Opini: Antara Bill Gates dan Tujuan Sekolah

Sabtu, 12 November 2016 | 02:00
Rizki Ramadan

Bill Gates

Pagi itu masih seperti pagi pada umumnya. Saya masih berkendara ke sekolah dengan motor pabrikan Jepang yang baru saja Ayah beli—tentu saja dengan mencicil. Begitupun saat saya masuk ke kelas, tetap disambut oleh simbol Garuda yang kira-kira hampir sewindu nggak dibersihkan, dan Senyum bapak Jokowi yang tertempel di dinding kelas.

“Pinjem bantal,” kata saya entah kepada siapa. Kemudian saya tidur di atas bangku yang disusun sedemikian rupa agar terbentuk seperti ranjang. Khas anak SMK.

Nggak terasa, jarum di jam dinding menunjuk ke angka 8. Saya terbangun, dan sudah ada Pak Furqon, Kepala Program sekaligus Guru Kejuruan saya sedang berdiri di samping meja.

“Sebentar lagi akan ada tamu penting yang akan berkunjung, jaga sikap kalian ya!” ujar beliau.

Saya nggak tahu jika hari ini akan ada yang berkunjung ke sekolah saya, dan, jadwal pelajaran hari ini pun saya ndak tahu.

Selang beberapa menit masuklah seorang pria dengan mengenakan kemeja biru muda, kaca mata bujur sangkar, dan sepatu pantofel hitam yang kelihatannya baru disemir.

Betapa kagetnya saya bahwa yang saya lihat di depan mata adalah salah satu orang terkaya di dunia ini, Bapak Bill Gates. Beliau berdiri disamping meja dan seolah memaksa saya terus mengarah kepadanya.

“Selamat Pagi semua! Apa kabar kota Depok?” sapa Bill .

Saya heran apakah saya yang sudah nggak waras atau memang Bill Gates begitu jenius hingga menguasai berbagai bahasa. Ah, ndak penting. Beliau kemudian memperkenalkan dirinya ke kelas saya, mulai dari makanan kesukaannya, kecintaannya pada komputer sampai alasan mengapa dia memutuskan untuk berhenti kuliah dari Harvard University. Teman-teman saya tampak antusias mendengar cerita beliau.

“Pak kalau saya mengikuti jejak bapak untuk berhenti sekolah, bagaimana?” ujar teman saya.

“Aduh jangan nak. Saya berhenti sekolah karena sudah di berikan kontrak oleh perusahaan, memangnya sudah ada perusahaan yang bersedia mempekerjakan kamu? He he he” jawab Bill Gates dengan santai.

“Sebenarnya apa sih tujuan kalian sekolah?” Bill Gates membuka pertanyaan.

“Buat dapet ijazah, Pak.”

“Lah jika untuk dapat ijazah kenapa nggak ikut paket C saja?”

“Takut dibilang bodoh, Pak”

“Jadi tujuan kalian ke sekolah juga buat dibilang nggak bodoh? “Coba tolong ada yang tahu isi hukum Snellius?” Bill bertanya lagi.

“Saya tahu, Pak” Ahmad menjawab dengan yakin,”Jika suatu cahaya melalui perbatasan dua jenis zat cair, maka garis semula tersebut adalah garis sesudah sinar itu membias dan garis normal dititik biasnya, ketiga garis tersebut terletak dalam satu bidang datar. Perbandingan antara sinar-sinar dari sudut masuk dan sudut bias adalah bias.”

“Bagus, sekarang coba kamu buat hal yang dapat kamu lakukan di kehidupan nyata dengan hukum Snellius itu,” pinta Bill.

“Wah, saya belum mikirin, Pak,” Ahmad mangkir.

Selebihnya, Bill Gates menguasai kelas dengan kata-katanya yang kemudia bikin kami sekelas meringis melamun.

“Terima kasih,” kata Bill,”Dengan ini saya bisa memutuskan kalau kalian itu ke sekolah hanya menjadi score hunter, pemburu nilai. Takut dengan nilai kecil akan kecil juga penghasilan kita di masa mendatang, seakan cita-cita setinggi langit yang harus dikejar dari hidup ini.

“Tujuan sekolah bukan untuk mengejar nilai tertinggi dalam kehidupan kita, kita sekolah tinggi untuk mendewasakan kita berpikir logis tentang ilmu yang kita kuasai di sekolah, kemudian diterapkan di dalam kehidupan.”

Mata Bill Gates mengarah pada saya, hanya sesaat sebelum dia kembali menyapu pandangannya ke seisi kelas, lalu lanjut berceramah lagi.

