Pada tanggal 14 November 2015, sebuah acara seni dibuka di sebuah gudang tua yang berlokasi di sekitaran Pancoran, Jakarta Selatan. Ya, Jakarta Biennale 2015, diadakan di sebuah gudang bernama Gudang Sarinah. Kala itu, insan kreatif muda-mudi Tanah Air kebingungan, dan mungkin bertanya-tanya. Gudang Sarinah itu apa? Lokasinya di mana?
Saat itu, nggak ada yang menyangka bahwa Gudang Sarinah bakal jadi tempatnya orang-orang kreatif baru. Pada waktu itu, nggak ada yang bisa menebak bahwa Gudang Sarinah akan menjadi “markas” baru dari ekosistem seni dan budaya di DKI Jakarta. Namun, hanya satu orang yang dapat melihat potensi gudang itu, yakni Ade Irawan, kurator seni sekaligus pendiri Ruang Rupa alias Ruru.
Nggak ada yang nyangka bahwa Gudang Sarinah bisa menjadi tempat berkumpulnya artis-artis independen dan tempat manggungnya musisi-musisi sidestream. Sampai pada akhirnya, Ade menemukan tempat yang luasnya mencapai 2,5 hektare itu, dalam keadaan “sekarat” dan terkapar tanpa busana.
Hal itu langsung diutarakan oleh kerabatnya Ade di Ruru, yakni Indra Ameng, yang namanya sering kalian dengar di acara-acara musik dan seni arus pinggir di Tanah Air.
Ia menjelaskan, awal mula kebangkitan Gudang Sarinah itu berawal dari Jakarta Biennale. Ade dan tim Ruru mencari ruang publik baru yang dapat dijadikan sebagai pusat seni dan kebudayaan. Tanpa ragu, mereka memilih Gudang Sarinah.
“Awalnya Jakarta Bienalle, itu yang nemuin si Ade. Ade bertemu dengan direkturnya Gudang Sarinah, melihat kondisi tempat yang seperti ini, di tengah kota dan luasnya 2,5 hektare, nggak kepake dan mati,” ujar Ameng ketika HAI temui di Gudang Sarinah beberapa waktu lalu untuk ngobrolin pembahasan musik sidestream di Indonesia.
Ameng mengaku, ia dan Ruru menyewa dan mengontrak seluruh ruang di Gudang Sarinah selama tiga tahun dulu. Ia akan melihat respon dan perkembangan tempat ini, kalau memang baik, ia nggak menutup kemungkinan untuk menambah masa kontraknya hingga lima atau 10 tahun.
“Ini mewah lho sebenarnya, apalagi kalau untuk dijadikan tempat kantong budaya dan jadi tempat pusat kreativitas. Ini kontrak dan sewa selama tiga tahun dulu, kita lihat dulu, ya wajar, kalo lihat perkembangannya kita bisa bangun lima sampai 10 tahun lagi,” paparnya menjelaskan.
Ameng bersama dengan Ruru tentu ingin beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Karena Gudang Sarinah sudah lama tidak aktif, ia ingin mempelajari bagaimana cara memperlakukan gudang itu agar dapat menjadi pusat berkumpulnya orang-orang kreatif baru.
Selain itu, Gudang Sarinah “dihidupkan” kembali nggak cuma untuk Ruru saja, namun juga mereka menyediakan tempat untuk organisasi-organisasi lain yang mau berkerjasama dan ikut ambil bagian dalam kegiatan di Gudang Sarinah. Tentunya, organisasi-organisasi itu harus bergerak di bidang kesenian dan kebudayaan, ya.
“Kita buat seperti laboratorium seni, ada tempat buat orang belajar, bisa nonton juga, bisa jadi tempat untuk ketemu juga, dan bisa terjadi berbagai kolaborasi, di sini nggak cuma Ruang Rupa aja.
Kota Jakarta itu harus punya tempat art center baru seperti Gudang Sarinah, gimana lo mau nyaingin 150 mall kan, harus punya tempat seperti ini yang sifatnya kebudayaan untuk orang kreatif.”
Dan jadilah Gudang Sarinah yang seperti kita kenal sekarang. Semoga selalu eksis ya!