Ryan Wayne White mungkin nggak menyangka, setelah kembali dari rumah sakit dan bersekolah, pihak sekolah malah nggak mau menerimanya lagi. Para orangtua murid dan guru memprotes kehadirannya.
Sebelumnya, dokter memperkirakan Ryan yang saat itu berusia 13 tahun hanya memiliki enam bulan untuk hidup dengan infeksi HIV yang ia dapat dari penangangan darah yang terkontaminasi. Walau sudah diberitahu bahwa Ryan nggak akan menularkan penyakitnya pada murid lain, sekolah tetap bersikukuh. Ryan di-DO karena HIV.
Itu kejadian tahun 1984, HIV/AIDS belum ada lima tahun sejak pertama kali ditemukannya, saat itu stigma negatif terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sedang meradang-merandangnya.
Untungnya, Ryan dibela lembaga dan media. Kejadian itu malah dijadikan tonggak penting penanggulanan HIV/AIDS. Ryan beberapa kali bersuara di media, bahkan pernah didampinig oleh Elton john, Michael Jackson, dan Phil Donahue.
Walau sudah diiringi banyak dukungan penangangan, penyebaran virus ini masih membanyak. Di Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan, hingga Juni 2016 ini jumlah kasus AIDS sudah mencapai 82.556, sementara HIV sudah ada 208.920 kasus.
Nyatanya, penanganan HIV/AIDS ini nggak cukup dilakukan dari aspek medis saja, tetapi juga sosial. Lilianne Ploumen, pernah menulis di kolomnya di Guardian, bukan kekurangan obat yang mencegah kita memberantas virus AIDS, melainkan ketidakadilan.
Maria, bukan nama sebenarnya, ODHA 22 tahun domisili Jakarta,bahkan setelah tiga tahun divonis terinfeksi HIV pun masih belum diterima dengan baik oleh keluarganya sendiri.
“Pakaian, piring, gelas, seprai, sampe baju saya yang dulu bisa tuker-ukeran,” Maria mulai bercerita, dengan suara bergetar, “sekarang dibedakan sendiri, dan itu berlanjut sampe saat ini. Kalo batuk pun harus pakai masker. Saya dikucilkan, ditaruh di kamar paling belakang,” cerita ODHA yang divonis positif HIV saat ia akhir 2014 lalu.
Terlebih, sekarang Maria dipisahkan dari anaknya walaupun anaknya terbukti negatif. Stigma bahwa Maria adalah anak muda yang pernah melakukan kenakalan dan hidup kelewat bebas pun masih belum lepas dari anggapan keluarga besarnya.
“Padahal saya kan nggak melakukan itu semua,” kata cewek yang tertular dari suaminya ini.
Juli lalu pangeran Harry, melakukan sesuatu yang bikin melotot senyum. Ia tes HIV di rumah sakit Burrell Street Centre, London. Seluruh prosedur tes yang ia ikuti disiarkan secara live lewat akun Facebook The British Monarchy.
Tujuan utama ia melakukan tes itu cuma satu, agar tes HIV nggak dikerubuti stigma negatif tertentu. “Jadi, siapapun kalian, mau cewek, cowok, gay, straight, kulit hitam, kulit putih, apapun deh, kenapa kalian nggak datang ke sini dan melakukan tes?”
Aksinya itu nggak salah kalau disebut terinspirasi dari ibunya, Diana. Di akhir 1980, saat banyak orang percaya HIV/AIDS bisa menular lewat interaksi biasa, Diana duduk di kasur ODHA dan memegang tangan ODHA tersebut. Momen yang kemudian dianggap penting bagi perjuangan menangani HIV dan penyakit menular lainnya.
HIV Nggak Menular Semudah Itu
Ini yang paling perlu diketahui. HIV/AIDS itu hanya menular lewat tiga media utama ini, perpindahan darah, cairan sperma, dan cairan vagina. Hingga saat ini, perilaku berisiko yang paling sering menyebabkan penularan HIV adalah hubungan seksual dengan ODHA tanpa kondom, tranfusi darah dari ODHA dan jarum suntik atau benda tajam lain yang pernah dipakai ODHA tanpa disterilisasi dengan benar.
