PENULIS: JEANETT VERICA/ RIZKI RAMADAN
Ngomongin Sneakers, Vans bisa jadi satu-satunya brand klasik yang cepat ngetop lewat jalur non basket dan atletik. Bahkan dalam perkembangannya, brand ini juga makin populer berkat para pengusung musik cadas di Amerika Serikat. Tapi, sneakers Vans lebih dulu nempel dengan dunia skateboarding. Seperti yang terlihat di logo "Off The Wall"-nya, Vans, memang besar di scene skateboarding. Walaupun di Indonesia belum semasif di negara Paman Sam scene skateboardingnya, tapi paling nggak beberapa di antara kita udah kena terpa perjalanan sejarahnya lewat film. Dan Vans tampil di sana.
“Sejak SMA gue suka banget nonton video-video skateboarding gitu, salah satunya Lord of Dogtown. Dari situ gue terinspirasi untuk memakai sepatu yang dipakai oleh para skater. Ditambah lagi gue juga suka musik, jadi gue cari lah sepatu yang mereka pakai. Menurut gue Vans itu street wear yang paling asik. Desainnya seru dan spesial. Karena itu, gue suka Vans,” kata Achmad Asri Anugra, atau akrab disapa Ai' Anugra.
Ya, berawal dari kesukaannya terhadap dunia skateboard dan musik alternatif, banyak anak muda jadi menggilai Vans. Sayang, saat Ai SMA, peredaran Vans masih jarang. Ai pun hanya bisa membeli Vans versi KW-nya. Di perkuliahan, kecintaannya terhadap sneakers langka itu masih ditutupi dengan menggunakan sneakers merk lain, Converse. Hingga akhirnya sejak 2009, setelah Ai sudah memiliki penghasilan dari kerjanya sebagai auditor, kecanduannya terhadap sepatu Vans ia turuti. Satu persatu sepatu Vans rilisan spesial ia buru dari forum komunitas maupun online shop skala internasional.
Walau pun kini Vans sudah membuka gerai resminya di beberapa mal di Indonesia, Ai ngaku hanya satu-dua kali membeli Vans dari sana. “Vans yang untuk gue kasih ke pacar gue doang kayaknya yang beli dari official store Vans indonesia,” celetuk cowok 29 tahun ini.
Maklum sih, sepatu-sepatu Vans rilisan spesial yang diburu Ai nggak dipasok oleh PT Gagan Indonesia, distributor resmi Vans di Indonesia. Mau nggak mau, Ai harus mendapatkannya dari luar negeri, dengan konsekuensi tambahan biaya kirim pastinya.“Vans pertama gue tuh Vans Oldskool. Beli di Kaskus. Setelah itu jumlahnya nambah terus, jadi banyak,” lanjut Ai.
Jumlah sepatu Vans milik Ai kini nggak kurang dari 30. 20 pasang ia taruh di kosnya, di Setiabudi, Jakarta Selatan. Sisanya ia taruh di rumahnya di Bekasi. Sepatu-sepatu yang ia anggap spesial selalu ia taruh dalam boxnya, ditumpuk di atas lemari. Sepatu yang kemungkinan sering dipakai di pajang di rak sepatu luar kamarnya.
Alasan utama Ai menyukai Vans selain karena gayanya yang street banget, Vans tuh memiliki rajin banget mengeluarkan edisi spesial. Vans bahkan sampai membuka dua lini lainnya selain yang versi general release. Ada Vans Syndicate, lini yang kerap mengajak band, skateboarder, serta street artist berkolaborasi, ada juga Vans Vault untuk kolaborasi dengan butik-butik fashion ternama.
Ketika ditanya koleksi Vans mana yang paling ia favoritkan, Ai kelimpungan menjawab. Maklum, semua koleksinya pasti punya nilai atau ceritanya masing-masing. Vans Supreme Power Corruption and Lies misalnya, sepatu yang desainnya mengambil dari desain album band pop New Order bertajuk sama, Power Corruption and Lies yang dibuat oleh seniman Peter Saville, itu Ai dapatkan dari sebuah forum online seharga USD 180 atau sekitar Rp 2 juta, lebih mahal dari harga resminya yang hanya USD 116. Tapi pastinya tipe Vans yang wajib di miliki Vanshead udah ada di lemarinya.
“Gue emang suka sama New Order. Jadi pas Vans sama Supreme kolaborasi rilis Vans ini pasti gue beli,” kata Ai. Vans edisi musik lainnya yang Ai punya adalah Vans Metallica, Vans Pixies, Slayer, dan Vans H20.
Ai juga gandrung terhadap Vans dengan desain khas ciptaan seniman dan butik tertentu. Vans garapan seniman Jepang bernama Taka Hayasi saja Ai punya lebih dari tiga, salah satunya adalah Vans desain motif dengan bahan wol hasil kolaborasi Vans dengan produsen wol di Amerika, Pendleton. Desainnya dibuat oleh Taka Hayasi.
“Gue punya dua jenis Vans Paddleton, beda warna doang sih. Waktu itu gue beli sekitar Rp 3 jutaan,” papar Ai.
