Generasi Milenial Jadi Alasan Perusahaan Fotografi Memproduksi Lagi Rol Film Yang Sudah Mati

Rabu, 08 Maret 2017 | 08:30
Hai Online

kamera analog

Di ajang pameran teknologi yang cukup bergengsi, Consumer Electronics Show (CES) tahun ini, sementara para perusahaan teknologi dunia mengumumkan kecanggihan produk-produk barunya, Kodak Aliris, perusahaan yang mengakuisisi lini film Kodak, mengumumkan kembalinya produk yang sebenernya sudah mereka umumkan mati pada 2012 lalu. Ya, produk itu adalah film Kodak Ektachrome.

Berita ini tentu mengejutkan para pegiat fotografi, terutama para pehobi kamera analog. Salah satu film yang memang banyak disukai itu akhirnya bangkit dari kubur.

"Penjualan film profesional kami meningkat terus dalam dua-tiga tahun ini," kata Dennis Olbrich, presiden Kodak Alaris divisi kertas cetak, film dan bahan kimia foto, kepada TIME

Fujifilm pun kini makin gencar memasarkan kamera instannya, Fuji Instax. Jenis kertas cetak yang lebih beragam kini bisa mudah kita temui. Yang terbaru adalah kertas cetak dengan warna hitam putih.

"Ini adalah pasar yang besar bagi kami," kata Manny Almeida, presiden Fujifilm divisi imaging Amerika Utara. Tahun kemarin, Fujifilm mengaku sudah menjual 6,5 juta kamera instan, meningkat 3,9 juta dari penjualan tahun 2014.

"Kami sudah melakukan riset untuk memahami bagaimana kesan konsumen terhadap produk kami, perilakunya dan bagaimana mereka membelinya," kata Almeida, "Banyak pembeli yang mengindikasikan bahwa mereka nggak melihat Fuji Instax sebagai fotografi, melainkan sebagai sesuatu yang fun, santai. Ini adalah komunikasi sosial."

Sementara Harman Technology yang menaungi merk film black and white Ilford Photo juga merasakan tren fotografi ini meningkat terus. "Kami melihat ada perkembangan 5% dari tahun ke tahun secara global," ucap Giles Branthwaite, direktur penjualan dan pemasaran Harman.

Dari Pemula Sampe Profesional Suka Analog (Lagi)

Barangkali, para penguasa industri heran dengan gaya hidup para konsumen muda sekarang ini. Walau produk fotografi serbadigital sudah terbukti kecanggihan dan kemudahannya, tapi masih saja banyak yang tertarik nyoba kamera analog.

Olbrich menduga bahwa tren ini bisa terjadi karena keajaiban film. "Mereka mengeksplorasi keajaiban fotografi film dan banyak dari mereka yang begitu saja jatuh cinta."

Para fotografer profesional yang berusia 20-30an tahun pun membawa kembali fotografi film untuk berkarya. Dari mulai fotografer dari ranah seni rupa, hingga fotografer wedding.

"Mereka (para fotografer) mencari pembedaan karya mereka dengan memotret pakai film. Dan itu membuat produk mereka jadi premium. Karena film menawarkan tampilan dan kesan yang beda dengan digital," kata Almeida.

"Ada kekayaan dan kedalaman di foto dari kamera film yang sulit didapat dari lainnya. Itulah alasan mengapa sinematografer berpengaruh pun lebih suka memakai film," tukas Olbrich.

Selain itu sensasi saat memotret dengan film pun menjadi daya tarik. Saat memotret dengan kamera analog, kita akan diajak untuk lebih memperhitungkan apa yang akan kita foto. Olbrich bilang, "Kita nggak bisa memotret ratusan kali dan langusng mereview-nya. Kamera analog mengharuskan kita untuk memikirkan fotonya, merencanakannya dan kita akan membayangkan foto itu dulu sebelum memotretnya. Para fotografer film percaya proses ini akan menghasilkan karya yang lebih artistik dan spektakuler."

Tag

Editor : Rizki Ramadan