So, jangan salah, HIV nggak menular hanya karena kita bersalaman, cium pipi, berpelukan dengan ODHA. Memakai peralatan sehari-hari kayak piring, gelas atau gayung yang sama pun nggak bikin kita tertular dari ODHA, begitu juga dengan berenang bersama.
Menikah dengan ODHA pun, nggak serta merta membuat kita yang negatif jadi tertular. Anak bisa lahir tanpa tertular. Asalkan prosesnya dilakukan dengan terprogram secara medis, yaitu saat keadaan sel darah putih dalam kondisi baik, nggak lagi mengidap penyakit, dan pasangan sedang dalam masa suburnya.Masa Hidup ODHA Juga Panjang Kok.
ODHA bisa hidup hingga puluhan tahun sejak ia divonis. Walau belum ada obat ampuhnya, tapi ODHA yang rutin meminum obat perawatannya, virus dalam tubuhnnya bisa dijinakkan. Gejalanya pun bisa teredam.
“Dengan minum obat, kadar virus di tubuh ODHA berkurang efeknya. Masa hidup ODHA pun bisa lebih panjang,” Brasco, nama samaran, penyuluh di Rumah Cemara yang juga ODHA.
Seluruh pengidap AIDS, perlu mengonsumsi senggaknya tiga obat dalam sehari: Efavirenz, Duviral, dan Neviral. Diminum 2-3 kali sehari tergantung kondisi ODHA di waktu-waktu istirahat. Maklum, obatnya memberi efek lemas.
“Obat yang diminum ODHA tuh buat mengurangi jumlah virus HIV AIDS yang ada didalam tubuh mereka,” kata George, nama samaran, ODHA 22 tahun. Seperti yang kita tahu, hingga saat ini para ilmuwan belum bisa menemukan obat untuk membunuh tuntas virus HIV/AIDS.
Berkerabat Dengan ODHA
Perlakuan orangtua Maria adalah kasus ekstrem. Nyatanya, kini masyarakat sudah mulai bisa menerima ODHA dengan baik. Tanpa diskriminasi. Maria pun kini tahu bahwa ia punya banyak teman yang mau menerimanya.
“Penerimaan terbaik justru datang dari teman-teman saya” kata Maria sambil tersenyum.
Ketika dia memberi tahu keadaannya, sahabatnya justru mendukung dan memberikan semangat kepada Maria. “Nggak ada sikap yang berubah dan perlakuan diskriminatif sama sekali. Kita masih sering minum dari sedotan yang sama bersama-sama, nggak ada yang berubah,” kata Maria sambil tersenyum.
Begitu juga dengan George, walau di awal keluarganya mengunkungnya dari berbagai aktivitas, kini ibunya malah menjadi lebih perhatian dari sebelumnya. Ibunya selalu mengingatkan George untuk minum obat dan menemaninya ke dokter, misalnya.
"Dulu itu informasi tentang HIV/AIDS sangat kurang, sehingga masyarakat jadi nggak bener dalam menghadapi ODHA. Namun, masyarakat sudah semakin pintar, mereka semakin tahu bagaimana penularan HIV/AIDS yang sebenarnya," jelasnya.
Para remaja juga menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah HIV/AIDS ini, terutama masalah stigma negatifnya itu. Rifqi Ramadhan, siswa kelas XII SMA, memang belum pernah kenal atau berteman dengan ODHA. Tapi doi yakin banget, bahwa ODHA tuh nggak boleh dijauhi.
“Gue sih bakal biasa aja kalau ada temen yang kena HIV. Gue mau semangatin aja hidupnya,” kata Rifqi.
Begitu juga dengan Dzabi. Sejak ia tinggal di rumah yang bersebelahan dengan pusat rehabilitasi ODHA mantan pecandu narkoba, ia makin yakin bahwa ODHA tuh nggak perlu dipisahkan.
“Gue kenal mereka. Nggak ada yang beda dari mereka. Kalau ketemu, pelukan juga nggak kenapa-kenapa. Nggak bakal menular,” kata drummer muda yang tinggal di daerah Potlot, Jakarta Selatan ini.
Bisa menerima ODHA sebagai teman, sahabat, dan keluarga adalah langkah besar. Setelahnya, ketidakadilan lainnya juga akan ikut tergerus. Beriringan dengan itu, penangangan kasus HIV/AIDS ini pun semoga semakin gencar dan berhasil.