Ya, Ai juga nggak jarang membeli lengkap varian dari suatu edisi Vans. Selain edisi Vans x Paddleton itu, Ai juga memiliki dua varian edisi kolaborasi Vans dengan butik DQM dan label rekaman Blue Note. Begitu juga dengan Vans edisi New Order tadi, Ai berniat untuk membeli yang versi Chuka dan Sk8-Hi, “Gue bakal cari vinyl album itu juga. Terus bakal gue pajang bareng sepatu-sepatunya. Jadi memorabilia.”
Kecintaannya terhadap Vans suka bikin Ai nggak bisa nahan diri. Tiap kali nemu Vans yang ia incar dan ukurannya sesuai, Ai bisa langsung memesannya. Saat masa-masa impulsifnya, pernah tuh dalam satu bulan Ai beli empat sepatu sekaligus. Semua datang di hari yang sama.
“Tiap ada yang bagus gue beli. Suka nggak mikir. Dan gue sering impulsif, tiba-tiba beli. Beberapa bulan lalu aja gue beli tiga langsung,” kata cowok yang beberapa kali ditegur sama ortunya dan pacarnya karena kelewat sering jajan sepatu ini.
Seperti yang bisa ditebak, sepatu-sepatu koleksi Ai itu banyak yang bernasib menjadi pajangan ketimbang sebagai alas kaki. Maklum, Ai jarang banget memakai Vans koleksiannya yang edisi spesial, ada beberapa yang malah belum pernah ia pakai sekalipun.
Tapi, walau begitu, Ai selalu menempatkan Vans sebagai prioritas utamanya ketika memilih sepatu.
“Selain untuk kerja dan olahraga, gue akan pakai Vans. Bahkan, ke undangan pernikahan pun gue pakai Vans,” kata Ai. Vans andalan Ai untuk ke pesta itu adalah Vans Derby.
Bagi Ai, mengoleksi Vans nggak ia anggap sebagai investasi finansial. Betapapun langka koleksinya, Ai nggak kepikiran untuk menjual Vansnya demi uang doang.
“Kalau orang lain mendapatkan kepuasan dari travelling, atau dugem misalnya. Gue mendapatkan kepuasaan dari mengoleksi Vans. Bukannya sombong, tapi gue nggak pernah nyesel sih udah ngeluarin banyak uang untuk Vans. Toh, gue bukan tipe yang pamer koleksian gue di media sosial sekali pun,” kata pemilik akun Instagram @Aianugra ini.
"INVASI" VANS DI RI
Kalo ditanya kapan tepatnya Vans mulai ada di negara kita, jawaban pastinya adalah jauh sebelum brand ini buka original store-nya di Jakarta. Tentunya masuk lewat jalur kolektor dan pebisnis yang membelinya dari luar negeri untuk kemudian dijual lagi di sini. Tahunnya pun masih sekitar 1990-an, dan penyebarannya masih di kalangan tertentu aja. Pastinya, juga nggak jauh-jauh dari kehidupan permainan skateboard, atau kehidupan para pecinta musik independen. Lantas, bagaimana sebenarnya kisah perjalanan Vans hingga bisa melebarkan sayap dan menyiarkan influence-nya ke dalam negara kita?
“Sebetulnya kalau tahun 1970-an atau 1980-an, gue nggak bisa banyak bicara lah ya. Karena gue nggak setua itu juga. Tapi kalo kita bicara tahun 1980-an akhir dan tahun 1990-an, gue bisa banget bicara. Itu zamannya gue, zamannya gue masih muda banget. Emang zamannya gue nyari sepatu Vans juga. Tahun-tahun segitu, yang make Vans hanya anak skate, anak band, anak BMX juga, dan anak-anak yang berkecimpung di scene musik independen,” jelas Claude Hutasoit, salah satu pentolan skate berusia 38 tahun, yang HAI ajak ngobrol beberapa saat lalu di salah satu arena permainan skateboard di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Pria yang kemudian akrab disapa dengan panggilan Bang Claude ini kemudian menegaskan, kalau pengaruh skena musik punk, hardcore, serta indie, atau british music di Indonesia, sesungguhnya amat berdampak pada ‘invasi’ Vans ke Indonesia. Pasalnya, alas kaki yang digunakan oleh jagoan-jagoan di aliran musik tersebut nggak lain datang dari merek sepatu Vans. Maka selanjutnya, kita tentu nggak boleh heran kalau anak-anak Indonesia, yang mendengarkan dan menyaksikan penampilan dari band-band idolanya, jadi tertarik untuk mengikuti gaya sang musisi favorit, termasuk dengan gayanya mengenakan sepatu Vans.
“Sejauh yang gue inget, detil yang paling gue inget terakhir adalah, di salah satu video clip-nya Blur, Damon Albarn itu emang pake sepatu Vans Oldskool, kalo nggak salah itu di video clip Parklife. Nah, menurut gue, video clip itu yang membuat anak-anak sini, yang suka dengan indie, indie-indie British gitu, menggunakan Vans,” cerita Bang Claude dengan penuh semangat.
Berarti, masuknya Vans di Indonesia rasanya nggak bisa dilepaskan begitu saja dari roots-nya, yakni skena musik punk, hardcore, atau musik independen. Karena kalau dikaitkan dengan contoh kasus Blur tadi, tentu skena musik tersebut jadi salah satu faktor yang turut ambil andil dalam menyebarkan ‘virus’ Vans ke Tanah Air.
