Kata Pelajar Tentang Full Day School: "Di Mana Revolusi Mentalnya?"

Senin, 08 Agustus 2016 | 23:25
Rizki Ramadan

Muhadjir Effendy

Belum sebulan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy sudah ngeluarin pernyataan yang bikin para pelajar SMA menanggapi beritanya di medsos dengan emoticon marah berapi-api. Gimana nggak, dia punya rencana untuk membuat kebijakan yang mengharuskan pelajar seharian berada di sekolah. Full day school, begitulah program itu disebutnya. Wah, terus, kata pelajar apa yah menanggapi aturan itu?

Katanya kepada Republika, aturan tersebut dibuat karena menurutnya, biar pelajar terbendung dari pengaruh-pengaruh buruk karena tak sempat diawasi orang tua.

Udah gitu, kebijakan tersebut dikaitkan dengan anggapannya tentang anak muda jaman sekarang, katanya kita tuh bermental lembek dan nggak tahan banting.

"1000% gue nggak gak setuju dengan aturan itu," cerocos Fahni dari SMAN 100 Jakarta di grup LINE komunitas wartawan sekolah HAI School Crew menanggapi berita tersebut.

"Gue nggak setuju. Menterinya aja sana (yang seharian di sekolah)," Nabyl dari SMAN 81 nggak mau kalah berpendapat. "Aku kan mau les balet," timpalnya dengan diikuti emoticon lidah melet.

"Aku sih nggak apa-apa yah kalau full day school, asal sekolahnya cuma sehari dalam seminggu," Aqib dari SMAN 1 Pati ikut becanda.

Ya, begitulah. Singkatnya, para pelajar SMA tersinggung sekaligus kesal bercampur heran sama usulan rencana aturan tersebut. Kalau awalnya ditanggapi dengan asal bunyi dan becanda, makin lama obrolan di grup LINE pelajar itu jadi makin serius. Satu persatu muncul mengeluarkan pendapatnya sesungguhnya.

"Mendidik anak nggak sekeras itu"

Ini pendapat keluar dari Jaru Yehezkiel, pentolan sekolah SMAN 91 Jakarta. Walau setuju kalau generasi sekarang itu lembek, tapi Jaru tetep nggak suka dengan aturan menteri baru itu.

"Gue nggak setuju (sama aturan itu). Menurut gue, itu nggak manusiawi. Apalagi untuk anak SD dan SMP. Mendidik anak nggak sekeras itu. Malah aturan kayak gitu malah bikin anak jadi males sekolah," papar Jaru.

"Di mana revolusi mentalnya?"

Menteri Muhadjir sempat bilang, untuk mengisi waktu di sekolah saat sore hari, murid akan dibekali dengan kursus dan pendalaman agama. Dengan begitu, anak jadi lebih terpantau dan terhindar dari hasutan kelompok yang menurutnya ekstrem.

Pendapat itu rupanya bikin Nabyl keheranan.

"Aturan itu terkesan mengarahkan ke sentralisasi pendidikan. Dan cenderung takut akan ideologi-idelogi luar yang masuk. Lalu di mana revolusi mentalnya? gimana mental anak Indonesia bisa kuat kalau gitu? Aturan itu malah menutupi kita, bukan ngasih bekal dan arahan biar bisa bertahan," cerocos Nabyl sambil nunggu jam istirahat sekolahnya selesai.

Sekolah Bukan Satu-satunya Tempat Belajar

Ya, protes paling banyak dilayangkan karena para pelajar merasa waktunya untuk mengekplor hal lain kian terbatasi jam sekolah. "Sekolah kan bukan satu-satunya tempat buat belajar. Masih banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan. Kayak volunteering, bantu orang tua. Kalau seharian di sekolah, waktu buat belajar informalnya kapan? kita nggak mau jadi generasi yang booksmart doang, dan main sama temen yang itu-itu aja. Kami juga mau jadi street smart dan punya waktu untuk menggali passion kami," kali ini Nurul Fatiha S. R, pelajar dari SMA 68 yang sempat 10 bulan jadi exchange student ke Amerika bicara.

"Berpotensi bikin pelajar stres"

Ya, terlalu lama berada di lingkungan sekolah, dengan pengawasan dan tuntutan belajar berpotensi bikin para pelajar stress. Hal itu disampaikan oleh Dewi dari SMAN 9 Yogyakarta. Katanya, "Fullday school sangat nggak efektif, dan malah bakal membebani murid. Banyak kegiatan lain juga yang harus kami lakukan untuk menambah pengalaman kami dan mengembangkan potensi. Dan menurutku juga, pasti untuk yang lagi kelas 12 sepertiku bakal lebih terbebani karena mereka juga disibukkan dengan les di luar sekolah dan takutnya nanti jatuhnya malah stress."

Nggak Masalah, Asalkan...

Ternyata ada pandangan lain juga. Ada juga kalangan siswa yang siap mengemban kebijakan baru itu. Tapi tetap ada syaratnya. "Asalkan siswa nggak diberatkan lagi dengan tugas. Coba bayangkan jika memang Mendikbud memasang strategi fullday at school bertujuan agar siswa dapat lebih lama di sekolah dengan membentuk mental siswa agar kuat dan tahan banting, tapi jika nanti yang ada hanya membebani siswa malah tambah nggak karuan," kata Daeva dari SMAN 6 Semarang. Pendapat yang pro juga muncul dari Fadil Marwan, siswa MAS ARRISALAH, Padang. Katanya, dengan aturan itu pelajar bisa lebih memanfaatkan dan menghargai waktu. Tapi, sekolah harus menyediakan sarana dan prasana yang lengkap biar siswa nggak jenuh dan gurunya pun harus berkualitas agar dapat menggantikan guru bimbel." Nah, kalau pendapat kamu sendiri gimana? sampaikan di kolom komentar yah. HAI tunggu!

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya