Cerita PL Fair Pertama Tahun 1989. Pensi Bagus Tiketnya Cuma Rp 500

Kamis, 15 Desember 2016 | 06:00
Rizki Ramadan

Cem-ceman dame dari SMA 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan cowok-cowok PL Kalau periu sampai naik ke panggung.

PL Fair dikenal sebagai salah satu pensi sekolah yang paling ditunggu-tunggu. Selain selalu nyeleneh, pensi sekolah cowok-cowok ini selalu menyuguhkan penampilan yang “wah”. Jadi penasaran nggak sih, gimana awalnya pensi yang kini berubah nama jadi PL Project ini? Simak nih ceritanya.

Di tahun itu, kehadiran pensi menjadi sangat penting karena dianggap bisa jadi wadah ekspresi para pelajar SMA yang sebelumnya disalurkan secara menyimpang jadi tawuran. PL Fair jadi salah satu sekolah yang mencuat kala itu.

Nggak tanggung-tanggung, acara digelar 2 hari, bro! Sabtu-Minggu 16-17 Oktober 1989. Lo udah lahir belum tuh, bro? Soal tempatnya, so pasti di sekolah kebanggaan mereka di Brawijaya IV, Jakarta Selatan sana. Hari itu PL jadi beda banget. Gimana nggak, sekolah yang biasanya cuma dihuni cowok-cowok, saat itu jadi ramai cewek-cewek. Cakep-cakep pula.

Dengan tiket masuk Rp 500, para pengunjung bisa menyaksikan pameran, bazaar, dan tontotan aksi seni. Bermodal panggung 4x6 meter dan pengeras suara berkekuatan 4000 watt pertunjukan seni dari 11 SMA Jakarta dihelat. Beberapa sekolah yang ikutan adalah SMA Ora et Labora, YPK, Tirta Marta, Sumbangsih, Tarakanita, Triguna, Don Bosco.'SMA 6, SMA 34, SMA 78, dan SMA 82. Mereka tampil lewat grup musik atau kelompok tari.

Di venue, ada juga stand yang menjajakan jajanan. Termasuk stand perusahaan sponsor. Dan tahu nggak lo, saat itu tuh perusahaan rokok bisa ikut gabung di acara anak sekolah. Beda banget kayak sekarang!

Seperti PL Fair lainnya, tiap ruang kelas juga disulap jadi ruang pameran. Ekskul macam pecinta alam, jumalistik, fotografi, PMR, KIR, gerak jalan, dan kesenian pun digelar. Termasuk juga pameran desain produk PL macam kaos, emblem, bahkan pakaian seragam.

Dalam atmosfir pesta pelajar, siswa PL menghias gedung atau membungkus pepohonan dengan kertas koran yang diberi cat. Di antara ruang pamer itu ada seorang siswa yang melayani pembuatan gambar di kaos oblong dengan tarif Rp 5000. Ada juga yang pura-pura buta sambil menadahkan topinya. Keduanya dikerjakan dengan semangat 'menodong' kesukarelaan untuk menyumbang. Namun itu tetap dilakukan dengan semangat kegembiraan.

Beda kayak zaman Instagram sekarang, dulu nggak semua anak bisa nenteng kamera. Makanya di PL Fair ini ada panitia yang diutus menjadi mat Kodak alias tukang foto keliling yang siap dengan kamera polaroidnya. "Seribu lima ratus saja," ujar Mat Kodak saat menjajakan jasanya itu.

Dalam permainan ini, siswa kelas 1 diminta jadi volunteer dengan duduk di bawah 'guillotine'. Seorang lagi, dengan membayar Rp 250 (untuk dua bola) akan melempar papan penyangga ember berisi air. Kalau lemparan tepat sasaran, apa boleh buat, si volunteer pun akan tersiram air. (foto: Chris/ HAI)
Galang Dana untuk Eks Tapol

"PL Fair ini dibuat dalam rangka mengumpulkan dana untuk kegiatan bakti sosial di desa Deliksari, Semarang Selatan," ungkap Ibnu Nurzaman, Ketua OSIS SMA PL yang juga Ketua Panitia PL Fair.

Menurut rencana, sekitar pertengahan Oktober seluruh siswa PL (476 orang) akan melakukan live in di desa Deliksari, Semarang Selatan. Untuk ke sana, para siswa sudah membayar Rp 27.500 plus sumbangan wajib Rp 2500 per orang. "Uang itu akan digunakan untuk live in selama seminggu. Kami akan tinggal dan hidup seperti masyarakat di sana yang makannya Rp 250 per hari," ujar Ibnu yang biasa dipanggil Nono ini. Desa Deliksari dan Kalialang adalah dua desa yang dikelola Yayasan Soegijopranoto.

Menurut Nono, yayasan ini menampung para eks Tapol yang mengalami kesulitan bersosialisasi.

"Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh, penjual minyak, atau tukang becak." Oleh yayasan kata Nono, penduduk mendapat kredit tanah dan rumah bilik yang bisa dicicil sekuatnya. "Kita ingin mengembangkan motivasi mereka," kata Nono.

Rencananya, di desa yang berpenduduk sekitar 200 jiwa itu anak-anak PL akan membuat got dan jembatan. "Kami bikin sarana itu agar mereka yang kesulitan diterima di masyarakat tergerak meningkatkan taraf hidupnya." Nah, perongkosan proyek itu didapat dari keuntungan PL Fair. Berapa dana yang dibutuhkan? Sambil mengerutkan keningnya, Nono menyebut taksiran sekitar 4-5 juta perak.

Di balik itu semua. seperti diutarakan Nono, kegiatan ini juga ibarat pintu terbuka PL. "Selama ini orang tahunya kita adalah pelajar yang belajar terus. Saat bertanding pun diledekin, 'PRnya tuh belum dikerjain!' Makanya kami mengajak umum untuk melihat'langsung PL lewat PL Fair ini."

Kalau dikatakan bahwa kegiatan ini juga merupakan peluang buat cowok-cowok PL buat cuci mata, memang nggak salah. Dari keliling sana-sini banyak yang lantas kenalan dengan pelajar putri. Dan sebetulnya mereka sendiri tak terlalu menahan diri untuk takut diketahui sifat khasnya. Paling tidak itu akan kelihatan manakala kelompok cem-ceman dance muncul dengan penari-penari cewek kece dan seksi. Seluruh siswanya segera mendekat ke panggung dengan segala tingkah spontanintasnya. Barangkali ini memang lebih polos dan jujur untuk sebuah SMA cowok.

(disadur dari majalah HAI edisi 26 SEPTEMBER 1989)

Editor : Rizki Ramadan