Satu lagi jalur invasi brand ini di tanah air adalah dari budaya pop Jepang yang bisa dikonsumsi kawula muda lewat majalah-majalah impor.
Dibandingkan dengan pemakai yang berasal dari ranah skateboard dan musik, rupanya ada juga yang terpengaruh oleh style fashion Jepang. Meski jumlahnya jauh lebih dikit, tapi mereka adalah orang-orang yang memang suka fashion, banyak membaca buku atau majalah yang memang menjadikan gaya Jepang sebagai referensi.
“Yang menyukai itu sih, sangat sedikit. Bener-bener nggak nyampe deh 50 orang di Jakarta, dulu. Mungkin hanya 20-an kali ya. Yang into banget. Gue pun akhirnya dikenalin sama salah satu orang, dan ternyata gue baru ngeh, memang ternyata ada orang-orang yang into Vans karena si fashion Jepang ini, bukan karena si skate atau musik. Jadi dari segi fashion-nya, gitu,” ungkap Bang Claude lagi. “Dengan lo lihat sekarang Vans udah ada di mana-mana, ya itu efeknya si streetwear itu. Dan of course efek skateboard-nya sih yang utama, masih tetap roots-nya itu.”
Faktanya memang, kehadiran yang dibawa oleh arus streetwear Jepang itu sama sekali nggak mengganggu atau bahkan mempengaruhi pemakai yang datang dari kalangan skateboard atau musik. Mereka cukup nggak peduli sama gaya Jepang itu, karena mereka sesungguhnya menganggap Vans sebagai sneakers yang memang fungsional untuk dipakai bermain skate. “Dan kita pakai juga buat manggung. Manggung kan lo juga lompat-lompat segala, ya lo kan band-band hardcore dan punk, kan pasti (Vans itu) rusak juga pada akhirnya,” timpal Bang Claude.
Malah, hubungan Vans ini dengan penjualan di sini sempat mengalami masalah. Pas awal kemunculannya lewat para reseller di tahun 2000-an awal, Vans sempat mempermasalahkan soal hak cipta dan menghentikan jalur distribusinya ke Indonesia. Fakta-fakta ini kami himpun juga dari Surya (salah satu pendiri Penny yang menjual Vans original sejak tahun 2010), Max Praditya (pemilik Crooz, yang sekarang menjadi official partner dari PT Gagan Indonesia –distributor resmi Vans di Indonesia), dan Bang Claude sendiri.
“Jadi ada orang yang bikin merek lain. Dia tuh ngejiplak VANS banget, sama dia tuh di-hak ciptain gitu ya. Akhirnya sama VANS luar ketahuan, mereka berhenti supply VANS ke sini, dan mereka bawa ke pengadilan. Pengadilan berapa tahun nggak beres-beres, sampai akhirnya beres, (VANS) diambil sama perusahaan baru di sini. Dan ya VANS yang kita lihat sekarang, ya udah VANS yang udah di mana-mana. It’s everywhere now,” beber Bang Claude dengan teramat rinci.
Akhirnya, Vans hadir lagi di Indonesia tahun 2013 dengan membuka original store pertamanya di Kota Kasablanka. Lisensinya dipegang oleh PT Gagan Indonesia. Namun, beberapa tahun sebelumnya, sekitar 2010 udah ada beberapa toko sepatu alternatif di Jakarta yang menjualnya. Surya Adi Sisyanto, seorang anak band yang kerap menggunakan sepatu Vans saat manggung, pun nggak luput dari kesulitan yang mungkin dialami juga oleh banyaknya pemakai lain. Dipadukan dengan niat untuk bikin bisnis, Surya dan beberapa orang teman kuliahnya pun menjadikan kondisi-sulitnya-memperoleh-Vans ini sebagai peluang usaha. Yap! Sejak tahun 2010, Surya resmi membuat brand Penny yang awalnya dikenal dengan sneakers shop, dengan produk andalannya, the one and only, Vans
“Awalnya kan, karena kita baru lulus kuliah, ngeband-ngeband, mikir wah seru bikin bisnis. Akhirnya mikir bikin bisnis apa ya, kita bikin sneakers shop deh. Ya udah, saat itu awalnya kita berlima sama-sama sangat berusaha nyari Vans kalo di sini. Terus ya udah, kita bikin tokonya aja, orang-orang kan susah nyarinya,” kenang Surya.
Meski sekarang di bawah brand Penny telah hadir banyak produk lain yang berasal dari merek-merek yang nggak cuma Vans aja, toh keterlibatan Penny dalam menghadirkan VANS di Indonesia, nggak bisa diabaikan begitu aja. Padahal, terpilihnya Vans sebagai produk utama yang dijual oleh Penny, bukan semata-mata karena kecintaannya aja, tapi juga terbentur masalah modal.
“Orang mungkin mikirnya, toko kami spesialis Vans. Padahal nggak, alasannya karena modal juga. Kami kan modalnya dikit. Mending kita fokus ke satu brand, dan kita juga suka,” tutur lelaki berusia 30 tahun ini.
Tentunya, Penny nggak bisa juga dibilang sebagai satu-satunya usaha yang mempermudah hadirnya produk original VANS ke Indonesia. Selain Penny, ada juga Crooz yang di saat bersamaan, juga turut menjual produk VANS yang dibawanya dari berbagai negara. Jepang, Filipina, Singapura, atau Malaysia adalah beberapa negara yang dikunjungi oleh Max Praditya, owner dari Crooz, untuk membeli produk VANS.
