Lagu 7 Years Diputar Jutaan Kali Selama 24 Jam di Spotify, Ini Rahasianya

Sabtu, 20 Agustus 2016 | 12:00
Hai Online

Lukas Graham, Magis Dibalik 7 Years

Kayak minum obat, minimal, tiga sampai empat kali dalam satu hari, stasiun-stasiun radio di Tanah Air nggak berhenti muterin lagu ini. Bahkan, di chart streaming musik seperti Spotify, 7 Years udah diputar lebih dari 2,7 juta kali dalam 24 jam!

Nggak berhenti di situ. Level bekennya 7 Years juga bisa dilihat dari catatan penjualannya. Tercatat, lagu ini sukses jadi jawara tangga lagu di 16 negara dan menembus sertifikasi empat platinum di Denmark. Soal viral, jangan ditanya lagi. Video klip 7 Years yang dilepas empat bulan yang lalu kini sudah ditonton sebanyak 130 juta kali, sebuah angka yang sangat besar buat pendatang baru asal skandinavia di blantika musik dunia.

Herannya, masih banyak nggak tahu loh siapa sih sang pemilik vokal catchy di balik lagu ini. Kaya si Hilda yang ngaku sudah tahu lagu ini sejak beberapa bulan yang lalu.

"Gue baru tahu kalau ini lagu yang nyanyi Lukas Graham. Anyway, dia solis kan ya?" ucap mahasiswi Gunadarma ini.

Well, kalau nggak kenal, memang bakal mengira pelantun yang dikenal juga lewat hits Mama Said dan Funeral itu seorang solis. Tapi, kalau coba kamu googling, Lukas Graham ini adalah band!

"Pas kami tur ke UK lalu, nggak banyak yang tahu kalau kami adalah sebuah band. Mereka hafal banget 7 Years but they have no idea this is us," ujar sang vokalis yang kebetulan bernama sama, Lukas Graham Forchhammer soal fenomena 7 Years.

Di tengah sukses besar mereka menembus pasar Amrik lewat album kedua, Blue Album, nggak sedikit yang bertanya kenapa sih nama band harus pakai identitas yang vokalis. Kesan egois sempat melekat di band yang juga digawangi oleh Mark Falgren (drum), Magnus Larsson (bass), Kasper Daugaard (kibor).

Namun, Lukas punya alasan buat menjawab semuanya dan terdengar so makes sense sih. "Jadi gini loh. Memang, semua lagu Lukas Graham itu yang bikin saya. Namun, saya juga manusia, nggak bisa sendirian. Saya juga nggak main instrumen, saya juga nggak tahu kunci apa yang saya gunakan saat ngulik di gitar dan piano. Jadi, saya butuh yang namanya band," jelas cowok berambut ikal ini.

"Jujur, kami sempat brainstorming buat mencari nama lain. Tapi pilihan terbaik kami saat itu, The Revolvers dan The Mechanics terdengar aneh banget," tambah Lukas kepada BBC beberapa waktu yang lalu.

Prinsip Lukas ini juga didukung rekan-rekannya yang nyatanya nggak mau dianggap numpang tenar doang. “Apa yang kami kerjakan di sini dasarnya ada di perspektif Lukas. Layaknya film dokumenter, kami yang buat gambarnya, Lukas jadi naratornya,” ungkap sang kibordis, Kasper.

Narkoba dan Perang

Lahir dan tumbuh besar di Copenhagen, Denmark, bukan masalah buat sebagian besar orang, terutama ketiga personelnya. Kecuali buat sang penggagas, Lukas yang justru datang dari kawasan kumuh di tengah ibukota, Christiania.

Kejahatan dalam berbagai bentuk hingga penyalagunaan obat-obatan terlarang nggak bisa lepas dari masa kecilnya. Perang antar geng dengan ledakan granat yang disertai absennya pengawalan polisi jadi pemandangan sehari-hari di kota asalnya tersebut.

Dimaklumin sih. Pasalnya, sejak awal 70-an, kota kecil yang hanya berpenduduk 800-1000 jiwa ini memiliki sistem pengadilan dan hukum yang berbeda dengan Copenhagen, yang juga membuat treatment keamanannya berbeda banget.

Walaupun, sejak usia dini, kedua orang tua Lukas sudah mengalihkan perhatian anaknya ke musik, Lukas pun nggak bisa menghindari dirinya terjerumus ke dalam jurang kegelapan tersebut. Beberapa kali dia harus berurusan dengan pihak yang berwajib atas kasus-kasus yang seharusnya nggak dilakukannya.

"Di usia 10 tahun, saya ditangkap polisi akibat ketahuan menghisap ganja. Itu pengalaman pertama saya berada di balik jeruji besi. Lucunya, saya nggak sadar kalau saya pernah hidup susah sampai saya beranjak dewasa," ujarnya.

Namun, berbekal pengalamannya tinggal di Christiania, ada banyak inspirasi yang Lukas dapat buat menulis musik. Lukas mulai rajin menjahit kata demi kata dengan melodi meski dia nggak terlalu jago dalam memainkan alat musik sejak usia 12 tahun.

Saking seriusnya, nggak jarang, lagu-lagunya sangat related dengan beberapa kejadian yang pernah dialaminya sendiri, seperti Better Than Yourself (Criminal Mind Pt. 2).

"Lagu itu saya tulis buat sahabat saya yang pada April 2012 nyaris tewas ditembaki oleh pengedar narkoba di dalam mobilnya. Saya sempat mengunjunginya saat dia masih menjalani rehabilitasi di penjara dan kini dia ada di Iran," kisah Lukas.

"Kebanyakan teman-teman dekat di sekitar saya bukan pribadi yang baik. Mereka menjual banyak sekali narkoba, pergi bawa senjata dan selalu mengenakan rompi anti peluru. Namun, saya sangat sayang dengan mereka," ujar cowok penikmat pasta ini.

Latar belakangnya yang sedikit suram ini juga ternyata berpengaruh dengan cara dia menyampaikan musik. Meski nggak mengakui dirinya penganut ghetto pop (campuran black RnB dengan pop), Lukas menegaskan dirinya bukan sosok yang ikut aliran pop mainstream pada umumnya.

“Saya nggak main black soul pop. Tapi, saya punya dasar folk dan classical yang dipadukan dengan gaya soul, rock n' roll, serta rap. Bisa dibilang, saya nggak pernah puas dengan satu genre yang konsisten saja,” tegas Lukas kepada Billboard.

Dari segi lirik pun, temanya nggak lagi ngomongin soal cinta, seperti yang musik pop bahas. Ada banyak unsur politik, keluarga dan sosial yang dikemas unik dan bikin pendengarnya nggak sadar kalau lagunya adalah bentuk protes keras.

Fakta ini dapat dilihat saat ayah Lukas meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tiga lagu, You’re Not There, 7 Years dan Funeral ditulisnya untuk menggambarkan kesedihan yang mendalam ditinggal sang ayah.

Well, ternyata inspirasi bisa datang dari mana aja, kan, guys!

Tag

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma