak hal.

ilustrasi Holden Caulfield, tokoh utama The Catcher in The Rye (ilustrasi oleh: M.S Corley)
Kutipan dari halaman 124:

Menjadi seorang pengecut memang bukan hal yang menyenangkan. Mungkin sebetulnya aku bukan pengecut betulan. Ah, entahlah, aku tidak tahu. Aku pikir barangkali aku ini cuma setengah pengecut. Setengahnya lagi adalah tidak pedulian.

Kutipan dari halaman 158:

Uang sialan. Uang memang tak pernah bisa bikin kita merasa senang

Kutipan dari halaman 184:

"​Sekali-sekali kamu harus mampir ke sekolah khusus anak laki-laki. Coba saja kapan-kapan, “ kataku. “sekolah seperti itu selalu saja penuh sesak dengan pemuda-pemuda yang serba munafik. Satu-satunya yang harus kami pelajari adalah belajar keras agar kami bisa tahu bagaimana caranya bisa jadi cukup cerdas. Cukup cerdas agar bisa beli Cadillac sialan suatu hari nanti. Kami harus berpura-pura dengan sekuat tenaga menipu diri dan meyakin-yakinkan betul pada diri kami sendiri bahwa sialanbetul kalau tim sepak bola sekolah kami sampai kalah. Dan yang kami harus lakukan tiap hari adalah sibuk mengoceh soal gadis yang juga tentang minuman keras dan seks seharian penuh. Lalu semua orang saling membela satu sama lain yang tergabun dalam kelompok mereka masing-masing."

Holden persis seperti yang di gambarkan oleh Billie Joe: frustasi, punya banyak rencana, namun ia lebih sering dibuat menyerah di akhirnya. Barangkali nuansa ketertekanan dan perasaan kacau-balau yang diceritakan itulah yang membuat novel ini kerap memicu kemarahan dan pemberontakan.

Billie Joe bukan satu-satunya musisi yang terinspirasi dari The Catcher in The Rye. Gun n Roses punya lagu yang judulnya sama dengan novel ini. Belle and Sebastian menyebut The Catcher in The Rye lirik lagunya, Le Pastie de la Bourgeoisie. The Ataris mengutip kalimat pembuka dan penutup novel ini udah ditaro di lirik If You Really Want to Hear About It

Dan nggak cuma musisi yang terilhami kisah Holden ini, melainkan juga para pembunuh.

Mark David Chapman adalah petugas sekuriti asal Hawai yang ngefans banget sama The Beatles. Pada Desember 1980, ia mengunjungi Dakota, New York. Ada dua tujuannya. Pertama, meminta tanda tangan John Lennon dan Yoko Ono, yang tinggal di daerah situ,untuk album duet Lennon-Onno paling baru, Double Fantasy. Sementara tujuan kedua adalah yang membuatnya dipenjara 25 tahun.

Pada suatu malam, sesaat setelah John Lennon keluar dari mobilnya untuk masuk ke apartemen, Chapman menghampirinya, mengeluarkan pistol dan menembakkan empat peluru ke tubuh Lennnon. Yoko Ono yang menyaksikan, langsung membawa Lennon ke rumah sakit. Namun ia tak terselamatkan.

Bukannya lari bersembunyi Chapman malah tetap dilokasi. Ada yang bisa menebak apa yang dilakukannya? Dia mengeluarkan sebuah novel The Catcher in The Rye itu dari kantung celananya. Saat polisi datang ke TKP untuk meringkus, Chapman sedang membacanya. Di buku miliknya, Chapman menulis “This is my statement.”

“(Holden Caulfield) tampak sangat tersesat dan bermasalah. Dalam pikiranku saat itu aku merasa aku adalah dia. Buku itu seperti bilang, ‘inilah aku’," kata Chapman dalam sebuah wawancara.

Cerita Chapman ini kemudian dibuatkan film, salah satunya adalah Chapter 27 yang rilis pada 2007. Film ini menceritakan bagaimana Chapman sangat terinspirasi dengan Holden Caulfield dalam melakukan aksinya itu. Judul film ini saja seolah melanjutkan cerita novel yang hanya terdiri dari 26 chapter itu. Film yang membuatJared Letto menggendutkan badan demi memerankan Chapman ini pun dibuka dengan kalimat tentang Holden:

"Aku percaya pada Holden Caulfield, dan buku itu. Dan apa yang dikatakannya untuk generasi yang hilang dan orang-orang yang munafik."

