Kekerasan Pelajar di Jogja Terjadi Lagi. Duh, Sebenernya Salah Siapa, Sih?

Selasa, 14 Maret 2017 | 11:00
Hai Online

Kekerasan udah nggak zaman lagi, deh!

Yogyakarta selama ini terkenal dengan kekerasan di jalanan yang sering disebut masyarakat Yogyakarta dengan istilah “klitih”.

Meski konon katanya, “klitih” itu hanya berarti jalan-jalan sore dan nggak merujuk ke tindak kekerasan, tapi dengan seiring berjalannya waktu, istilah “klitih” makin dimaknai sebagai aksi kekerasan yang dilakukan secara acak dengan motif yang beragam.

Nah, belum lama ini, tepatnya Minggu (12/3), “klitih” kembali terjadi dan memakan korban. Kali ini, seorang pelajar yang baru duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) meninggal dunia setelah ditusuk oleh sekelompok orang di Jalan Kenari, tepatnya di sebelah Utara Kantor Balaikota Yogyakarta sekitar pukul 12.45 WIB.

Korban bernama Ilham Bayu Fajar yang masih duduk di bangku SMP itu meninggal dunia setelah diserang oleh sekelompok orang yang nggak dikenal, sewaktu melintas di Jalan Kenari, Kota Yogyakarta.

"Korban berboncengan dengan kakaknya, mereka perjalanan pulang dari main biliard. Saat melintas di Jalan Kenari, mereka tiba-tiba dikejar oleh sekelompok orang dan diserang," ucap Kasat Reskrim Polresta Yogyakarta, Kompol Akbar Bantilan, sebagaimana yang HAI kutip dari Kompas.com, Senin (13/3).

Ilham yang saat itu membonceng mengalami luka tusuk di bagian dada. Karena luka yang didapat cukup parah, nyawa pelajar SMP asal Banguntapan, Bantul, itupun nggak tertolong lagi.

"Korban ditusuk di bagian dada. Lukanya cukup dalam hingga tembus ke belakang," ucapnya.

Akbar menyebutkan, para pelaku penyerangan mengendarai sekitar 10 sepeda motor.

"Tidak ada masalah, tidak ada cekcok. Tiba-tiba saja langsung dikejar dan diserang," kata dia.

Herannya, pada hari yang sama, di Jalan Patangpuluhan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, polisi pun sempat mengamankan dua remaja berusia sekitar 13 tahun dan 14 tahun berboncengan sepeda motor.

"Saat digeledah mereka membawa senjata tajam. Mereka masih pelajar SMP," kata Akbar.

Dia mengungkapkan, salah satu anak yang diamankan di Wirobrajan tinggal di rumah kos bersama kakaknya, sedangkan orangtuanya berada di Lampung.

Sebelum kejadian ini, aksi kekerasan jalanan yang melibatkan pelajar hingga menyebabkan korban meninggal dunia terakhir kali terjadi di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul pada 12 Desember 2016. Polisi menangkap 9 tersangka yang semuanya masih berstatus pelajar.

Ditarik lebih jauh lagi, ada juga kejadian “klitih” yang menimpa 6 orang pelajar SMK N 1 Cangkringan di tanggal 20 September 2016. Tapi jauh lebih beruntung daripada dua kejadian yang udah kami sebut sebelumnya, keenam korban ini nggak ada yang sampai tewas.

Kalo kita ngomongin kasus yang menimpa siswa SMK N 1 Cangkringan, sewaktu berkesempatan main ke sekolah itu Oktober lalu, dan bertemu dengan salah satu korban bernama Naufal Fidya Nurhalim, kami mendapati bahwa sebenernya penyebab penyerangan kayak gini pun masih suka simpang siur. Ada yang bilang karena dendam, tapi ada yang bilang pelakunya menyerang demi eksistensi diri belaka. Dalam artian, merasa diri jagoan, ketika berhasil nyerang orang. Yang paling bikin geregetan, sih, ada juga pelaku yang biasanya menjawab “iseng” sebagai motif dia melakukan kekerasan.

Berkaca dari kejadian ini, sebenernya siapa, sih yang harus disalahkan atas keteledoran anak-anak di bawah umur ini dalam melakukan penyerangan?

Saking penasarannya, HAI sebetulnya sempat menyambangi Polda Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 4 Oktober 2016 silam. Waktu itu, kami sempat bertemu dengan Kabid Humas Polda DIY menjabat saat itu, Kombes Pol Anny Pujiastuti.

Menurut Polisi Wanita alias Polwan yang sudah mengabdi di kepolisian lebih dari 30 tahun ini, sebetulnya kejadian-kejadian yang dilakukan maupun menimpa anak atau pelajar di bawah umur ini merupakan tanggung jawab banyak pihak. Bukan cuma orang tua, atau polisinya aja.

Hmm, maksudnya?

“Sebetulnya sekarang, bagaimana peran orang tua, pendidik, lingkungan, dan pemerintah daerah. Jangan serahkan ke polisi semua. Karena kalau semua sudah kejadian, kita pun ikut prihatin, sedih. Peran orang tua, peran pendidik, lingkungan, pemerintah daerah, harus sama-sama menangani.” terang ibu Anny yang saat ini sudah tidak menjabat Kabid Humas Polda DIY lagi.

Ibu Anny melanjutkan, ia nggak jarang bertemu dengan pelaku yang mengakui kalau kehidupan di rumahnya sama sekali nggak suportif. Alias, Ibu Anny sering mendapati ada anak-anak atau pelajar yang masih keluyuran di luar rumah pada dini hari, sekitar pukul 1 atau 2 pagi dan nggak dilarang atau diacuhkan sama sekali.

“Kalo ada pelajar jam 1 atau jam 2 pagi masih di luar rumah, itu gimana aturan dari orang tuanya? Ibaratnya dulu, kalo kita belajar kelompok, sebelum maghrib pun kita udah disuruh sampe di rumah. Sekarang orang tuanya di mana?” tanya ibu Anny dengan nada prihatin saat dijumpai di ruangannya di Polda DIY.

Dari hasil ngobrol-ngobrol HAI sama ibu Anny, kami juga nangkep kalo peran orang tua itu sebenernya penting banget dalam kehidupan kita. Kalopun orang tua nggak bisa se-suportif itu dalam mendidik kita yang masih muda-muda ini, ibu Anny pun bilang, seharusnya kita menyadari kalo masa depan kita itu masih ada di punggung kita. So, nggak usah deh macem-macem pake ikut-ikutan main kekerasan apalagi nyerang orang yang nggak bersalah sampe tewas.

Lagian, nyawa manusia itu harganya nggak main-main, bro. Lagian, kita pun harus sadar kalo semua pihak itu berperan buat mendidik kita jadi anak yang nggak main kekerasan.

Cuma emang, yang perlu diinget, bukan cuma semua pihak yang tadi udah disebutin ibu Anny, diri kita sendiri pun bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan.

Nggak mau, kan, ikut-ikutan “klitih” tapi nanti kita jadi punya catatan buruk di kepolisian? Sekalinya punya SKCK yang jelek, bisa-bisa pintu kesempatan kita buat meraih cita-cita makin ketutup perlahan. Hmm, nggak mau, kan?

Editor : Hai Online

Baca Lainnya