Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 12

Rabu, 07 Desember 2016 | 12:00
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sambungan dari Part 11

12 RITUS MANDI

Aku tak percaya dengan yang berbau-bau klenik. Tapi, aku tak bisa menolak ketika kakak pembina menyuruhku berziarah ke makam raja. Pemakaman Pangeran Aria Wira Asmara bin Sultan Abdul Mufaqir Abdul Shomad adalah titik lokasi yang mesti kudatang. Beliau adalah keturunan Sultan Hasanudin. Menurut orangtuaku, almarhum Aria Wira termasuk dalam silsilah keluarga besar Fauna. Aku tak terlalu paham, apalagi mengetahui urutan detail kerangka keturunannya secara runut.

Pohon keluarga yang sedang dibuat dalam kertas putih berukuran besar oleh ayahku belum selesai. Dia berkeras mengabadikan keluarga besarku jauh dari atas. Walau Mpa serius untuk meriset dan mendokumentasi hubungan pertalian darah itu, namun aku tak begitu tertarik untuk mengamatinya. Nanti saja kalau sudah rampung, barulah aku akan mempelajarinya dan sekalian pamer ke setiap orang yang kutemui dalam petualangan.

Ritual mengunjungi makam sang raja itu harus dijalankan sebagai prasyarat mempersiapkan mental. Ah, itu hanya mengada-ngada saja pikirku. Aku curiga, kakak pembinaku yang satu ini pasti ingin mempersulitku saja. Dia ingin aku gagal menjalankan hal yang diprasyaratkan olehnya itu. Dengan begitu, aku tak bisa berkeliling dunia karena tak lulus melalui ujian dari kakak pembina.

Tapi, bagaimana lagi. Sekarang, aku coba ikuti saja. Selama hal yang dimintanya sanggup kulakoni, tak jadi masalah. Cuma ziarah saja, nggak ada yang rumit.

“Kalau sudah berziarah di Pandeglang, kamu mesti mandi malam,” titah Kak Suwono, pembina bertubuh tegap yang dikenal dengan sikap disiplinnya itu. Ia memang punya karakter sempurna. Selalu menginginkan adik-adik didiknya kelak punya talenta bagus.

“Terkadang aku memang suka mandi malam hari,” aku menegaskan bahwa hal itu mudah dan biasa saja untuk dilakukan. Apalagi kalau pulang larut malam ke rumah. Badan rasanya tidak enak, lengket kalau tidak mandi. Bukan sesuatu yang sulit.

“Bukan di rumah,” sergahnya. Wah, pasti ada yang tidak beres. Aku menduga tempatnya aneh dan menakutkan. Jangan sampai aku diarahkan ke tempat-tempat yang bikin bulu kudukku berigidik.

“Di mana, Kak?” tanyaku sementara kegalauan mulai menjalariku. Menunggu jawaban tempat yang akan diberitahu oleh kakak pembinaku untuk perintah mandi malam itu. Wajahnya menyimpan misteri, sampai-sampai aku dibuatnya deg-degan menunggu perkataannya.

“Kamu biasa ke sana, jadi kamu mesti berendam di tempat tersebut,” jelasnya tanpa menyebutkan nama tempatnya. Sungguh tak menjawab pertanyaanku. Aku terbiasa bermain di banyak tempat. Entah tempat mana yang sebenarnya dimaksud oleh kak Suwono itu.

“Benarkah? Jauhkah tempat itu, Kak?” tanyaku untuk kali kedua sambil berharap ia akan menunjukkan tempatnya secara gamblang. Aku butuh jawaban agar bisa segera menyiapkan mental.

“Di Istana Surosowan!” tegasnya. Benar sekali. Apa lagi yang terbersit dari tujuan seniorku meminta hal ini jika bukan hanya mempersulitku? Aku memang sering ke sana. Bermain bola, merenung, dan sebagai titik destinasi sekaligus tempat aku berlatih bersepeda. Tapi, kalau harus mandi tengah malam di reruntuhan istana, lain ceritanya. Ini akan jadi pengalaman pertamaku akan merasakan momen gila tersebut. Berendam di tempat sepi, yang ada aku akan mengigil dan bercumbu dengan para kecebong yang berenang di air keruh.

“Ditemani Kakak?” tentu aku ingin tahu lebih detail. Aku berharap demikian. Jika ada orang yang menjaga saat aku mandi rasanya bisa tenang. Minimal tak akan bosan. Setidakanya ada orang yang bisa diajak berbincang selama berendam di kubangan.

“Sendiri!” suara Kak Suwono agak meninggi dan jelas. Ia benar-benar ingin memberikan uji nyali yang sesungguhnya. Mengetes keberanianku dengan menyuruh untuk bermalam seorang diri. Terperanjat, mataku sebentar terpejam. Membayangkan apa yang akan terjadi. Hantu, pocong, tuyul, dan dedemit langsung berlarian di kepalaku. Bagaimana kalau mereka berunding dan sepakat untuk menakut-nakutiku? Bagaimana kalau mereka mengajakku berdiskusi dan pergi ke alam mereka? Ngeri.

