Kayaknya Mark Zuckerberg bakal ketularan Albert Einstein, bertanya-tanya kenapa hasil kerja dan karya mereka dipakai malah nggak sesuai peruntukannya. Kalau Einstein “meratapi” rumus energinya dipakai untuk membuat bom yang meluluhlantakkan Hiroshima, Zuckerberg mungkin mulai bertanya-tanya soal pemanfaatan media sosial besutannya. Penyebabnya? Segala kontroversi di media sosial, termasuk saat karya buatannya itu malah dijadiin buat siaran live bunuh diri.
“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” adalah frasa yang pernah nge-hits untuk mengkritisi fenomena media sosial. Seenggaknya, itu ungkapan yang beken pas ngetren-ngetrennya media sosial besutan Zuckerberg, beberapa tahun lalu.
Sejak kehadirannya, media sosial udah jadi kajian tersendiri di ranah psikologi dan sosiologi. Perkembangan dan penggunaan media sosial yang meledak selepas era booming dotcom pada 2000, memunculkan banyak fenomena yang jauh melampaui ide Zuckerberg.”
Google telah memudahkan orang mencari informasi dan berita, tetapi peranti itu tidak mencukupi untuk mengenal dan atau tahu tentang orang-orang di sekitar kita,” ujar Zuckerberg soal pemikiran awalnya membuat media sosial besutannya, seperti dikutip di Business Insider pada 29 Februari 2016.
“Google telah memudahkan orang mencari informasi dan berita, tetapi peranti itu tidak mencukupi untuk mengenal dan atau tahu tentang orang-orang di sekitar kita,” ujar Zuckerberg soal pemikiran awalnya membuat media sosial besutannya, seperti dikutip di Business Insider pada 29 Februari 2016.
Nggak ada yang menyangka, sekarang media sosial bukan lagi dipakai untuk saling kenal dan tahu dengan orang-orang sekitar, tapi justru lebih banyak jadi wadah kenarsisan. Aksi pem-bully-an dan penipuan, nggak cuma sekali atau dua kali terdengar. Bahkan yang sekarang-sekarang, penggunanya melakukan penyimpangan sampai menjadi tragedi.
Misteri Mentalitas Media Sosial Bagi Penggunanya
Seenggaknya ada empat peristiwa beda benua yang udah mengguncang dunia dalam tiga bulan pertama pada 2017. Tiga peristiwa terjadi di Amerika Serikat, sementara satu peristiwa lain terjadi di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada Oktober 2016, tragedi serupa juga terjadi di Turki.Semua peristiwa itu mengalahgunakan fitur tayangan live di media sosial untuk mereka aksi bunuh diri, yang jelas Cuma meninggalkan tragedi. Ironisnya, jejaring sosial milik para pelaku seolah nggak berdaya menghentikan aksi itu Penonton di media sosial malah menjadikannya tontonan atau sibuk menganggap tayangan itu sebagai rekaman palsu, di samping itu segelintir dari mereka yang mencoba menghentikan tindakan tersebut.
Dalam riset Igor Pantic yang dipublikasikan Badan Kesehatan Amerika Serikat (NIH) pada Oktober 2014, merangkum sejumlah risiko dan gejala masalah kesehatan mental dengan penggunaan berlebihan media sosial. Di antara gelagat masalah itu mencakup depresi, percaya diri yang rendah, hingga buruknya kualitas tidur pengguna aktif media sosial.
Sementara itu riset terbaru dari Universitas of Pittburgh School of the Health Sciences, yang diumumkan pada 19 Desember 2016, bahkan udah bisa memberikan sinyal awal depresi pada pengguna media sosial. Indikator pertama yang dipakai adalah jumlah pemakaian platform media sosial.
Daripada memakai indikator waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi di media sosial, riset ini mengumpulkan jumlah penggunaan aktif platform jejaring sosial lebih kuat korelasinya dengan gejala depresi dan kegelisahan bahkan kecemasan berlebihan di kalangan anak muda.
Riset berbasis survei atas 1.787 orang berusia 19-32 tahun yang aktif media sosial oleh tim Universitas Pittsburg tersebut mendapati, pengguna sekaligus 7-11 platform media sosial punya risiko 3,1 kali lebih besar menderita depresi dan kecemasan dibanding pemakai 0-2 media jejaring sosial pada satu waktu. Risiko meningkat lagi menjadi 3,1 kali lebih besar untuk penggunaan lebih dari 11 platform media sosial. Temuan dari jumlah pemakaian platform itu nggak banyak berubah, sekalipun udah dibandingkan dan disesuaikan dengan data lama pemakaian media sosial dari setiap responden.
“Bisa jadi mereka yang punya gejala depresi dan kecemasan—atau keduanya sekaligus—cenderung menggunakan lebih banyak media sosial, untuk mencari perasaan nyaman dan penerimaan. Sebaliknya, bisa juga diartikan, mereka yang benar-benar mencoba mengelola kehadiran di berbagai media sosial ini punya indikasi depresi dan kecemasan,” papar Primack.
Selain untuk seru-seruan, seenggaknya kita perlu menjaga diri dari rasa baper terhadap postingan orang lain. Supaya nggak kebawa stress ataupun cemas, ya, bro!