“Crooz dibuka tahun 2003, namun kita mulai jualan VANS itu di sekitar 2010-an lah ya. Cuma dulu kita beli VANS itu kebanyakan di luar. Ada beberapa yang limited juga kita ambil, dan beberapa dari Amerika juga,” cerita Max.
Nggak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Max dengan Crooz-nya, Surya dengan Penny-nya juga mesti berburu sepatu VANS hingga ke Singapura, bahkan ke Hong Kong. Ia pun sempat harus berurusan dengan cukai, lantaran jumlah sepatu yang dibawa juga dalam partai gede.
“Kita bawa kan yang bener-bener 50 pasang, berdoa aja kalau nggak akan ketangkep. Begitu terus, tapi akhirnya karena kita traveling gitu, kita kenal sama koneksinya, sekarang semua udah ada koneksinya, terus tinggal kita mau apa, dan ada temen yang mau bantuin sih tentunya, gitu,” curhat Surya.
Sejak berdiri pada Mei 2013 di Kota Kasablanka, Vans original store sudah punya 12 store resmi. Tersebar di 6 kota, yakni Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta.
Terus, pertanyaan selanjutnya, gimana sama nasib-nasib toko yang menjual VANS original setelah masuknya toko resmi pegangan PT Gagan?
“Ya syukur-syukur kalau Vans akhirnya diakui di Indonesia. Dari awalnya kita bikin (Penny) terus booming, mungkin akhirnya mereka mikir, ‘wah ini bisnis nih’. Kita seneng lah. Kita bisa beli dari sini aja, nggak perlu repot-repot pergi,” tutur Surya yang emang sekarang jadi sering memasok produk VANS dari distributor resmi.
Berhubung Penny sekarang juga nggak cuma jual produk Vans, maka kehadiran Vans resmi sebetulnya nggak terlalu berpengaruh kalo ngomongin pendapatan. Emang sih, jumlah sepatu Vans yang dijual sama Penny mengalami penurunan, tapi nggak sampe hilang sama sekali, kok. Malahan, masih banyak juga yang memilih buat beli di Penny. Kenapa?
“Mungkin dulu (bisa jual) 150-200an pasang (dalam satu bulan). Karena dulu masih murah juga. Kalo sekarang, ya paling 80-100an pasang. Dan masih ada (yang beli dari sini juga), karena lebih murah. Kita ngeliat dulu tipe apa yang dijual di pasaran, terus kita cukup ambil yang Classic Canvas. Nah, kalo untuk yang aneh-aneh, biasanya kita ambil sendiri (dari luar). Terutama Vans Jepang selalu beda sendiri. Karena hanya dijual di Jepang doang,” lanjut Surya.
Sebagai salah satu penjual VANS yang udah famous, Penny juga nggak ketinggalan informasi kalo emang ada sepatu Vans special edition. Alih-alih cuma bisa dicari di toko resmi, toko-toko macam Penny dan Crooz juga pasti punya produk yang diincar banyak pecinta Vans. Jadi, mereka tetep bisa mempertahankan customer lama-nya.
Crooz sendiri, malahan udah diajak jadi partner-an sama PT Gagan Indonesia. Semua lantaran Crooz sendiri cukup eksis berjualan VANS. “Ya, mereka coba approach ke kita, karena mereka akhirnya ada program di beberapa kota besar di Indonesia. Mereka pengen punya reseller di luar mereka sendiri. Tapi satu kota satu reseller doang, akhirnya udah setahunan lebih (sejak 2015), kita akhirnya sama PT Gagan. Resmi buat jadi reseller-nya Vans di Jakarta,” beber Max.
Setelah digandeng resmi, nggak heran kalo model di Crooz sama model Vans di toko-toko resminya pun kadang ada banyak yang sama. Tapi emang, ada beberapa juga yang dibedain, tergantung kesepakatan dua belah pihak. Untuk modelnya sendiri, selain udah pasti menjual produk Vans Classic, yang dilempar ke Crooz juga adalah produk-produk seasonal yang kerap terus berubah. “Ada yang sama, ada yang dijanjiin juga kalo (produknya) lebih ke kita (aja), karena kan kita dianggap sebagai penggerak community-nya kalau di Vans, cuma ya seasonal-nya kadang-kadang ada di kita, kadang-kadang ada di mereka. Gitu,” lanjut Max.
Satu faktor lain yang bikin Crooz bisa mempertahankan penjualan Vans-nya sampe sekarang, adalah customer engagement. Gampangnya gini, menurut Max, ada banyak anak muda yang nggak mall-oriented alias jarang ke mal. Buat mereka, toko itu ya yang punya jualan streetwear, ada community gathering-nya, plus ada nongkrongnya. Dan semua itu, nggak dimiliki sama toko resmi yang ada di mal. Maka, customer Vans pun jadi nyebar. Ada yang ke Crooz, ada yang ke mal, dan mungkin ada yang ke tempat lain juga. “Karena kan ujung-ujungnya waktu mau beli, kebanyakan barangnya sama juga antara yang di sini dan di mal. Kenapa mereka harus ke mal?” tanya Max.