Ah, itu hanya ilusi, semuanya hanya mahluk halus yang tak kasatmata. Tapi, tetap saja keberanianku kali ini sedikit ciut. Aku kaget saat Kak Suwono mengatakan bahwa aku harus seorang diri di antara kubangan air yang ditampung oleh kolam istana yang sudah tak terpakai.

“Hah...!” tercengang berkali-kali aku mendengarkannya. Kini mataku sedikit melotot. Bukan menunjukkan kemarahan yang ada, tapi menampilkan wujud ekspresi kekagetan tiada tara. Kak Suwono hanya tersenyum. Seolah hal ini biasa. Ia senang melihat rasa takutku nampak di hadapannya. Sepertinya ia puas sekali melihat adik didiknya berigidig mendengar ucapannya.

Tanpa ada yang menemani. Tentu saja kalau sendiri tak ada lagi orang yang ada di sisiku saat berendam. Kejam.

“Seriuskah kakak tercintaku?” rayuku sekaligus bertanya lagi, bagai seorang pesakitan yang sedang memohon untuk diberi amnesti. Aku tahu itu percuma saja. Ia tak akan menggubris permintaanku. Namun, apa salahnya berusaha? Siapa tahu ia akan meralat persyaratan itu.

“Ya, meskipun kau sendirian ke lokasi pemandian yang ada di Istana Surosowan, kakak akan tahu apa yang kau lakukan. Jadi, kakak tahu kau berendam atau hanya datang saja,” jawabnya penuh ancaman. Seolah ia adalah paranormal sakti mandraguna yang weruh sadurung winarah.

“Aku akan berendam. Pasti!” Aku yakin kak Suwono tidak punya indera keenam, apalagi bisa telepati, melihat dan merasakan semua aktivitasku tanpa kehadirannya. Bayanganku, dia pasti akan mengendap-ngendap, mengintip. Kemudian memantau dari jauh seorang anak pramuka yang sedang melakukan ujian aneh ini. Lalu, pada waktu-waktu tertentu, ia akan mendekat dan menakut-nakutiku secara tiba-tiba.

Bukan mandi malamnya yang menjadi masalah bagiku. Tapi, kolam persegi empat yang ada di tengah-tengah bangunan peninggalan portugis itu kotor sekali. Dahulu kala, airya pasti bersih bin bening. Kalau tidak begitu, tidak mungkinlah kolam itu digunakan sebagai pemandian para putri kerajaan. Kini, air kolam itu hanya berasal dari tumpahan hujan. Sudah begitu, semua dindingnya sudah dipenuhi lumut.

Apa daya, demi hormat kepada kakak pembina, dengan sedikit rasa terpaksa aku tetap menurutinya. Terjun secara perlahan ke kubangan air hujan dengan setengah telanjang. Tentu saja aku tidak membuka semua pakaian. Aku tak sudi jika kecebong-kecebong kecil yang ada di kolam itu menggigit kemaluanku. Aku masih perjaka tulen yang mesti dijaga pada saatnya kelak menemukan tambatan hati.

Walau harus merasakan dinginnya malam saat berendam, aku anggap ini sebagai latihan fisik dan mental. Aku berada di kubangan air setinggi dada. Kalau sudah bercampur dngan air, rasa kantuk sudah tak ada lagi.

Sesekali aku membenamkan kepala ke bawah agar kepalaku ini basah dan menjadi terjaga. Kemudian aku melipir ke sisi ujung tembok lainnya, mencari posisi yang nyaman untuk bersandar. Padahal tidak ada nyaman-nyamannya di sini. Gelap, hanya terdengar bunyi pergerakan air yang bersumber dari perpindahan tubuhku sendiri di sekitaran kolam. Lainnya, ada suara jangkrik dan desiran angin malam yang berasal dari pantai dekat pelabuhan.

Aku memandang ke sekeliling, hanya tembok-tembok yang membalas pandanganku. Untungnya bintang-bintang dan sinar bulan purnama yang ada di atas kepalaku setia menemani. Terang dan mengedipkan cahayanya. Aku berharap para penghuni di angkasa itu bisa menghiburku kali ini. Agar malam tak terasa kulewatkan dan pagi segera kujelang. Tapi, itu tetaplah ilusi. Waktu justru terasa berjalan sangat lambat. Begitulah bila kita sedang melakukan hal yang tak disukai. Apalagi bila itu mengandung risiko besar. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah dan coba tegar melewati uji nyali, merasakan sensasi mandi seorang diri tanpa ada sahabat yang menemani.

Aku mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela batu bata yang tersusun di ujung kolam pemandian. Kugunakan rerumputan itu untuk menyikat tubuhku. Tak ada sabun, rumput pun jadi.

