Seberapa Susah Sih Merestorasi Film Tiga Dara?

Kamis, 04 Agustus 2016 | 08:15
Alvin Bahar

Tiga Dara

Keberhasilan SA Films merestorasi film Tiga Dara pantas kita beri tepuk tangan sekeras-kerasnya. Soalnya, merestorasi film yang pertama kali tayang pada tahun 1956 itu susaaaaaah banget.

Tiga Dara adalah film drama musikal tahun 1956 dari Indonesia yang disutradarai oleh Usmar Ismail dan dibintangi oleh Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak, masing-masing sebagai tokoh Nunung, Nana, dan Neni. Nggak hanya mereka, Rendra Karno, Bambang Irawan, dan Fifi Young juga turut memperkuat film ini.

Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang sibuk.

Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga Dara.

Penanggung jawab restorasi fisik film Tiga Dara, Lintang Gitomartoyo, butuh perjuangan ekstra buat memulihkan film tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan adalah pemulihan kondisi fisik seluloid atau gulungan negatif film tersebut. Kesusahan pertama hadir. Ia mengatakan bahwa setelah dicek, seluloid atau gulungan negatif film itu ternyata sudah mengalami vinegar syndrome atau "kanker" pada film.

Pada Seluloid film terdapat beberapa vinegar syndrome, patah-patah dan juga berjamur yang mengakibatkan proses restorasi menjadi sulit.

— #TigaDara4K (@SAFilms_) June 16, 2016

Nggak heran, kasus ini umumnya terjadi di negara-negara tropis. Pada seluloid, terdapat kristal-kristal debu berbahaya dan jamur. Hal tersebut juga membuat gulungannya menyusut dan melar.

"Vinegar syndrome nggak bisa sembuh, makanya saya bilang kanker. Kalau sudah kena itu, pasti sudah gawat," kata Lintang dalam konferensi pers restorasi film Tiga Dara di XXI Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (3/8).

Karena belum ada obatnya, ia hanya bisa mencegah agar jamur-jamur yang ada nggak tumbuh lagi.

"Kami cuma bisa memperlambat pertumbuhan jamurnya aja. Tetapi, setelahnya, harus dirawat rutin, disimpan di tempat yang layak," ucapnya.

Selain kerusakan kimiawi itu, Lintang juga menemukan gulungan negatif yang robek, tergores, ada serangga menempel, bekas lem, seluloid yang keriting, dan tekukan.

"Yang paling susah itu, ada kerusakan di tengah gambar. Misalnya robek, saya harus pastiin gerigi bekas robek itu mesti pas betul sebelum bisa diselotip," ucapnya.

"Saya pakai sarung tangan, ada gunting, selotip, penjepit, ada cairan-cairan kimia, lem buat nyatuin dua bagian yang nggak kuat, namanya splice," kata Lintang.

Hal sulit lainnya, ada bagian pinggiran yang terdapat lubang pengait mesin proyektor yang hilang.

"Lubang itu penting sekali buat nyangkutin ke gigi mesin proyektor. Jadi, itu harus saya pasang baru. Nyelotip sepanjang itu, kalau nggak biasa bikin prakarya, ya stres juga. Hehehe," ujar Lintang.

Ia juga harus menambahkan seluloid kosong sepanjang 2 hingga 3 meter di setiap ujung gulungan. Gunanya untuk membungkus dan melindungi bagian yang terdapat adegan film juga guna memberi jeda pada mesin pemindai.

"Sebetulnya, mungkin bisa lebih cepat. Tetapi, karena ini pertama kali saya repair seluloid, saya enggak berani cepet-cepet. Harus memegang seluloid dari tahun 1956, satu-satunya di dunia. Kalau ada apa-apa, nggak ada gantinya," ucap Lintang.

Namun, perbaikan yang dilakukannya selama lebih kurang delapan bulan itu baru tahap awal. Setelah fisiknya diperbaiki, seluloid film Tiga Dara masih harus melewati restorasi digital oleh PT Render Digital Indonesia dan restorasi audio.

"Saya hanya memulai sebelum bisa dikerjakan sama lainnya," kata Lintang.

Duh, baru mulai aja udah susah banget. Kebayang nggak seberapa rumitnya pengerjaan restorasinya hingga kelar? Makanya, jangan sampai ketinggalan nonton filmnya ya!

Editor : Alvin Bahar

Sumber : Hai Online