Nah menariknya, Vans yang kelihatan terus menggeliat dan menggairahkan seakan bikin banyak pihak nggak mau kalah untuk ikutan terjun ke dalamnya. Buktinya, Max sendiri ngaku masih ada banyak reseller Vans original lain yang bermunculan. Lucunya, sebagian dari reseller itu ngambil barangnya juga ada yang ke Crooz.
Sebenernya nggak masalah. Tapi yang jadi soal adalah, harga yang dilempar di pasaran oleh para reseller tersebut pasti jauh lebih tinggi dari price yang sebenernya dijual sama distributor resmi atau sama Crooz. Solusinya ya, Max yang nggak mau kalo barangnya banyak jatuh ke tangan reseller, memutuskan untuk membatasi jumlah pasang sepatu yang bisa dibeli sama customer. “Kita itu kewalahan. Bukannya kita nggak mau ada sales, cuma kita selalu mikir caranya supaya Vans itu nggak banyak jatuh ke reseller. Karena memang kita pengennya customer Vans itu bisa beli dengan harga normal di kita,” curhat Max menanggapi kondisi pasar Vans yang dia hadapi.
Well, ternyata pesona Vans emang segitu gedenya, sih, di Indonesia. Sekalipun harga yang dilempar oleh reseller selain Crooz cukup tinggi, toh, masih banyak juga yang tetep mau beli. “Karena begitu banyaknya (yang minat sama Vans), jadi supply and demand-nya belum balance. Demand-nya itu jauh lebih banyak, sehingga orang-orang yang mau beli Vans itu ya beli ke reseller tadi itu. Walaupun udah ditahan-tahan (sales-nya), kejadiannya masih aja begitu terus.” timpal Max.
FROM CYBER TO BROTHER
Balik lagi ke masa di mana sneakers Vans sulit ditemui, geli rasanya kalo ngebayangin perjuangan orang untuk mendapatkannya. Salah satu caranya adalah dengan . membuat thread di forum online, tepatnya Kaskus. Adalah Adityos Satryo, pemuda yang tercatat sebagai thread starter-nya. Diberi judul The Story of Vans, thread yang ada di kategori Fashion, Lifestyle itu, dimulai dengan memaparkan sejarah lahirnya Vans. Cerita inspiratif dari Paul Van Doren mendominasi first post diskusi tersebut.
“Awalnya, Adityo tuh bikin thread tersebut untuk melengkapi tugas kuliahnya. Dia pengen bikin marketing plan, dan pengin tahu gimana pasarnya Vans di Indonesia,” cerita Stefanus Andriano atau Andre, yang kemudian ditunjuk sebagai pengurus bagian humas komunitas Vanshead.
Satu persatu respon berdatangan dari para Kaskuser baik yang sudah mengetahui Vans sebelumnya, ataupun baru mulai ingin mendalaminya. Dari situ, interaksi mulai bergeliat. Obrolan serius macam pembahasan tentang brand dan cult dari Vans, ajakan untuk berjualan Vans ori dengan mengimpor dari Amerika, memodifikasi Vans di www.vans.com hingga pertanyaan ringan tentang tingkat keaslian sepatu Vans yang ingin dibeli dari suatu online shop, berputar di sini.
Saking banyaknya obrolan yang terjadi, thread ini pernah mencapai batas jumlah halaman hingga nggak bisa menampung posting apapun. Pada April 2013, moderator Kaskus pun meminta penghuni thread pindah ke “rumah” baru. Hingga tulisan ini dibuat, thread baru tersebut sudah mencapai halaman ke-325.
Tentu, tak puas dengan sekedar ngobrol virtual, saja. From cyber to brother. Akhirnya para penghuni forum tersebut menginisiasi acara kopi darat (kopdar). Kopdar pertama, akhir 2013 lalu, dihadiri 6 orang. Kopdar kedua, nggak lebih dari sebulan setelahnya, dihadiri 15 orang. Dari hasil dokumentasi foto yang di-post di thread, anggota-anggota di daerah lain pun terpicu untuk membuat pertemuan serupa.
Komunitas virtual itu pun akhirnya menamai diri: Vanshead. Akhiran –head memang biasa digunakan untuk menyebut para pehobi suatu hal. Persis seperti pencinta Harry Potter yang menamai dirinya Potterhead. “Saat Vans Indonesia meresmikan official store-nya di mal Kota Kasablanka, Jakarta, kami berkumpul lagi dan sekalian membuat struktur organisasi. Ada 6 pengurus inti, termasuk gue,” cerita cowok yang pernah melakukan penelitian tentang komunikasi virtual komunitasnya ini.
Selanjutnya, tanpa meninggalkan interaksi di Kaskus, Vanshead mendirikan “markas” baru. Pertama, website resmi, Vanshead.com, yang tak hanya menampung rangkuman diskusi di thread, tetapi juga menjadi media pengabar segala perkembangan terbaru dari industri Vans. Mau tahu kolaborasi terbaru Vans? Di Indonesia, Vanshead.com siap menjadi yang pertama menyuguhkan beritanya.
Kedua, akun media sosial. Di Instagram, akun mereka, @vansheadid—hingga artikel ini dibuat–sudah bisa mengumpulkan 48 ribu penyuka Vans untuk mem-follow. Lewat IG-nya, Vanshead tak hanya memberitakan kabar terbaru dari Vans dan komunitas, tetapi juga mewadahi followers-nya untuk unjuk kecintaannya terhadap Vans, dengan membuat ajakan berbagi foto Vans lewat program What (Vans) Are You Wearing Today? ( #WAYWT ), misalnya. Akun twitter @VHeadID pun nggak kalah serunya.