“Wahai penerus bangsa apakah tujuan kalian sekolah hanya formalitas saja? sehingga proses anda belajar nggak di nilai, yang dinilai hanya hasil, hasil dan hasil. Pernahkah kalian melihat video Pewdipie di Youtube kemudian kalian bilang ‘wah dia hebat, saya nggak bisa deh jadi seperti dia.’ Perkataan tersebut memang benar. Kalian nggak bisa seperti dia kalo di diri kalian gak ada niat jadi ahli beladiri. Begitu juga dengan Cristiano Ronaldo, dia datang lebih awal, pulang belakangan buat berlatih sepak bola, porsi latihan yang lebih dari teman setimnya”. Lanjut Bill, bobot ceramahnya memang berat, tapi kakek satu ini nggak pernah lupa senyum. Nada bicaranya pun nggak meninggi.

Ia melanjutkan, mereka yang sukses itu adalah mereka yang menikmati proses, dan berusaha keras.

“Apakah kalian pernah seperti itu? untuk mendapatkan nilai bagus, cara apa yang kalian tempuh? Menyontek atau dengan kunci Jawaban? Jika iya, selamat kalian adalah penikmat proses yang benar-benar payah. Ibaratnya, sistem sudah rusak, kalian ikut ikutan menambahi merusak. Hal ini menjadikan kalian membuat budaya baru yang buruk buat generasi berikutnya”.

“Apakah kreativitas kalian sudah membuahkan hasil? Sudahkah kalian berkarya buat negara kalian ini? Saling berlomba-lomba di dunia tanpa berkarya itu hanya bikin kalian tersingkir, jadilah orang yang kreatif dan jadilah orang yang jujur dalam berproses. Nggak ada yang menjamin nilai kalian bagus, lulus di terima di perusahaan ternama, gaji besar dan kebutuhan tercukupi. Hidup tak seindah itu.”

“Jangan biasakan menjadikan keterbatasan sarana sebagai hambatan. Coba bayangkan jaman saya dulu bagaimana, komputer di kota saya hanya ada satu yang berada di Universitas, karena saat itu komputer sangat mahal. Ketika orang tua dan teman-teman saya tertidur di malam hari, saya pergi ke Universitas belajar dengan komputer itu dan pulang sebelum orangtua saya terbangun. Lantas bagaimana dengan kalian. Masih mengeluh dengan apa yang sudah kalian punya?” tutup Bill.

Saya tercengang dengan apa yang sudah bapak Bill katakan.

Tiba-tiba saya merasakan kening saya menjadi sangat dingin, saya menutup mata.

Ketika saya membuka mata, teman-teman saya tertawa dengan terbahak-bahak. Ternyata dari pagi hingga jam istirahat saya tertidur, dan mereka menaruh es batu di kening dan atas resleting celana saya.

Astaghfirullah, ternyata saya cuma mimpi.

Kemudian saya duduk dan membersihkan sisa es batu yang berada di resleting celana saya, berjalan ke wastafel yang baru rampung kemarin sore. Saya membasuh kedua muka saya, kembali ke kelas. Mengambil buku tulis dan pulpen, lalu menulis:

“Apa sih tujuan saya ke sekolah?”

Saya kemudian mengetikkan kalimat itu di browser hape saya. Saya sangat suka dengan jawaban dari salah satu akun di Forum terbesar di Negeri ini. Isinya adalah :

“Buat apa sih sekolah? di sekolah diajarkan banyak sekali hal yang belum tentu di pakai di dunia nyata. Kenapa sih kita ndak belajar sesuai dengan yang kita sukai atau dibutuhkan saja untuk bertahan hidup?

Ternyata nggak sesederhana itu. Kita hidup di dalam sebuah negara yang punya kehidupan sosial seperti manusia. Punya teman dan juga lawan. Saling bersaing, saling mengalahkan dan juga saling menaklukkan. Apa yang dibutuhkan untuk sebuah negara bertahan? Segalanya. Sebuah negara harus mengatur dirinya sendiri sehingga menjadi kuat dan nggak diremehkan oleh negara lain, untuk itulah dibuat sistem. Pendidikan adalah bagian dari sistem itu yang mendistribusikan SDM bagi sistem yg lain seperti pertahanan, hukum, ekonomi dan sebagainya. Kegagalan negeri kita dalam hal pendidikan adalah nggak tahu pasti kemana arah negara ini akan dibawa. Apa yg dibutuhkan dan apa yg harus dipersiapkan. Seolah-olah negara hanya menyiapkan sekolah saja tanpa menyiapkan lapangan kerjanya, sehingga rakyatnya merasa nggak perlu adanya sekolah.

Penulis:

Bintang PD - SMKN 1 Depok

Editor : Alvin Bahar