Saat asyik membersihkan daki di sekujur dadaku, tiba-tiba ada suara kaki langkah manusia. Derapnya agak samar, namun semakin lama terdengar semakin jelas. Kini suara itu mendekat. Aku tengok ke arah baju yang aku letakan di atas bebatuan. Penglihatananku tidak rabun. Ternyata kak Suwono menghampiriku. Dia duduk sambil mengamatiku yang sedang bercanda dengan air.

Beruntung, baru satu jam berendam, kakak pembina sudah tiba. Jadi, aku tak akan ada di dalam air ini semalam suntuk hingga azan subuh berkumandang.

“Ayo naik!” seru Kak Suwono memerintahkanku untuk segera beranjak. Tangan kirinya melirik jam tangan.

“Sekarang sudah jam satu malam,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menawarkan bantuan agar aku segera meninggalkan kubangan. Juluran tangan kanan Kak Suwono tentu menjadi penentu akhir dari ujian mandi.

“Aku kira Kakak tak datang,” selorohku, bersikap tegar. Seakan aku mampu untuk menuntaskan aktivitas merendam diri hingga pagi hari.

“Aku tak tega membiarkan adikku berendam sampai pagi,” ucap Kak Suwono sambil mengeluarkan roti dari dalam tasnya. “Kau sudah makan?”

“Belum,” jawabku, pendek. Ternyata baik sekali kakakku yang satu ini. Sempat-sempatnya membawa makanan untukku.

“Aku salut,” pujinya. Tapi, jangan terlalu senang dulu. Pujian adalah ujian. Kalau aku bersikap tinggi hati, Kak Suwono pasti akan memberikan tes-tes lainnya lagi tanpa henti. Tentu saja hal itu tidak aku harapkan sama sekali.

“Terima kasih, Kak,” aku mengunyah makanan pemberiannya. Nikmat sekali, sejak kemarin aku tak menemukan makanan seenak ini.

“Bukan lamanya kau berendam di sini. Aku hanya ingin melihat kejujuranmu mengikuti kesepakatan yang kita buat,” jelas kakak pembina yang juga guru SMP 3 Serang itu. “Dingin dan menyeramkan. Cuma dua itu saja yang aku rasakan.” Aku tersenyum dan meraih handuk yang dibawa oleh kakak pembina. Untung aku membawa pakaian ganti, jadi hawa dingin yang menyelimuti tubuhku tak berkepanjangan menusuk tulang.

“Kamu punya mental yang cukup. Tapi, belum lebih dari cukup,” lanjutnya. Kalimat itu tentu saja menghiburku, tapi belum genap menghibur sepenuhnya. Ini pasti ada kelanjutannya. Tidak hanya berhenti pada ujian mandi malam-malam saja.

Kami berdua terduduk di pinggir kolam. Ia berbicara soal mental. Ya, mentalku harus matang. Aku sadar, di luar negeri nanti akan menemukan banyak hal baru. Menantang, beradaptasi dengan alam dan harus merasakan kondisi yang lebih parah dari sekadar berendam di kolam penuh mistis.

Aku juga tahu, nanti aku akan menemukan suasana tak biasa dan berbenturan dengan budaya yang selama ini dianut. Pola pandang dan sistem kehidupan sosial dalam suatu kelompok di sana pasti tidak akan sama. Jangankan jauh di negara orang, di sini saja wilayah satu dengan sudah tampak berbeda. Gegar budaya adalah hal yang pasti kuhadapi saat berada di negeri dengan budaya yang benar-benar berbeda. Tak kuat menghadapinya, aku akan mengalami mental break down.

Ya, fisik dan mental. Keduanya adalah poin utama yang terus dilatih selama persiapan ini. Rutin, penuh perhitungan dan serius menjalaninya. Untuk menggenjot fisik, bekalku adalah aktivitas mengayuh sepeda, beradaptasi dengan alam, serta menahan lapar dan dahaga. Aku jadi teringat perkataan Mpa pada saat sarapan pagi bersama. Beliau mengatakan, berlatih perang bagi seorang militer ada kalanya jauh lebih berat daripada berada di medan perang yang sesungguhnya.

Dalam hal menggembleng mental, berendam malam-malam di Istana Surosowan ini semoga saja lebih berat dibandingkan ujian yang kelak kutemui di negeri orang. Hal itu tentu menjadi cambuk sekaligus penyemangatku. Itu juga menjadi patokan agar terus berlatih keras tanpa mengenal lelah. Memang mudah sekali teorinya aku ucapkan, namun sulit untuk dijalankan.

Mental itu berhubungan dengan nyali dalam menghadapi apa pun yang terjadi. Selain itu, tentu harus ada kecermatan, kewaspadaan, dan kedisiplinan yang mesti tersemat dalam jantungku. Itulah modal utama yang menjadi kesimpulan obrolan kami di Istana Surosowan. (*)

Oleh: Edi Dimyati

Editor : Alvin Bahar