Cabang Vanshead kini sudah meluas. Selain di Jakarta, ada juga Vanshead di Bandung, Sukabumi, Semarang, Yogyakarta, Malang, Sidoarjo, Kediri, Surabaya, Bali, dan Lampung. Tiap cabang punya acaranya sendiri. Vanshead Sidoarjo misalnya, baru pada 14 Juli 2016 ini bikin acara demi merayakan ulang tahunnya yang pertama.
Ya, Vanshead cabang maupun pusat kerap merayakan hari terbentuknya dengan membuat acara. Tak hanya kumpul-kumpul dan ngobrol asik saja, sesi showcase, bazaar, talkshow dan games juga ada di menu acara.
“Di acara itu biasanya kami ketemu juga tuh sama orang-orang baru yang mau mengenal Vans. Mereka banyak tanya tentang Vans. Di sesi Show Case, para kolektor kami minta bawa Vans andalannya untuk dipamerkan. Pernah juga tuh ada yang menampilkan Vans seri The Simpsons-nya yang lengkap,” cerita Andre. Salah satu obrolannya pastinya tentang tipe Vans keluaran tahun 2015 yang masih dicari sampai sekarang.
Seluruh kegiatan dan program Vanshead dibuat secara independen. Komunitas besar ini pun mengaku tak didukung oleh distributor resmi Vans di Indonesia, yaitu PT Gagan Indonesia. Komunitas ini dihidup oleh penghuni ekosistemnya. Vanshead mendapat asupan daya dengan cara berkolaborasi. Brand-brand lokal yang memiliki semangat sama, seperti Penny Store, Sins Cleaner, dan digandeng. Bentuk kolaborasinya beragam, dari penyelenggaraan acara, hingga yang kini rutin dilakukan, yaitu penjualan official mercandhise. Ya, Vanshead pernah merilis tali sepatu, sweater dan kaus resminya.
VANS KW PUNYA INDUSTRI JUGA
Kepopuleran Vans di dunia maya, tentunya memancing para penjual online ingin ikutan berdagang juga. Nggak peduli itu bukan barang asli atau original, asalkan terlihat mirip alias KW, pastinya disikat juga.
Kiwi, bukan nama sebenarnya, sudah dua tahun ini meraup banyak untung dari berjualan sepatu KW lewat berbagai market place dan akun-akun media sosialnya. Awalnya, ia berjualan di Kaskus, lalu setahun belakangan ini membuka akun di Tokopedia, lalu karena banyak anak muda yang beredar di Instagram Kiwi pun direkomendasikan membuka akun jualan di Instagram.
Berjualan sepatu hanya jadi kerja sampingan pemuda 27 tahun ini dari kerja utamanya di sebuah perusahaan event organizer di kota asalnya, Bandung. Tapi, berjualan sepatu KW malah mendatangkan penghasilan yang kerap lebih lebih besar dari gaji kantornya. “Omzet saya bisa Rp 15-20 juta per bulan. Keuntungan bersihnya bisa 20-30 persen darinya,” katanya.
Salah satu merk sepatu yang laris dari dagangannya adalah sneakers merk Vans. Dalam sebulan ia bisa menjual 50-80 pasang sepatu Vans. Ia menjual banyak jenis Vans. Dari mulai Vans Oldskool, Vans Authentic, hingga Vans Special Edition.
“Sejauh ini sih paling laku Vans yang band series. Saya sering jual yang Metalica dan Pearl Jam. Biasanya dijual Rp 340 ribu paling murah. Soalnya, sering dijual lagi, dengan harga sekitar Rp 400 ribuan,” aku Kiwi. Selain itu, di lapak Kiwi, Vans edisi Stars Wars pun sering jadi incaran. Sekadar info, di eBay, Vans edisi Metallica Kill Em All (Sk8-Hi) yang masih baru dihargai £89.99
Untuk bisa mendapatkan sepatu-sepatu KW ini, Kiwi bercerita kalau para pedagang punya beberapa opsi. Pertama, jalur impor. Kiwi dan sekitar tiga puluh pedagang lain dari Jakarta, Bandung, dan Tangerang bekerja sama untuk mengimpor sepatu dari kota Shenzhen, Guang Zho, Cina dan dari Vietnam.
“Sebenernya bisa pesan sendiri, minimal 20 kilogram, sekitar 20-30 sepatu. Untuk menekan biaya pengiriman, para pedagang sepatu ini bekerja sama, langsung pesan banyak dari sana. Sampai di pelabuhan Jakarta atau Surabaya, barang diantar ke gudang di Bandung, kami ngambilnya di gudang itu. Kalau box-nya kami produksi lokal saja, kalau ngambil dari sana juga mahal,” lanjut Kiwi.
Persatuan pedagang itu juga membina relasi dengan “orang dalam” di pelabuhan. “Di sana ada relasi sama bagian pajaknya. Orang kepercayaan. BIar nggak terlalu mahal bayar cukainya. Namanya juga produk KW, suka dipermasalahkan,” kata Kiwi.