Mark Chapman (diperankan Jared Letto di film Chapter 27) sedang menenteng album Double Fantasy dan novel The Catcher in The Rye untuk dibawa ke apartemen John Lennon.
Di awal, Chapman sempat bilang bahwa alasannya membunuh Lennon hanya agar mendapat perhatian dan karena Lennon sangat terkenal.Tapi kemudian Chapman menyatakan kebenciannya terhadap sikap Lennon yang ia nilai munafik. Di satu sisi, Lennon menunjukkan kepeduliannya terhadap kaum miskin, tapi di sisi lain Lennon mengjalani gaya hidup tajir dan menikmati popularitasnya.

Di kasus lain, novel J.D Salinger ini juga ditenggarai menginspirasi pembunuhan yang dilakukan Robert Bardo pada aktris Rebecca Schaeffer pada 1989. Bardo terlihat melempar novel The Catcher in The Rye saat lari dari lokasi pembunuhan. John Hinckley Jr yang mencoba membunuh presien AS, Ronald Reagan pada 1981 juga terobsesi dengan novel ini selain film Taxi Driver.

Karena efeknya yang memicu perilaku negatif itu, novel ini juga sempat dilarang oleh beberapa pihak, termasuk sekolah. Meskipun begitu, penghargaan banyak diraih. Majalah TIME, misalnya, menyebut The Catcher in The Rye sebagai satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa. Pada 1961 pun rupa J.D Salinger dijadikan cover majalah mingguan tersohor tersebut.

Bermakna Baik Jika Dibaca Baik-baik

J.D Salinger merilis The Catcher in The Rye pada 1951,saat ia berusia 32 tahun. Novel yang dikerjakanya selama 10 tahun ini menjadi satu-satunya novel yang dipublis penulis cerpen ini. Berdasarkan catatan pada 2010, The Catcher in The Rye sudah terjual lebih dari 120 juta eksemplar. Edisi terjemahan bahasa Indonesianya sendiri diterbitkan oleh sebuah penerbit independen bernama Banana pada 2005 dan hingga kini sudah 3 kali cetak ulang.

Sebelum menulis novel ini, J.D Salinger tergabung di militer menjadi salah satu prajurit untuk Perang Dunia II. Selama perjalanan perangnya itu, ia bertemu juga dengan Ernest Hemmingway, prajurit yang kemudian menjadi sastrawan besar dunia juga.

Pada sebuah interview, J.D Salinger sempat menyebutkan bahwa sosok Holden itu mengutip banyak kisah hidupnya. “Masa remajaku sebagai cowok sangat mirip dengan cowok di buku itu.(aku merasa) sangat baik bisa menceritakannya ke orang-orang,” kata pria yang sebenarnya banyak menolak buka suara ini.

Dari dalam penjara, Mark David Chapman si pembunuh John Lennon sempat menulis surat kepada J.D Salinger isinya permohonan maaf karena ia membunuh karena terinspirasi oleh The Catcher in The Rye. J.D Salinger nggak membalasnya.

Di dalam novel ini nggak ada tuh cerita tentang pembunuhan. Holden memang sempat berpikir untuk membunuh dirinya sendiri tapi rencana itu hanya menjadi ocehannya saja.

Terlebih dari itu, kalau dicerna lagi, sebenarnya banyak juga nilai positif yang bisa ambil dari novel ini. Di antara kegelisahan, amarah, dan perasaan Holden yang kacau-balau itu, kita bisa belajar dari rasa cinta Holden kepada Jane Gallagher, tanggung jawab Holden sebagai kakak yang nggak ingin adiknya, Phoebe, menghadapi kekacauan hidup serupa; keramahtamahan Holden pada biarawati yang ia temui di halte; dan kejujuran Holden atas realita yang ia alami. Singkatnya, buku ini bisa membantumu melewati masa-masa sulit sebagai seorang cowok remaja.

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya