Media sosial tiba-tiba diramaikan dengan hashtag #makanmayit. Makan mayit adalah karya seniman Indonesia bernama Natasha Gabriella Tontey. Dalam proyek yang dihelat di Jakarta, Natasha menyuguhkan jamuan makan dengan tema bayi. Tenang, bukan bayi beneran pastinya.
Penampilan menu-menu itu memang bisa bikin bergidik, sebut saja puding berbentuk bayi, makanan yang disajikan di dalam boneka berbentuk bayi, atau makanan berbentuk otak. Lalu, proyek ini jadi viral (diduga gara-gara di-post oleh akun Instagram Lambe Turah) dan menuai kontroversi.
Banyak netizen yang menyayangkan karya Natasha ini. Ada yang bilang makan mayit nggak sensitif, kebablasan, dan nggak pantas.
Namun, ada juga yang ngasih tanggapan berbeda. Contohnya adalah musisi bernama Kartika Jahja. Dalam tulisan di Instagram, Kartika membeberkan alasannya kenapa tertarik menghadiri event seniman tersebut.
"Dengan datang ke Makan Mayit, saya ingin menguji diri saya; seberapa jauh saya bisa tergiring oleh propaganda meski saya datang dengan kesadaran penuh bahwa semua adalah rekayasa. Kebetulan, tema kanibalisme juga salah satu ketakutan terbesar saya. Hiii. Tapi kan saya tau bahwa kita tak akan benar-benar makan orang," tulisnya.
"Rupanya Tontey dan tim begitu mahir membangun atmosfer sehingga saya pun perlahan tergiring propagandanya bahwa saya sedang makan yg tabu-tabu meski sebenarnya makan tahu. Di situ saya belajar tentang efektifnya propaganda -audio visual khususnya- dalam membentuk opini dan perspektif," lanjutnya.
Selain membeberkan alasannya, Kartika pun meminta maaf kalo foto-foto yang diunggah oleh proyek #Makanmayit tersebut memicu orang-orang yang memiliki trauma.
Siapa Natasha Gabriella Tontey?
Natasha Gabriella Tontey adalah seniman dan desainer grafis dari Jakarta. Cewek yang lahir pada tahun 1989 itu memang tertarik mengeksplor tema horor, teror, dan rasa takut. Pameran pertamanya adalah karya foto di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) pada 2008 silam.
Tahun 2015 lalu, karyanya pernah mejeng di Jepang. Selama 3 bulan di negeri Sakura, karyanya - yang juga bertema horor - tampil di Koganecho Bazaar.
"Saya sebetulnya datang tanggal 10 Agustus 2015 dan pulang tanggal 6 November 2015. Masa residensi dan masa produksi karya pada Koganecho Bazaar dimulai dari bulan Agustus sampai September. Kemudian tanggal 1 Oktober 2015 pembukaan Koganecho Bazaar sampai 3 November 2015. Semua ditanggung oleh Koganecho Arts Management Center, baik akomodasi, tempat tinggal, biaya hidup selama di sini dan ongkos produksi karya," katanya kepada Tribunnews.com.
"Pada proyek ini saya mencoba untuk merespon tema besar dari Koganecho Bazaar 2015 yaitu ‘Art Together with the Town’. Di sini saya mencoba untuk mengumpulkan ketakutan-ketakutan yang dihadapi atau dimiliki masyarakat setempat dan masyarakat Jepang pada umumnya. Kemudian dari data yang saya miliki saya gabungkan dengan cerita tradisional horor Jepang dan pengalaman keseharian saya selama residensi di Koganecho Bazaar, sehingga menjadi cerita baru," ujarnya.
Salah satu contoh karyanta adalah kisah tentang Bakeneko Yujo, di mana Natasha berimajinasi tentang alat untuk mendeteksi apakah Yujo yang ada di Koganecho adalah siluman kucing atau bukan.
Kemudian contoh lainnya adalah kisah tentang mainan tentara yang Natasha temukan di salah satu tempat sampah di Isezaki-cho, yang dimiliki oleh kakek tua veteran perang dunia kedua yang mengalami gangguan mental karena kehilangan teman-temannya pada masa perang.
Kakek ini mengoleksi banyak mainan tentara. Ia percaya bahwa roh teman-temannya hidup di mainan-mainan tersebut.
Well, mengutip kata-kata Kartika Jahja, setiap orang punya kebebasan untuk menginterpretasikan karya seni. Suka atau nggak, sah-sah aja. Kritik juga sangat penting bagi seniman kok. "Tapi buatlah sedikit effort untuk memahami sebelum berpendapat. Dengan berdialog, mungkin kita bisa berubah pikiran, atau sebaliknya si seniman yang mendapatkan perspektif baru. Kalo menghujat, ya nggak dapat apa-apa. Hehehe," katanya. (Tribunnews/Berbagai sumber)