Kiwi butuh modal Rp 200.000 untuk bisa mendapatkan sepasang Vans dari mengimpor, sudah termasuk biaya shipping. Di online shop-nya, sepatu itu ia jual seharga kisaran Rp 220-250 ribu. Jumlah penjualan penting bagi pedagang macam Kiwi, karena itu keuntungan yang ia ambil tak banyak.
“Ada juga tuh pedagang yang masukin barang ke mal. Di mal, Vans KW ini bisa dijual Rp 400 ribuan. Salah satunya ada di mal PVJ (Paris van Java, RED),” Kiwi bercerita tentang rekannya sesama pedagang sepatu. Dari pedagang-pedagang itu, kebanyakan yang menjualnya lagi secara online. Nggak heran, mengapa di sebuah market place kayak Tokopedia atau Bukalapak, banyak penjual sepatu yang menggunakan foto produk yang sama. Kiwi cerita, fotografer mereka memang satu, “ada satu orang di gudang yang bertugas untuk memfoto.”
Jalur kedua adalah jalur lokal. Di Tangerang, Banten sana bersarang pabrik sepatu. Menurut Kiwi, Vans produksi pabrik resmi di Tangerang sana bisa lebih mahal harganya. Vans dengan grade GSI itu bisa dibanderol para supplier gelapnya dengan harga Rp 400 ribuan. “Saya nggak ngambil Vans GSI, itu kualitas yang paling bagus. Mahal jadinya,” aku Kiwi.
Nggak beda dari cerita Kiwi, penelusuran HAI ke beberapa pedagang sepatu KW di kawasan Taman Puring, dan Blok M Jakarta Selatan pun mereka ngaku kalau barang-barangnya diimpor dari sumber yang sama: Cina, Vietnam dan Tangerang.
Yup, TangerangMaka bergeraklah HAI ke sana. Kota yang berbatasan langsung dengan Jakarta di sebelah barat ini ternyata merupakan gudangnya berbagai jenis pabrik sepatu. Tepatnya di Jalan Raya Serang KM 16-18, kawasan Cikupa, Tangerang, Banten. Di sana banyak berdiri toko-toko grosir sepatu olahraga, beberapanya bahkan fokus menjual street shoes kayak Vans dan Converse. Di toko-toko itu, Vans dibanderol seharga Rp 100-150 ribu. Jenis yang banyak dijual adalah Vans Rowley XL-2, Vans Authenic dan Vans Oldskool.
Jika toko-toko grosir itu terletak persis di pinggir jalan raya besar, nggak jauh dari belakangnya , berdiri kawasan perumahan yang berubah fungsi menjadi pabrik sepatu. Di dalamnya tampak sederetan alat jahit, dan mesin potong besar. Ya, rumah-rumah disulap menjadi pabrik sepatu merk internasional kelas tiruan. Beberapa rumah membuat berbagai jenis sneakers dari berbagai merk, tapi ada juga yang hanya membuat satu merk saja.
Pabrik milik Pak Sunanto (nama samaran) yang mempekerjakan nggak kurang dari 20 orang itu memilih hanya membuat sepatu merk Vans. Seluruh proses produksi digarap di rumah yang terletak agak menjorok ke dalam dari jalan utama ini. Bahan kanvas dibeli gulungan. Pekerjaan dibagi menjadi lima bagian. Ada bagian potong dan jahit yang membuat bagian atas sepatu. Bersamaan dengan itu, pekerja di bagian sol bekerja merangkai bahan-bahan kayak sol bawah (waffle), sol dalam, dan sol pinggir, yang sudah tinggal direkatkan dengan lem itu. Di luar ada juga pekerja yang bertugas dengan mesin potong seukuran dua kulkas untuk membuat alas dengan kontur berpola tertentu.
Kain kanvas yang sudah dijahit lalu dibuatkan lubang talinya. Bagian akhirnya adalah menyatukan bahan kain dengan sol. Menggunakan lem dan pemanasan dengan api perekatan dilakukan. Selesai semuanya, patch Vans Off The Wall ditempel di bagian belakang sol.
“Dalam satu hari kami bisa membuat 200 pasang sepatu. Harga jualnya Rp 70 ribu per pasang. Biasanya kami kirim ke Yogya, Bali, dan Jakarta,” kata salah satu pekerjanya.
ON ATAU OFF THE WALL?
Selain jenis tiruannya, beredar juga Vans versi original dengan harga lebih murah dari toko. Ya, sepatu-sepatu itu dijual oleh mereka yang bisa mendapatkan supply terselubung dari pabrik resminya. Pada tahun 2008 hingga 2015, Vans memang diproduksi secara resmi oleh PT Glostar Indonesia yang berlokasi di Cikembar, Sukabumi sana. Namun menurut cerita, sejak tahun 2015 PT GSI di Sukabumi nggak melanjutinya.
Di periode tersebut, pemuda-pemuda Sukabumi yang tahu kalau ada pabrik yang membuat Vans langsung mencari cara agar bisa mendapatkan supply. Salah satu pemdua itu adalah Inos, nama samaran. Ia bersama pedagang-pedagang lainnya mendekati para karyawan pabrik untuk bernegosiasi. Hasilnya, pekerja pabrik bersedia menyelundupkan sepatu-sepatu bikinannya di pabrik ke para penjual dengan harga yang sangat murah. “Mereka tuh awam. Nggak tahu sepatu yang mereka bikin tuh apa, bahkan banyak yang nyebut sepatu ‘ket pan”. Dijualnya murah. Nggak sampe Rp 100 ribu.”
