Tapi inilah aku, kan ku nikmati hidupku, wanita masih banyak yang menunggu..., Aku salut padamu, kau sakiti pria setampan diriku, juga meninggalkanku....
Belum familiar dengan penggalan lirik di atas? Lirik itu adalah bagian dari sebuah lagu berjudul Wanita Masih Banyak, milik sebuah band yang terlahir tepat di hari kemerdekaan Indonesia pada tahun 2010 lalu. Yap, Stand Here Alone. Penuh percaya diri, meskipun sedang sakit hati. Sebuah tema yang nyeleneh, dan nggak nggak umum.
Kalo mau diinget-inget, formula yang mereka usung hampir sama, dilakukan oleh trio pop punk asal Yogyakarta, Endank Soekamti di album perdana mereka Kelas 1, yang dirilis pada 2001 silam.
“Dari segi lirik dan warna musik, kami masih mengadopsi dari Endank Soekamti. Tapi kalau dibandingkan dengan Endank Soekamti, kami masih jauh, haha,” Kata Ocan, pemetik gitar sekaligus vokal dari Stand Here Alone.
Stand Here Alone digawangi oleh Ocan pada posisi gitar dan vokal, Mbenk di posisi bass dan vokal dan Chio sebagai penggebuk drum. Band ini awalnya terbentuk untuk meramaikan perayaan kemerdekaan atau yang biasa disebut tujuh belasan, di daerah rumahnya sang bassist yakni Mbenk, yang berada di Pajajaran, Bandung.
Kemudian Ocan pun bergabung atas dasar rekomendasi dari sang kakak, yang merupakan teman nongkrong dari Mbenk dan Chio, sekaligus Evan sang manajer Stand Here Alone. Sebagai band yang baru terbentuk, sudah sewajarnya mereka mengawali dengan main sebagai band registrasi, dari panggung ke panggung. Adapula masa di saat mereka harus berjuang berdarah-darah untuk manggung, yang mungkin akan selalu mereka kenang sampai sekarang.
Pahitnya Sebuah Karir
"Dulu kami pernah manggung dan ditinggal kabur panitia yang punya acara. Kami juga pernah manggung di Surabaya bawa duit pas-pasan dengan berbagi nasi bungkus. Sampai kami haru ngamen untuk menyewa mobil, agar dapat manggung ke Bekasi ,” Kenang Evan, manajer dari Stand Here Alone
Pahitnya awal karir harus mereka lewati, dan kasus tersebut memang miris, apalagi bagi sang drummer. Bahkan Chio pun menambahkan, bahwa pada saat itu mereka diundang ke Surabaya dengan bayaran yang cukup aman untuk tiket kereta pulang dan pergi. Sialnya pada saat acara berlangsung ternyata mati listrik. Kesialan pun menumpuk, ketika uang tiket dibawa lari oleh salah satu panitia! Beberapa panitia pun ada yang tetap memaksa mereka main, dengan alasan banyak penonton yang menunggu Stand Here Alone beraksi. Akhirnya mereka tetap bermain, dan hanya membawakan 1 lagu.Ya, satu lagu!
“Aduh itu miris banget sih, haha. Tapi keren karena sampai sekarang kami tetep nggak berhenti ngeband gara-gara kejadian itu. Padahal pada saat itu kami pulang ke Bandung dengan uang saku yang kami bawa untuk ke Surabaya, haha” ucap Chio dengan semangat.
Konsistensi mereka di dunia musik, tak mungkin kalau tidak menuangkan dalam rilisan fisik yakni album. Sampai di tahun 2014, Stand Here Alone atau yang disingkat menjadi SHA. Resmi merilis album perdana mereka, yang bertajuk Melodichildish. Proses pembuatan album ini memakan waktu 2,5 tahun, dengan proses pengerjaan secara sendiri atau DIY (Do It Yourself). Bahkan, tempat perilisan albumnya pun, diadakan di kota Batam men! dengan alasan komunitas punk melodic Batam, menginginkan SHA untuk menghibur mereka.
Sebagai album perdana, kebanyakan band menangkap ini sebagai momentum untuk meraup uang dari karya mereka. Justru sebaliknya, yang mereka lakukan adalah membagi-bagikan gratis album mereka kepada penonton. Ocan pun berujar, bahwa dengan cara seperti ini segi promo lebih cepat tapi finansial yang merugi. Buktinya jelas, beberapa tawaran manggung hadir dari cara promo pembagian album secara cuma-cuma tersebut.
“Ibarat bayi baru lahir yang baru dikasih nama terus syukuran, bagi kami album pertama itu jati diri, kami syukuranya dengan cara bagi gratis album. Nggak ada yang rugi, itu album hasil dari uang panggung yang penonton mau bayar tiket, untuk menonton kami. Dan hasil membayar kami, kami tabung menjadi album,” pungkas Evan.