Ketika Tugas Sekolah Setingkat Tugas Kuliah

Selasa, 02 Agustus 2016 | 05:19
Rizki Ramadan

Beginilah Ketika Tugas Sekolah Setingkat Tugas Kuliah

“Mata pelajaran PKN ini menyita jiwa raga gue, apalagi tugasnya. Tapi worth it,” kata Sher.

Ada yang bisa membayangkan gimana pelajaran yang sampe bisa menyita jiwa raga tapi berharga, seperti dialami Sher dan teman-temannya di SMA Plus Pembangunan Jaya itu? Ya, diasuh oleh guru kesayangannya Sher, Ferry Ismawan, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan jadi meningkat jauh levelnya.

Di awal semester saja, Pak Ferry bukannya membekali murid dengan buku paket biasa saja, ia malah meminta siswa membaca buku Bukan 350 Tahun Dijajah karya G.J Resink. Setelah menjelaskan fakta-fakta sejarah dari buku tersebut, pak Ferry langsung meminta muridnya mengeluarkan kertas folio bergarsi. “Kami disuruh nulis satu halaman penuh, tanpa spasi, tentang ulasannya,” kata Sher.

Materi berikutnya adalah tentang hak asasi manusia (HAM), murid diminta berkelompok untuk membahas satu kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Tiap kelompok yang terdiri dari dua orang itu lalu membuatkan presentasi dan membawakannya di depan kelas. Sher dan teman sekelompoknya mendapat undian membahas kasus pelanggaran HAM terhadap aktivis Munir.

Pasti pernah dong mendengar isu tentang Panama Papers? Di kelasnya pak Ferry, isu itu jadi bahasan wajib bagi tiap murid. Baik kelas X maupun kelas XI diajak untuk mengkaji lebih dalam isu tersebut dikaitkan dengan teori-teori sosial, lalu hasil bahasan kelas X dan kelas XI diadu.

Nggak selesai di situ, pak Ferry mengajak muridnya untuk membaca buku-buku lainnya yang menurutnya berbobot dan penting. Selain The World is Flat karya Thomas L. Friedman, buku The Runaway World karya Anthony Giddens pun wajib dibaca. Dua buku tentang globalisasi itu rasanya baru biasa dibaca mereka yang duduk di bangku kuliah jurusan sosial deh. Ya, pelajaran ini membikin Sher dan teman-temannya jadi sering hunting buku ke banyak tempat, salah satunya kawasan penjual buku bekas di Blok M, Jakarta.

Materi-materi yang diajarkan di pelajaran PKN ini, menurut Sher, adalah globalisasi, akulturasi, HAM, kewarganegaraan, serta integrasi nasional

Saat ujian pun, pelajaran PKN ini selalu menguras tenaga dan pikiran. Sher pun mengakuinya. Coba aja deh, liat soal ujian esai yang pernah Sher dan teman-temannya dapat. Sepantauan HAI, ada beberapa nomor yang bobot soalnya tuh “berat” banget. Bunyi salah satu soalnya gini: “Kaitkan kasus Panama Papers dengan teori Arrjun Appadurai.” Nah, lho. Apa pula tuh Arrjun Appadurai?

“Saat UTS kemarin, tangan gue pegel banget. Keram gara-gara ngerjain esainya. Cuma lima nomor sih, tapi jawabannya harus bisa sampai sejumlah baris yang udah ditentukan. Ada yang mesti sampai 16-20 baris, lho,” kenang cewek yang emang hobi baca ini.

Nggak salah kalau tugas sekolahnya Sher ini disebut setara dengan tugas kuliah. Tua Bona, lulusan Ilmu Pemerintahan Unpad yang kini bekerja sebagai peneliti bidang politik pun setelah HAI kasih lihat soal-soal ujiannya Sher bilang kalau ini soal bukan kelasnya anak SMA. “Gue butuh sarjana Ilmu Politik untuk bisa menjawab soal-soal itu,” kata Bona singkat.

Ya, kepada murid-muridnya, pak Ferri pernah bilang, kalau mereka nggak dianggap sebagai siswa, tetapi mahasiswa. “Karena kami sudah dijejali buku-buku berat sebagai kebutuhan primet di pelajaran tersebut,” cerita cewek berkacamata ini.

Baiknya, Pak Ferri nggak melepas gitu aja murid-muridnya saat menghadapi bacaaan dan kajian yang berat itu. Dia menjaminkan pendampingan penuh, buktinya aja, tiap kali udah dekat ujian atau saat dia ngasih tugas kelompok, dia rela membuat group chat dengan murid-muridnya, dan siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya kapan pun.

“Asli, gue seneng diajar sama dia. Pelajaran PKN gue nggak kayak PKN di sekolah lagi, ngebuka wawasan gitu. Jarang banget kan anak seumuran gue baca Anthony Giddens,” repet Sher

Editor : Hai Online

Baca Lainnya