“Cara supply seperti ini biasa diistilahkan kolongan. Sementara para orang dalem pabrik kami sebut Ucing. Soalnya kayak ucing garong, hehehe,” kata Onis.
Untuk menyelundupkannya, para Ucing selalu punya cara, salah satu yang sering dilakukan adalah dengan melempar karungan sepatu melewati tembok pabrik. Di masa-masa awal berdirinya pabrik Onis bisa menjual sepatu Vans sampai 50 pasang hasil dari supply kolongannya itu. Saat itu belum banyak pedagang yang ikut ngambil barang.
“Saat Vans habis kontrak dengan pabrik di kota saya itu, saya sudah nggak sering lagi jual Vans. Katanya, sebenarnya pihak Vans masih mau melanjuti kontrak, dan malahan pengen diproduksi lagi di pabrik GSI. Tapi pihak GSInya memutuskan kontrak, karena sering didapati banyak missing item di pabrik,” kenang Onis. Sejak 2014, Onis cerita pabrik pun mulai memasang CCTV di mana-mana, jadi gerakan para “ucing” mulai terbatas nggak kayak sebelumnya.
Berdasarkan kualitas dan kemiripannya dengan yang asli, sepatu Vans KW ini ada tingkatan-tingkatannya. Banyak yang berpendapat kalau tingkatan itu bisa dicirikan dari waffle code di sol bawah sepatu. Kode tersebut menandai jenis mesin yang cetak sol yang dipakai oleh pabrik. Vans buatan China memiliki beberapa waffle code seperti IFC, HF, DT, SHC, ZDC, dan ICC. Sementara produksi Vietnam memiliki waffle code EVB, dan Indonesia adalah GSI.
Namun, pencirian tingkat kualitas dari waffle code ini menjadi simpang siur karena beberapa pedagang, kayak Kiwi, bilang kalau sol ICC yang seharusnya dari Cina pun ada juga versi lokalnya. Saat HAI bertandang ke home industry produsen Vans di Cikupa Tangerang sana, sol yang dipakai adalah yang berkode DT.
Para pedagang sepatu di internet pun kerap mengaburkan kode-kode tersebut. Bahkan, nggak jarang juga yang bikin istilah baru untuk meninggikan kesan mirip sepatu tiruannya. Beberapa menyebut sepatunya berkelas “grade ORI”, ada juga yang melabeli dengan istilah “premium”, sementara harga yang dibanderol 50-80 persen lebih rendah dibanding harga sepatu yang dijual di toko Vans resmi.
Ada anggapan bahwa Vans KW dan yang asli bisa mudah dicirikan dengan melihat patch yang tertempel di bagian belakang sol. Vans asli bertuliskan “Off the Wall” sementara yang KW bertuliskan “On the Wall”. Namun, sepantauan HAI, Vans yang beredar di online shop, di Taman Puring pun sudah berlabel “Off The Wall”, begitu juga Vans produksi home industry di Cikupa Tangerang. “Patch ini kami bikin gulungan, ada percetakannya di dekat sini,” kata salah satu pekerja di sana saat HAI tanya tentang patch merah belakang sol tersebut.
Stefanus Andriano atau Andre, penyuka Vans yang juga tergabung sebagai pengurus komunitas Vanshead Indonesia menyatakan bahwa sekarang ini Vans KW memang makin susah dicirikan dari penampilan sekilasnya.
Tapi, bukan berarti udah nggak bisa dibedakan sama sekali. Menurut Andre tetap ada cara-cara ampuh untuk membedakan Vans Ori dan Vans KW, yaitu kualitas produksinya. “Pertama, kelenturannya. Kalau ori tuh lentur banget, sampai bisa ditekuk ujung ketemu ujung. Kalau yang KW biasanya agak keras. Itu bisa diketahui dengan mencoba sepatunya. Kalau yang Ori enak banget dipakai untuk jalan.”
“Perhatikan juga sisi pinggir sol, kalau yang ori itu kuat. Nggak gampang terbuka. Sepatu gue ini aja baru terbuka sol pinggirnya setelah dua tahun,” kata cowok 28 tahun ini. Sementara itu, Kiwi, sebagai penjual Vans KW, mengakui kalau Vans ori tuh terjaga tinggi kualitasnya. Di bagian patch merah misalnya, Vans ori cetakannya beresolusi tinggi dan simetris, sementara yang KW cetakan logo di patch-nya “pecah”.
“Selain itu jahitannya juga beda. Lebih rapih. Terutama jahitan dalam. Tapi kalau dibongkar sih baru ketahuannya,” ujar Kiwi.
Inilah bukti kalo istilah dasar ilmu ekonomi: ada permintaan, pasti ada suplai, terjadi di sini. Tiap ada tren fashion, pasti ada KW-nya. Bahkan KW juga sering jadi penanda sebuah brand udah dicintai masyarakat luas. Bagusnya, imej Vans tetap terjaga. Skater dan anak band "wangi" tetap bangga memakai sepatu original, sementara yang nggak cukup duitnya, tetap semangat menunggu kemunculan KW supernya untuk ikutan bergaya.
Masuk golongan manakah kamu?